logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bertemu Malaikat Putih Tak Bersayap

Aku tergagap ketika dokter Himawan tak sungkan menggendong Rara. Aku mengikuti dari belakang. Jalan menuju gedung agak naik.
Lumayan jauh jika berjalan dari basement parkir khusus dokter ke gedung utama. Napasku kembang kempis.
Beruntung begitu sampai lobi, Lina dengan cepat memindahkan Rara ke kursi roda. Lalu dokter Himawan berbicara sebentar. Aku terkejut karena Lina meninggalkan Rara dengan dokter Himawan. Aku segera berjalan cepat mendekati Rara.
Dokter Himawan mengajakku naik lift khusus. Aku menurut saja. Aku sudah terbiasa naik lift dan eskalator.Tapi naik lift bareng dokter Himawan menjadikanku gugup, keluar keringat dingin.
Saat masuk lift entah mengapa mataku seakan berkunang-kunang. Tapi aku menahannya, malu diketahui dokter Himawan.
Saat lift naik dengan hentakan naik, tubuhku limbung. Dengan refleks, dokter Himawan menangkap tubuhku yang oleng. Aku berusaha menjauh, tapi tangan dokter Himawan semakin kencang menahan tubuhku.
Saat pintu lift terbuka, kulihat Lina berdiri di depan lift. Lina agak terkejut melihat diriku dalam dekapan dokter Himawan. Beberapa menit kemudian dokter Himawan meminta Lina membantuku untuk berjalan. Lalu dokter Himawan mendorong Rara ke kursi tunggu di depan ruang fisioterapi.
Lina menyerahkannya nomor antrian padaku. Lina kemudian mendekati dokter Himawan. Beliau lalu berbicara sebentar dan sesekali memandangku.
Lalu dokter Himawan berjalan mendekatiku.
“Bu Suci belum sarapan?”
“E, belum Dok” jawabku gugup.
Dokter Himawan hanya tersenyum semanis tadi.
“Nanti kalo ada ojol datang, makanannya segera dimakan ya? Besok lagi kalo mau ke rumah sakit jangan lupa sarapan dulu”
“Tapi, Dok ....”
“Udah, bu Suci nggak usah mikir macam-macam lagi. Semoga Rara cepat pulih ya?”
Dokter Himawan meninggaliku jejak rasa nggak karuan. Begitu baik dokter Himawan menolongku dan Rara. Aku memang belum sarapan. Rencananya mau menyuapi Rara sekalian sisanya akan kumakan.
Alhamdulillah, ya Allah. Engkau kirimkan malaikat penolong itu. Tak terasa ada rasa hangat memenuhi sudut mataku, basah dan perlahan mengalir.
“Lo, kok nangis. Napa Mbak?”
Aku tersadar ketika Lina memijit pundakku.
“Aku terharu dengan kebaikan dokter Himawan. Semoga beliau dibalas dengan pahala yang banyak.”
“Dokter Himawan memang begitu. Beliau terkenal dokter yang suka menolong pasiennya. Tak jarang beliau membelikan obat gratis kepada pasien yang tidak mampu.”
“Oh”
“Baju mbak Suci basah. Keluar keringat dingin, Mbak?”
“Iya Lin. Mungkin karena tadi saat berjalan menggendong Rara tenagaku habis karena belum sarapan.”
Tetiba ponselku bunyi. Kulihat ada misscall dari seseorang. Kulihat wa yang masuk. Pesan dari dokter Himawan. Ternyata pesanan makanan dokter sudah datang, sekarang br otw ke lantai 4.
Aku meminta Lina menyambut ojol yang berjalan kebingungan. Lina bergegas mendekati ojol dan membawa makanan dan minuman pesanan.
Aku terharu lagi. Mataku kembali basah melihat pesanan yang dibelikan dokter Himawan. Kulihat bubur ayam tiga bungkus dan 3 bungkus teh hangat. Juga kulihat buah jeruk, roti, sate telur puyuh dan hati ayam.
Kulihat Rara mulai berteriak minta makan. Rasa laparnya sudah dirasakannya sejak dari tadi. Mungkin karena ada dokter Himawan tadi, Rara bisa diam menahan lapar.
Aku segera menyuapi Rara. Kuberikan bubur ayam satunya ke Lina tapi ditolaknya.
Kata Lina sebentar lagi mau pulang. Bubur ayam satunya bisa untuk makan siang saja sarannya.
Aku pun menuruti saran Lina karena ternyata, aku lupa membawa dompet. Yang kubawa kartu berobat, surat rujukan fisioterapi dan bekal makan yang kubawa serta ke rumah sakit. Juga ponsel yang kini menyala karena panggilan masuk dari dokter Himawan.
Di layar ponselku terpampang wajah dokter Himawan yang tersenyum manis. Berkedip-kedip gambarnya disertai getaran–getaran kecil seakan menyetrum ponselku.
“Assalamu’alaikum, hallo?”
“Halo Dok?”
“Nanti kalo dah selesai terapinya, WA ya?”
“E, nggak usah Dok. Masih lama, nunggu 30 antrian lagi.”
“ Ini tadi dah tak mintakan tolong teman. Habis ini langsung masuk saja.”
“Tapi, dok?”
Dokter Himawan menutup ponselnya. Aku bingung. Lalu terdengar panggilan.
“Panggilan, atas nama Bu Suciwati! Silakan ke loket 6!”
Kudorong Rara menuju loket 6. Lalu aku menyerahkan nomor antrian dan berkas rujukan dokter.
“Ibu Suci daftar pasien umum?”
“Iya, Pak.”
“Silakan setelah ini ke loket Bank ya? Loketnya di sebelah timur bangunan ini. Sebelum sampai apoktek, belok kiri. Kalo masih bingung nanti Ada petunjuk tulisan di atas kok Bu? “
“Makasih, Pak.”
Aku melihat nota tagihan yang harus kubayar di loket bank. Di situ tertera tiga ratus tujuh puluh ribu. Ternyata banyak juga.
“Astagfirullah! Bukankah dompetku ketinggalan?“
Aku coba nelpon Lina. Beberapa saat aku menunggu.Ternyata sambungan telpon dialihkan. Aku coba lagi dan lagi. Tetap dialihkan terus.
[Assalamu’alaikum Lin. Maaf, aku mau pinjam uang bisa? Soalnya dompetku ketinggalan. Makasih ya Lin]
Lima belas menit aku menunggu jawaban dari Lina. Pesanku belum dibaca meski sudah terkirim. Masih belum centang biru.
“Eh..eh..”
Rara berteriak-teriak. Aku paham dengan keinginannya mau ke belakang. Aku dorong Rara ke toilet. Aku masih kepayahan, tapi bisa kuatasi. Asal Rara nggak nangis, aku senang. Meski, gamisku sebagian basah.
Aku keluar toilet. Kudorong Rara pelan. Aku bingung harus bagaimana. Kuputuskan menunggu di loket pendaftaran saja. Itu akan lebih mudah ditemukan Lina.
Kurasakan tubuhku lemas lagi. Seakan berjalan di atas awan, ringan dan mudah oleng. Keringat dingin keluar. Jantungku mendadak terasa keras terdengar di telingaku.
Aku harus kuat. Tapi aku tidak bisa bohongi tubuhku sendiri. Aku limbung sesaat ketika mau duduk di depan loket pendaftaran. Semua menjadi gelap.
****
Samar-samar kudengar percakapan. Aku masih bisa mengenali suaranya. Kurasa itu suara dokter Himawan.
“Tensinya rendah, Dok.”
“Lab darahnya?”
“Hbnya juga rendah, 9 g/dL.”
“Ya udah, Sus. Makasih.”
Kucoba buka mata. Kulihat dokter Himawan mau beranjak pergi. Tetiba tanganku reflek memegang tangannya.
“Di mana Rara Dok?”
“Sama Lina. Nanti kalo sudah selesai Lina mau ke sini.”
“Maafkan saya Dok, baru kenal sudah banyak ngrepoti.”
“Nggak papa Bu. Aku hanya menjalankan taqdirku, melakukan apa yang harus kulakukan.”
“Apa yang bu Suci rasakan sekarang?”
“Lemas. Dan sepertinya asam lambung saya kambuh Dok.”
“Ada sesuatu yang mengganggu pikiran bu Suci?”
“Nggak ada Dok.”
“Asam lambung itu banyak pemicunya. Namun yang paling bahaya adalah pikiran. Jika pikiran terbebani dengan sesuatu yang berat, Bu Suci akan sering kambuh. Ditambah lagi, sering telat makannya.”
“Iya, Dok.”
“Oh, iya. Maaf tanpa seizin bu Suci aku cari KTP di tas bawaan tapi tidak ada.”
“Dompet saya ketinggalan di rumah.”
“Bu Suci nunggu sebentar. Nanti masuk bangsal habis dhuhur.”
“Saya nggak mau, Dok. “
“Kenapa?”
“Saya dah baikan kok, Dok.”
“Bener?”
“Kasihan Rara kalo saya rawat inap. Nggak ada yang jaga nanti.”
“Kan, ada suami Bu Suci?”
“ Vertigonya lagi kambuh , Dok.”
“Oh, maaf-maaf.”
“Nggak papa Dok.”
“Baiklah kalo memang sudah sehat. Sebentar ya? Aku mau ambil tas. Nanti pulangnya saya antar. Nggak usah sungkan, apalagi nolak.”
Aku hanya mengangguk pelan. Entah dengan apa aku bisa membalas kebaikan dokter Himawan. Namun, hatiku berdesir aneh setelah kulihat tiga kancing baju atasku terbuka. Apakah dokter Himawan sempat melihatnya lebih jauh?
Astagfirullah. Nggak mungkin dokter Himawan akan berbuat serendah itu. Aku segera membenahi kancing bajuku.

Bình Luận Sách (70)

  • avatar
    RiswantiRini

    ceritanya menarik seru dan ending nya bikin penasaran. bagus lah.. jd pengen cepet ada kelanjutannya

    19/05/2022

      0
  • avatar
    helmizaid

    good

    10d

      0
  • avatar
    John WayneZahorine

    👍🏼👍🏼👍🏼

    27d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất