logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 3

Tak terasa kami telah tiba di desa. Ayah meminta paman Wang untuk langsung ke rumah kami.
Karena masih siang, suasana di desa sangat sepi. Sebagian penduduk desaku adalah petani. Siang hari seperti ini mereka masih berada di ladang masing-masing.
Tak banyak orang yang melihat kami kembali dari kota. Bahkan nenek dan bibi juga tidak.
Aku dan ayah segera menurunkan belanjaan kami. Ayah memberi beberapa yuan untuk upah paman Wang. Selain itu ayah juga menyertakan beras dan telur di gerobaknya.
Ibu menyambut kami dengan gembira. Sedangkan Yin mei sangat senang karena ayah membelikannya tanghulu dan gula-gula yang sangat disukainya.
"Yun'er, simpanlah bahan makanan dan kain-kain ini di tempat yang aman. Pastikan tidak mudah untuk ditemukan. Sisakan saja secukupnya."
Ayah menginstruksikan ibu untuk menyimpan barang belanja kami. Ibu mengangguk mengerti dan segera melakukan perintah ayah.
"Ming yue simpan buku tabungan dan uang ini baik-baik. Besok pagi ayah akan ke bank sekembalinya dari pabrik. Ayah akan mengundurkan diri dari proyek. Dan lusa ayah mulai bekerja di toko bangunan itu."
Aku mengerti maksud ayah. Aku memiliki tempat persembunyian rahasia yang tidak diketahui siapa pun.
Di masa lalu setiap ayah menjual biri-biri atau menerima gaji, nenek akan datang mengunjungi kami. Dia akan meneliti semua hal di rumah dan membawa pulang hal-hal yang diinginkannya. Dia tidak peduli apakah kami mengijinkannya atau pun tidak.
Setelah aku dan ibuku menyelesaikan hal-hal yang diminta ayah, aku melihat ayah tengah memasukkan ayam dan bebek ke kandangnya. Sedangkan bibit ikan di taruh di tempayan di dapur.
Sementara ibu melanjutkan memasak dan berbenah dapur. Tang yin mei menemaniku merapikan rumah.
Rumah keluargaku sangat sederhana. Hanya berdinding papan kayu yang sudah tua. Lantainya hanya tanah berlapis batu yang tersusun rapi. Tak banyak ruang mau pun barang di rumah kami.
Hanya ada ruang serbaguna yang tidak begitu luas, dua buah kamar dan dapur. Sedangkan kamar mandi ada di luar. Seperti layaknya keluarga-keluarga lain di desaku, rumah kami pun merupakan bagian dari komplek rumah keluarga Tang.
"Meimei apa yang kau masak?" aku mendengar suara bibiku dari halaman belakang. Ibuku mengatakan beberapa hal.
Dan tak lama terdengar suara nenek. Seperti biasa dia sibuk membuka lemari, tempayan dan penyimpanan bahan makanan. Dia mengomel karena tidak menemukan apa pun.
"Ibu aku baru kembali dari kota. Aku belum sempat ke rumahmu."
Ayah tiba-tiba masuk dan menyela percakapan mereka. Aku juga ikut duduk di dapur dan membantu ayah mengambil bahan makanan yang kami beli untuk nenek.
"Ibu aku akan membawakan bahan-bahan ini ke rumahmu. Aku rasa ini cukup untuk satu bulan. Maafkan aku, aku tidak bisa memberimu lebih."
Ayah tampak sangat menyesal karena tidak bisa memberi ibunya uang. Aku tertawa dalam hati, ternyata ayahku pandai berakting juga.
"Bukankah kau telah menjual biri-birimu? Apa kau tidak mendapatkan uang? Kakak dan keponakanmu membutuhkan uang untuk biaya sekolah dan pernikahan keponakanmu. Apa kau tidak punya hati?"
Seperti biasanya nenek mulai berteriak dan mencaci maki ayahku. Mendengar suaranya yang keras, tetangga mulai berdatangan. Penduduk desa sangat senang dengan keributan seperti ini.
"Ibu aku memang menjual biri-biri itu, namun aku harus membayar hutang pada temanku. Tahun lalu aku berhutang banyak untuk pengobatan Yin mei."
Ayah benar-benar terlihat memelas. Sedangkan ibuku hanya meremas tangannya dengan cemas.
"Kau sungguh keterlaluan, Tang zhou yang adalah cucu laki-lakiku yang paling cerah masa depannya, apakah bisa dibandingkan dengan anak-anak perempuanmu itu? Yang satu sakit dan menjadi cacat dan satunya lagi senang berkhayal terlalu tinggi."
Nenek terlihat sangat marah. Selama ini putra bungsunya selalu mengalah dan menuruti kemauannya. Tapi hari ini dia membantahnya.
"Ibu bagiku anak-anakku adalah segala-galanya, aku akan berjuang untuk mereka. Dan tentunya aku tidak pernah minta dukungan saudara-saudaraku. Aku rasa kakak ketiga cukup mampu untuk mendukung keluarganya sendiri."
Ayah masih berbicara tanpa emosi. Ketenangan ayah yang seperti ini belum pernah kulihat sebelumnya.
"Anak perempuan itu tidak ada harganya, hanya akan merepotkan dan menghabiskan biaya. Apa kau mau menghabiskan uangmu untuk mereka?"
"Ibu itu lebih baik daripada uangku habis untuk membiayai anak orang lain. Aku tidak keberatan mendukungmu. Sama sekali tidak keberatan. Tapi aku keberatan untuk mendukung kakak-kakakku. Anak-anakku juga membutuhkan biaya ibu."
"Kau … kau … dasar tak tahu diri. Serigala bermata putih. Pasti perempuan sial itu yang mempengaruhimu!"
Nenek gemetar karena sangat marah. Dia pun mulai menangis dan memaki-maki ibuku. Ayah berdiri di depan ibu menghalangi nenek yang hendak menyerangnya.
Suasana sungguh tak terkendali. Penduduk desa yang berkerumun hanya berbisik-bisik tak berani mengambil tindakan. Saat itu aku berpikir untuk memanggil kepala desa. Aku berlari menuju rumah kepala desa yang tepat di depan rumah kami.
Saat aku kembali dengan kepala desa, nenek sedang menangis berguling-guling di lantai. Sedangkan ayah hanya berdiri di depan ibuku sambil memeluk Yin mei yang ketakutan.
Orang-orang yang berkerumun minggir ketika melihat kepala desa datang. Dan saat bersamaan kakek dan ketiga pamanku juga datang.
"Tang wu di, ada apa ini?" Kepala desa menatap ayahku dengan tenang.
Melihat kepala desa datang nenek merangkak mendekati kepala desa masih dengan menangis terisak-isak, "Kepala desa lihatlah putraku ini, dia sungguh melupakanku sebagai ibunya."
Bibi ketiga juga menghampiri kepala desa dan nenek, tapi dia mencoba mengangkat nenek dari lantai.
"Ibu jangan seperti ini, lihatlah kepala desa sudah datang. Dia pasti akan memberi keadilan untukmu."
Ayah dan ibu hanya saling berpandangan. Aku mendekat pada ayahku dan menggenggam tangannya. Ayah menganggukkan kepalanya dan membelai kepalaku seakan menenangkanku.
"Kepala desa, aku minta maaf jika ibuku sudah membuat keributan. Maafkan aku tidak mampu mengendalikan masalah keluargaku hingga mengganggumu dan juga penduduk desa." Ayah mendekati kepala desa dan berdiri tak jauh darinya. Kepala desa menatap berkeliling sebentar.
"Lao Tang tolong bawa istrimu untuk duduk." Kepala desa menatap kakek dengan tajam. Kakek menganggukkan kepala.
Kakek segera membawa nenek untuk duduk, meski enggan nenek terpaksa menurut. Di depan kepala desa dia tidak berani bertingkah.
"Tang wu di, sebenarnya aku tidak berhak ikut campur masalah keluargamu. Tapi putrimu memintaku untuk datang karena mengkhawatirkan kalian. Apakah begini cara para tetua bertindak didepan generasi muda?"
"Kepala desa, aku tahu ini memalukan namun seperti yang kau tahu aku tidak mampu mengendalikan ibuku. Ini juga bukan yang pertama kalinya, aku sungguh minta maaf." Ayahku menundukkan kepala tak berdaya.
Namun dengan kata-kata ayah penduduk desa mulai berbisik-bisik lagi. Hal seperti ini memang kerap terjadi setiap nenek menginginkan uang dari ayahku untuk putra-putranya yang lain.
"Lao Tang apa pendapatmu? Ini masalah keluargamu, namun tingkah istrimu sudah mulai mengganggu kenyamanan lingkungan." Kepala desa melirik kakek yang terdiam, duduk di samping nenek.
Nenek tampak hendak membantah, namun kakek memegangnya dengan erat.
"Kepala desa aku akan mendisiplinkan istri dan putraku untuk tidak membuat keributan lagi," kakek agak enggan ketika menjawabnya. Ini sungguh memalukan baginya.
"Baiklah, Aku tidak ingin ini terulang lagi. Aku bisa memberi sangsi pada keluargamu. Tang wu di adakah yang ingin kau sampaikan?" Kepala desa beralih menatap ayahku.
"Sebenarnya ini masalah keluarga, Namun jika kau tidak keberatan aku ingin meminta bantuan dan pendapatmu kepala desa."
Kepala desa hanya menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan.
"Kepala desa, aku dan istriku memang belum memiliki putra. Hanya dua orang putri ini yang kami miliki. Di mata kami mereka sama berharganya dengan anak-anak kakak-kakakku. Aku ingin menyekolahkan mereka semampuku. Apakah pemikiranku ini salah kepala desa?"
Ayah menggandengku dan Yin mei seakan-akan ingin menunjukkan kepada semua orang bahwa kami adalah hartanya yang berharga.
Aku menatap ayah dengan berkaca-kaca. Ayah dulu aku tak sempat membahagiakanmu, di kehidupan ini aku akan membuatmu bangga.
"Itu tidak salah. Zaman sudah berubah, sekarang tidak Ada bedanya laki-laki dan perempuan. Tang wu di, aku setuju dengan pendapatmu. Lalu apakah masalahnya?" Kepala desa menatap kami dengan heran.
Bukankah semua orang tua pasti menyayangi anak-anaknya? Lantas apa masalahnya jika sebagai seorang ayah, pria di depannya ini ingin menyekolahkan kedua putrinya setinggi mungkin?
"Ibuku tidak sependapat denganku, dia beranggapan karena aku tidak memiliki putra maka aku harus mendukung putra kakak-kakakku dan membiarkan putriku untuk putus sekolah. Jika aku berlebih aku tidak keberatan, namun kondisi keuangan kami juga sudah sulit." Ayah menundukkan kepalanya seakan-akan takut dimarahi nenek dan dibenci kakak-kakaknya.
"Sejujurnya aku tidak berani mencampuri masalah ini, namun aku hanya mengingatkan. Adat hanyalah kebiasaan tapi sekarang hukum perundang-undanganlah yang berlaku. Menelantarkan anak kandungmu sendiri itu melawan hukum. Wu di lakukanlah yang menurutmu terbaik."
Kepala desa memahami maksud ayah. Dalam adat masyarakat kami saat ini, sistem patrilineal sangatlah kuat. Keuangan dan pengaturan rumah tangga biasanya berpusat pada ibu atau salah satu putra yang ditunjuk.
Akan ada sejumlah uang yang merupakan uang keluarga yang akan digunakan untuk kebutuhan seluruh keluarga. Namun sistem ini sering menimbulkan ketidakpuasan banyak pihak. Terutama jika ada pihak yang pengeluarannya sedikit namun berpenghasilan banyak.
Sepertinya inilah yang terjadi dalam keluarga Tang. Ayah sebagai putra bungsu memiliki pekerjaan tetap di proyek. Selain itu dia juga mendapat tunjangan dari militer karena dia pensiun dini. Dengan menggunakan alasan tanpa memiliki putra, nenek selalu menekan ayah untuk menyerahkan sebagian penghasilannya untuk mendukung pengeluaran seluruh keluarga.
Dalam sistem patrilineal, anak perempuan jika sudah menikah akan menjadi bagian keluarga suaminya. Dan sangat jarang bisa membantu secara finansial keluarga aslinya. Karena itu sangat menyedihkan jika sebuah keluarga tanpa putra.
"Terima kasih kepala desa. Dengan ini sudah bulat tekatku untuk menyekolahkan kedua putriku setinggi yang aku mampu."
Ayah tersenyum lega mendengar perkataan kepala desa. Sebenarnya ayah hanya ingin penegasan di depan semua orang bahwa apa yang dilakukannya benar.
"Lao Tang keadaan sudah berubah, setiap anak berhak mendapatkan kehidupan yang layak apakah perempuan atau laki-laki. Dan tugas kalianlah sebagai orangtua untuk memberi kehidupan layak untuk anak-anak kalian."
Kepala desa mengalihkan pandangannya pada kakek, nenek dan paman-pamanku.
"Aku mengerti kepala desa, aku akan membicarakan ini dengan anak dan istriku." Kakek hanya menganggukkan kepala setuju.
"Ini bukan hanya untuk keluarga Tang tapi juga seluruh warga desa. Kerukunan keluarga besar itu sangat bagus. Tapi jika ada yang dirugikan itu tidak adil. Aku rasa aku sudah selesai. Aku akan pergi."
"Terima kasih kepala desa," ayah dan kakek serentak mengucapkan terima kasih. Kepala desa meninggalkan rumah kami begitu juga dengan penduduk desa.
"Wu di, kau tahu seperti apa ibumu, apakah kau harus membuatnya marah setiap saat?" Kakek menatap ayahku dengan muram.
Kakek orang yang acuh tak acuh dan membenci keributan tapi dia juga orang yang adil. Beberapakali dia menegur nenek namun selalu tidak tahan dengan tingkah nenek yang memancing keributan.
"Dengarkan aku, seperti yang kepala desa katakan. Keadaan sudah berubah. Kita juga harus bisa mengikuti perubahan. Kalian harus bisa bertanggung jawab atas rumah tangga kalian sendiri." Kakek menatap putra-putra dan menantunya.
Kemudian dia menatap istrinya yang duduk di sebelahnya. Wanita itu tampak marah namun tidak berani memarahi suaminya itu.
"Dan kau sebagai seorang ibu dan nenek, bersikaplah adil dan jangan bertingkah konyol. Wu di tidak memiliki kewajiban untuk mendukung kakak-kakaknya. Tentu saja jika dia mau membantu itu lebih baik. Namun dengan kondisinya saat ini untuk menghidupi keluarganya saja dia masih kekurangan." Kakek berhenti sejenak dan kembali memandang keluarganya satu persatu.
"Ingat kata-kataku ini. Jika terjadi keributan lagi aku akan mengusulkan pemisahan keluarga. Ayo kembali ke rumah." Kakek beranjak sambil menarik nenek dari kursinya. Nenek enggan untuk pergi, dia belum mendapatkan apa yang diinginkannya.
"Ayah ini bahan makanan yang kubeli tadi. Bawalah, Aku rasa ini cukup Untuk persediaan kalian berdua selama satu bulan" Ayah mengulurkan bahan makanan itu pada kakek.
Kakek menatap kantong makanan itu. Kemudian dia menerimanya.
"Baiklah. Aku akan membawanya pulang. Kau harus memberi makanan anak istrimu dengan benar. Mereka terlalu kurus."
"Iya ayah aku akan," Ayah tersenyum dan mengantar kakek keluar dari rumah.
Nenek dan lainnya mengikuti mereka. Dengan demikian keributan hari ini berakhir. Tentu saja nenek dan bibi ketiga tidak bisa berdamai dengan akhir yang seperti ini.
Tapi ayah terlihat puas. Setidaknya nenek tidak akan membuat keributan lagi. Dan yang terpenting paman dan bibiku tidak bisa sembarangan menatap apa saja yang ada di keluarga kami miliki.

Bình Luận Sách (73)

  • avatar
    Patricia Lanase

    🙏🙏 Tolong di update cepat ceritanya. ceritanya sangat menarik tidak sabar apa kelanjutannya.

    20/12/2021

      0
  • avatar
    lailaninurul

    bagus banget, nggak sabar nunggu update selanjutnya 😆

    15/07

      0
  • avatar
    NasibZainon

    I love read rhis story

    19/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất