logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Mencoba Bertahan

Adzan asar samar-samar terdengar dari mushola. Aku tersadar dari galauku. Kutengok Rara sebelum kuambil air wudhu. Alhamdulillah Rara masih tidur.
Kupasrahkan diri ini kepada-Mu ya Rabb. Kubersujud dengan linangan air mata yang tak bisa dibendung. Bukan aku menyesali cobaan yang kuterima, tapi tangisku karna rapuhku. Ke mana Suciwati yang tegar dulu?
Ya, aku pun mulai sadar kini. Mungkin aku terlalu mudah bersandar kepada mas Jono. Memang, kuterlena. Kuakui aku butuh seseorang yang mampu membimbingku, mengarahkanku dan menyempurnakan agamaku.
Itulah mengapa sejak kali pertama akad nikah usai, kusandarkan semuanya pada suamiku, mas Jono. Bukankah pada suami semua bakti seorang perempuan harus berlabuh tatkala orang tua sudah tiada?
Juga segala cinta yang butuh berlabuh dengan segala hasrat yang luruh.
Meski, cinta itu datang setelah sekian lama kuberjuang selama sepuluh tahun kemudian. Awal cinta yang kupersembahkan kepada mas Jono bertepuk sebelah tangan. Aku sadar karena aku bukanlah pilihan mas Jono, tapi pilihan bu Rini.
Masih kuingat ketika malam pertama tiba. Mas Jono begitu dingin. Aku hanya dijadikan pelampiasan hasratnya sesaat. Bukan hasrat sayang atau ingin menikmati, namun karena rangsangan perempuan lain.
Tak ada usapan lembut, apalagi kata-kata romantis. Yang ada hanyalah rasa sakit dan pemaksaan. Bukankah untuk memulainya butuh sentuhan? Bukan dengan perasaan kecewa dan marah yang terpendam.
Esok paginya, aku berusaha tak peduli dengan sikap mas Jono. Aku hanya perlu bersabar. Toh sudah kuniati nikah untuk ibadah. Aku hanyalah budak dan mas Jono adalah tuannya.
Alhamdulillah, setelah tiga bulan sikap mas Jono sedikit mulai berubah. Semua itu karena aku menuruti semua apa yang disarankan bu Rini kepadaku. Dari bu Rini, aku belajar bagaimana cara melayani suami.
“Mengalah bukan berarti kalah, Ci.”
Aku mendengarkan nasihat bu Rini pagi itu, sambil membuatkan teh pahit kesukaannya.
Di awal pernikahanku, bu Rini sering mengunjungiku tanpa sepengetahuan mas Jono. Bu Rini akan datang setelah mas Jono pergi kerja.
“Ini tehnya, Bu”. Tak lupa kubawakan roti jahe yang kubuat kemarin sore.
“Seangkuh apapun suami, ia akan mudah tunduk pada pengabdian seorang istri. Yang dibutuhkan lelaki itu kepatuhan dan penundukan. Lelaki tak mau dikalahkan.”
“Iya, Bu. Suci akan berusaha patuh dan ikhlas melayani mas Jono.”
“Ingat aksara Jawa?”
“Maksud Ibu hanacaraka?”
“Lihatlah tanda pangku! Semua huruf hanacaraka jika ketemu tanda pangku mati.”
“Suci nggak paham maksud Ibuk.”
“Maksudnya, orang Jawa memegang prinsip untuk mengendalikan tidak harus mengalahkan. Untuk mengalahkan tidak harus selalu di atas.”
“Terus apa yang harus Suci lakukan agar mas Jono jadi berubah?”
“Manjakan dia dengan makanan yang enak atau pelayanan yang tulus tanpa diminta.
Jadikan Jono pusat segala inginmu. Tak peduli akan berhasil atau tidak. Namun ibu yakin suatu saat, hati Jono akan luluh juga.”
“Oh, Suci juga ingat ada pepatah Jawa yang mengatakan witing tresno jalaran saka kulina ya, Buk?”
“Lha, itu juga penting Ci. Jangan menyerah, cinta itu akan tumbuh jika terus diupayakan dan dibiasakan.”
Aku bersyukur memiliki mertua sebaik bu Rini. Kehadirannya mampu mengisi relung jiwaku yang kosong. Aku butuh belaian dan kasih sayang seorang ibu. Dan aku mendapatkannya dalam diri seorang bu Rini.
Limpahan kasih sayangnya seakan mengobati kerinduanku pada ibu kandungku dulu. Aku yatim piatu sejak usia sepuluh tahun. Hidup tanpa limpahan kasih sayang orang tua di panti asuhan.
“Assalamu’alaikum, Ci?”
Kudengar suara bu Rini. Aku beranjak membukakan pintu. Kulihat bu Rini menenteng dua plastik kresek besar warna putih. Kusilakan bu Rini duduk.
“Tadi Jono pamit sama ibuk. Katanya mau cari kerja ke Semarang.”
“Iya, Buk. Mas Jono mau kerja di hotel.”
“Maafkan Jono ya Ci. Mudah-mudahan Rani tulus membantu Jono.”
Aku hanya tersenyum kecut. Ibu tahu raut mukaku yang sedih.
“Ini Ibuk kasih modal buat usaha kamu. Ibuk tahu Jono belum tentu pulang dalam beberapa bulan ke depan.”
Bu Rini memberiku amplop berwarna cokelat. Lalu mengeluarkan tumpukan uang berwarna merah. Aku menolaknya dengan halus. Tapi bu Rini tetap memaksaku untuk menerima uangnya.
"Tapi Buk, ini terlalu banyak buat Suci.”
“Sudah dipake aja. Ibuk masih punya simpanan buat sehari-hari. Kebutuhanmu besar, buat biaya kontrol Rara dan makan sehari-hari.”
Aku mengambil lima lembar. Kukembalikan sisanya ke bu Rini.
“Ambil semua, Ci! Kalo tidak, ibuk ndak akan datang ke rumah ini lagi.”
Aku terperanjat mendengar nada tinggi bu Rini. Juga wajahnya yang berubah marah.
Aku memeluk bu Rini erat. Tiada kuasa diriku menahan gejolak rasa yang terpendam. Tangisku pecah di atas bahunya.
“Sabar ya, Ci. Semoga segalanya semakin membaik.”
“Iya, Buk. Makasih dan mohon maaf ngrepoti terus.”
Kudengar Rara menangis. Bu Rini bergegas ke kamar Rara. Rara dipeluknya erat. Rara pun terdiam. Ada kegembiraan terpancar dari sorot matanya yang basah.
Bu Rini sangat sayang kepada Rara. Terlebih ketika aku dan mas Jono masih tinggal satu rumah. Namun semenjak mas Jono naik jabatan, kami memutuskan mengontrak rumah sendiri.
“Udah ya Ci. Ibuk ada acara sore ini.”
“Hati–hati di jalan ya, Buk?”
Setelah bu Rini pergi aku membuka tas kresek pemberian bu Rini. Ada banyak sayuran dan sembako. Juga buah pear dan anggur kesukaan Rara.
Kukupas buah pear dan kusuapi Rara. Dia senang sekali. Setelah habis satu buah pear, aku pamit dulu sama Rara untuk masak nasi dan sayur. Rara mengerti dan membiarkanku pergi meninggalkannya sendiri di kamar.
*****
Aku tidak mengira bu Rini akan memberiku uang sepuluh juta. Bagiku uang itu sangat besar. Mungkin bagi bu Rini yang pensiunan dinas sosial, uang sepuluh juta tidak seberapa. Beliau sangat berkecukupan. Bahkan, lebih dari cukup jika ditambah uang pensiunan suaminya yang pernah menjabat sebagai kabag TU kabupaten. Belum lagi uang sewa dua rumah kontrakan di dekat kota.
Yang membuatku salut, meski punya uang berlebih bu Rini tidak sombong dan hidup mewah. Hal ini berbeda jauh dengan gaya hidup mas Jono yang suka barang mahal dan makan enak.
Aku ingin jualan cilok untuk mencari nafkah. Dulu sebelum nikah dengan mas Jono, aku sempat pesan gerobak cilok sama mas Dino teman seasrama saat di panti asuhan dulu.
Namun, aku tak sempat mengambilnya karena dilarang jualan oleh mas Jono. Waktu itu mas Jono ingin aku fokus di rumah saja, mengasuh Rara.
Aku sebenarnya tidak mau menggantungkan diri pada mas Jono soal uang. Tapi mas Jono terus memaksaku tetap di rumah dan melarangku jualan cilok di pinggir jalan.
Kuraih ponsel dan menghubungi mas Dino.
[Assalamu’alaikum mas Din. Gimana kabar?]
[Wa’alaikum salam,alhamdulillah sehat Ci. Keluargamu sehat kan Ci?]
[Alhamdulilah, maaf mas Din. Rencana saya mau jualan cilok. Apakah gerobak cilok saya masih ada ya? Maksud saya jika belum dijual ke orang lain mau saya pakai sendiri]
[Oh, masih ada Ci. Mau butuh berapa gerobak? Nanti saya buatkan lagi.]
[Satu dulu mas Din, buat tes pasar. Takutnya ciloknya tidak enak karena sudah lama nggak pernah buat]
[Wah, saya nggak percaya. Namanya Suci tuh pasti apa pun yang dimasak selalu enak.]
[Ya udah mas Din. Kapan gerobaknya bisa Suci ambil?]
[Saya baru keluar kota saat ini. Insya Allah besok pagi pulang. Jadi kalo sore gimana?]
[Baik mas Din. Nanti tak tanya Lina dulu ada jadwal shift jaga tidak. Kalo ada berarti lusa saja Mas?]
[Oh, nggak usah repot-repot ngambil nanti saya antar ke rumahmu]
[Suci ambil sendiri aja, nggak enak ngrepoti mas Din]
[ Nggak papa ngeropoti, kan nggak tiap hari.]
[Ya udah mas Din. Makasih banget lo. Wassalamu’alaikum, mas Din]
[Wa’alaikum salam, Ci]
*****

Bình Luận Sách (70)

  • avatar
    RiswantiRini

    ceritanya menarik seru dan ending nya bikin penasaran. bagus lah.. jd pengen cepet ada kelanjutannya

    19/05/2022

      0
  • avatar
    helmizaid

    good

    10d

      0
  • avatar
    John WayneZahorine

    👍🏼👍🏼👍🏼

    27d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất