logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 2 Ke Mana Harus Melangkah

Aleya hanya bisa menahan gelisah dan getir dalam dada sambil terus menahan sedih, sesak, perih dan malu dalam dirinya. Bagaimana mungkin ayahnya benar-benar tega melupakan kewajibannya! Aleya masih memaklumi jika sang ayah melupakan dirinya juga sang mama, namun kenyataannya ….
'Kenapa ayah tega pada Kija? Bukankah ayah juga tahu jika Kija masih sekolah dan membutuhkan banyak biaya? Tapi, kenapa mama juga tak pernah cerita jika ayah tak pernah mengirim uang?'
Gelisah benar-benar menggelayut di benak Aleya. Wanita cantik itu duduk terpaku di bangku taman sekolah, tak jauh dari ruang kelas sang adik, Kija. Netra coklat itu menatap lurus ke depan namun dengan pikiran yang kosong. Panas semakin lama semakin menampakkan warna kulit kuning langsat wanita ayu nan cantik itu. Desiran angin sepoi menghempaskan rambut hitam lebatnya yang digerai. Sesekali, Aleya mengeluarkan napas beratnya seakan dia menanggung semua beban dunia di pundaknya.
"Iya, Tuan. Baik, saya akan menjaga tuan muda dengan baik. Ana jangan khawatir."
Seorang wanita muda nan cantik berpakaian serba hitam dan heels setinggi 5 cm dengan anggun duduk di samping Aleya. Mata Aleya langsung curi-curi pandang ke arah wanita dengan body bak bodyguard namun juga seperti model dengan rambut digelung ke belakang dan sedang menatap gawainya dengan serius.
"Oh, c'mon … why there's no signal in here? Gossshhhh, I need the signal. Need to send these things to Mr. Raphael." Keluh wanita itu dengan ekspresi wajah bingung.
Aleya yang sedari tadi melihatnya diam-diam, memberanikan diri dan berdiri mendekati wanita perawakan bule itu seraya memainkan jemari tangannya di bawah kemejanya, menahan grogi dan gemetar.
"E--ex--ex--" bibir Aleya bergetar menahan grogi.
"Yes," sahut wanita itu mendongakkan kepalanya dan meredupkan sedikit matanya karena silau matahari.
"I--I--I'm sorry, are you--mm-mm--" lagi-lagi Aleya ragu untuk bicara.
"Ada apa, ya? Apa ada masalah, Nona?" wanita itu menyahut ucapan Aleya.
"Anda bisa bahasa Indonesia?" tanya Aleya terkejut.
"Tentu saja saya bisa. Saya sudah 2 tahun tinggal di Indonesia," wanita itu menjawab dengan logat Indonesia ala orang-orang barat pada umumnya.
Tersenyum, Aleya kemudian dengan ramah berujar, "Maaf sebelumnya, tapi tadi saya mendengar Anda kesulitan untuk mendapatkan sinyal?"
Wanita itu mengangguk.
"Saya bisa membantu Anda," ucap Aleya dengan senyum mengembang.
"Mem--bantu sa--ya? Maksud Anda? Who are you?"
Aleya secara spontan membuka tangannya di hadapan wanita itu, "My name is Aleya." Senyum dan tatapan mata yang ramah tak pernah lepas dari wanita cantik nan ayu itu.
"Rebecca." Balas wanita itu menjabat tangan Aleya. "Jadi, Anda tadi bilang Anda bisa bantu saya? Lalu, bantuan apa yang Anda maksud?" tanya Rebecca sedikit curiga.
"Bukankah tadi Anda mengeluh tentang sinyalnya yang susah, Nona? Di dekat sekolah ini ada sebuah kedai, tak terlalu besar memang, tapi mereka memiliki wi-fi yang mungkin bisa Anda gunakan," jelas Aleya.
Sedikit bingung Rebecca memandang Aleya, "Tidak, terima kasih." Tolak wanita itu kemudian netranya mengarah lagi pada gawai yang dipegang di tangannya.
Mendengar penolakan Rebecca, Aleya langsung kikuk, canggung, dan tersenyum tak jelas sambil melangkah lagi kembali ke tempat duduknya dan sesekali melihat Rebecca yang terlihat keren dengan balutan pakaian ala wanita karir.
'Tuhan, kapan aku bisa seperti dia? Sungguh perbedaan yang tinggi, antara langit dan bumi.'
"Haaaaahhhhh ….," tanpa sadar Aleya mengeluarkan napas dengan panjang dan membuat Rebecca mengalihkan pandangan ke arahnya.
"Apa Anda baik-baik saja, Nona?" tanyanya dengan logat Indonesia yang tak terlalu jelas.
"Ah, ma--maaf kalau saya menggangu Anda sedang bekerja. Silakan, diteruskan saja, Nona. Per--permisi."
Dengan terburu-buru, Aleya berdiri dan menundukkan sedikit kepalanya sebagai bentuk hormat pada Rebecca dan segera berlalu.
"How strange she is. I've just talked to her and now she's leaving?" Rebecca menggelengkan kepalanya seraya tersenyum kecil.
****
Bug … brak!!
"Aduh!"
"Ouch!"
Aleya dan seorang wanita yang baru saja bertabrakan badan dengannya, sama-sama saling jatuh dan terlihat beberapa buah buku berserakan di lantai. Aleya yang mengusap bahunya yang sakit segera melihat ke arah gadis yang ditabraknya tadi tengah merintih kesakitan dan tampak mengelus bagian belakang tubuhnya.
"Aduhhhhh, siapaaaa sih yang ga punya mata! Jalan ga liat-liat!" teriak gadis itu sambil menunjukkan ekspresi kemarahan dan kesalnya.
Aleya langsung bangun dan menghampiri gadis muda yang masih duduk di lantai sekolah yang kotor itu.
"M--maaf, apa Anda tak apa-apa?" Aleya mengulurkan tangannya ingin membantu gadis itu berdiri.
"Kamu!! Kamu yang tadi nabrak saya, ya! Punya mata ga, kamu!? Atau mata kamu udah pindah ke kaki, hah!" sentak gadis itu menampik tangan Aleya dengan keras hingga memerah.
Aleya menahan rasa sakit di telapak tangannya, dia hanya tersenyum tipis dan beralih ke sisi lain gadis itu bermaksud hendak membantu mengambil buku-bukunya, namun tiba-tiba ….
"Jangan sentuh buku-buku mahalku dengan tangan kotormu! Jijik aku melihatnya!" hardik gadis itu langsung berdiri dan mengambil kasar buku-bukunya.
Tak ayal, suara lantang dan kata-kata kasar gadis itu langsung mengundang perhatian para guru yang ada di sekolah tersebut. Mereka ramai-ramai keluar kelas dan melihat sang gadis sedang memarahi Aleya habis-habisan. Kija, sang adik pun spontan langsung keluar kelas dan tak sengaja menjatuhkan tempat pensil bergambar Captain America milik Reyen.
"Hey, you! Stop!" bentak Reyen dengan suara lantang.
Tak pelak, kegaduhan kini timbul di dua tempat yang berbeda. Sofia yang teralihkan karena suara gaduh di luar kelasnya, kini harus berurusan dengan kegaduhan yang ada di dalam kelasnya sendiri
"Reyen, ada apa?" Sofia buru-buru mendatangi Reyen yang terlihat emosi.
"He's dropping my pencil case!" Kesalnya menunjuk wajah Kija yang terlihat pucat dan jemarinya mulai gemetar.
Sofia melihat ke arah Kija dan berusaha menenangkan muridnya yang ketakutan.
"Kija, apa betul yang dikatakan Reyen?" tanyanya lembut sambil memegang bahu Kija lembut.
Kija menelan saliva-nya kasar, netranya menatap sang guru dan teman barunya dengan ragu dan takut-takut.
"Kija, ada apa? Ibu tanya sekali lagi, apa benar kamu menjatuhkan tempat pensil Reyen?" Sofia mulai meninggikan sedikit intonasi bicaranya.
Kija semakin takut, tegang dan jari-jemarinya gemetar semakin hebat. Sofia pun segera panik, tak terkecuali Reyen! Kija langsung tak sadarkan diri dan membuat Sofia spontan teriak, "Kijaaaaaa!!!!"
Teriakan Sofia sontak membuat Aleya segera berlari menuju ruang kelas sang adik, "Hei! Aku belum selesai bicara padamu! Hei!!" teriak gadis itu.
"Kija! Kija--a--ada apa dengan Kija, Bu Guru?" Aleya datang dan melihat Kija sudah ada di pelukan sang guru. "Kijaaaa!! Ada apa denganmu? Kija … Kija …." Aleya langsung memangku tubuh sang adik yang masih tak sadarkan diri.
"Kita--kita bawa ke ruang UKS, Mbak." Ucap Sofia berusaha menenangkan Aleya yang panik.
****
Aleya dengan sabar duduk di sebelah tubuh sang adik yang masih siuman, tangannya dengan lembut membelai rambut hitam legam milik sang adik. Sementara itu, Sofia sang wali kelasnya juga turut berada di ruang UKS mendampingi Aleya dan Kija. Dengan perlahan, langkahnya mendekati Aleya dan berkata, "Mbak, bagaimana Kija? Apa Kija sebelumnya sudah kurang enak badan?" tanya Sofia berbisik.
Namun Aleya hanya terdiam. Tatapan mata dan tangannya terpaku pada sosok sang adik yang terbaring di kasur UKS sekolah. Sofia menatap keduanya dengan tatapan lirih, 'Kasihan sekali Kija … padahal dia anak yang pandai. Sayang sekali jika harus putus di tengah jalan.'
"Mbak, bisa bicara sebentar?" Sofia kembali berbisik di telinga Aleya.
"Mau bicara apa lagi, Bu? Soal SPP, akan saya usahakan. Saya janji, Ibu tolong jangan beritahu mama kami soal hal ini." Ucap Aleya pelan.
"Bukan. Bukan soal SPP, tapi …." Sofia tak melanjutkan ucapannya.
Aleya melayangkan tatapan datar namun dengan sejuta pertanyaan menggelayut di relung batinnya.
"Kita keluar?" ajak Sofia.
Sofia dan Aleya terkejut ketika mereka bertemu dengan Rebecca, wanita yang menemani Reyen di muka pintu ruang UKS dan tengah berdiri layaknya patung.
"Anda---" Sofia mengangkat sebelah alisnya
"Saya Rebecca, saya asisten tuan Reyen."
"Oh, Nona Rebecca, saya Sofia, wali kelas Reyen," sahut Sofia mengumbar senyum.
"Saya tahu. Saya datang ke sini menemui Anda karena saya ingin meminta kejelasan mengenai apa yang baru saja terjadi. Bagaimana mungkin Anda bisa begitu ceroboh hingga menyebabkan ini terjadi!?" Rebecca sedikit menaikkan intonasi bicaranya.
"S--sbar--sabar, Nona Rebecca. Masalah ini bisa kita selesaikan secara baik-baik. Tak perlu dengan kepala panas. Lagipula, justru yang menjadi korban dalam hal ini adalah Kija." Jelas Sofia menunjuk Kija yang masih belum sadar.
"Kija? Siapa itu Kija?" tanya penasaran Rebecca.
"Kija adalah adik saya, Nona. Saya minta maaf atas nama adik saya perihal masalah ini." Aleya membungkukkan badannya di hadapan Rebecca.
"Apa kita bisa bicara di tempat lain?" tanya Sofia menatap keduanya.
"Bi--"
"Maaf, tapi Tuan Reyen tak bisa menunggu lama. Dia harus segera pulang untuk sekolah berikutnya!" tegas Rebecca dengan ekspresi pongahnya.
"Oh, baiklah kalau begitu, Nona Rebecca. Hati-hati di jalan, sampai ketemu esok hari."
Tak ada jawaban dari Rebecca. Wanita itu langsung pergi meninggalkan ruang UKS tanpa bertanya sedikit pun pada sang wali kelas atau Aleya.
"Maaf, Bu Guru, tadi apa yang ingin Anda bicarakan?" Sofia tiba-tiba bertanya.
"Oh, iya--iya, maaf, saya hampir lupa. Begini Mbak, mengenai biaya sekolah Kija mungkin Mbak bisa mengajukan beasiswa ke sekolah ini."
"Bea--siswa? Bagaimana caranya, Bu?"
"Soal itu, nanti akan saya tanyakan pada bagian tata usaha, ya, Mbak. Sekarang yang terpenting Kija sehat dulu. Tapi, boleh saya tanya sesuatu?"
Aleya mengangguk, "Silakan."
"Sewaktu Reyen bertanya dengan intonasi agak tinggi, kenapa Kija tiba-tiba langsung berubah pucat-pasi wajahnya dan juga saya lihat dia langsung tremor."
Aleya terdiam sejenak, memandang sang wali kelas sendu kemudian berkata, "Apa Anda pernah mendengar tentang Parkinson?"
"Parkinson? Bukankah itu sejenis penyakit yang menyerang syaraf?" ucap Sofia
Aleya mengangguk, "Benar, Bu. Parkinson memang penyakit yang menyerang sistem saraf penderitanya, dan bisa menyebabkan si penderita mengalami tremor (gemetar) bila sudah kelelahan atau panik dan … adik saya, Kija adalah salah satunya." Jelas Aleya menahan tangisnya.
"M--maksud Anda?"
"Kija … dia, mengidap parkinson, Bu Guru."
"Apa? Tapi … bukannya penyakit ini biasanya menyerang pada lansia, ya, Mbak? Bagaimana mungkin anak seusia Kija--" Sofia tak melanjutkan ucapannya dan netranya segera beralih pada sosok mungil yang terbaring di atas kasur ruang UKS yang keras dan tak nyaman.
"Kija …. Tapi, bagaimana mungkin penyakit itu menyerang anak semanis dia?" tanya Sofia masih tak percaya.
"Saya juga tak tahu, Bu Guru. Tapi beberapa kali kami membawanya ke rumah sakit, dokter selalu mengatakan hal yang sama, bahwa Kija ini satu dari 1000 kasus langka yang ada."
"Saya turut menyesal mendengar dan melihat kondisi Kija, Mbak. Akan tetapi, Mbak tetap harus semangat dan memberikan dukungan bagi Kija, ya." Senyum Sofia.
"Terima kasih, Bu Guru. Lalu, soal beasiswa tadi--"
"Oh, itu biar saya yang urus. Mbak jangan khawatir."
"B--benar, Bu?" tanya Aleya tak percaya.
Sofia mengangguk, "Saya yang akan mengurus semuanya. Mbak hanya perlu menyiapkan data-data yang diperlukan untuk persyaratannya." Tukas Sofia menepuk bahu Aleya pelan.
Senyum Aleya sontak mengayun di wajah cantiknya, seakan langit yang tertutup awan kelam, kini berganti menjadi mentari yang bersinar terang. Spontan, Aleya menyambar tangan Sofia dan menggenggamnya erat seraya berkata, "A--apa--apa Ibu sungguh-sungguh? Ibu sungguh-sungguh akan membantu saya?" tanyanya masih tak percaya.
"Iya, Mbak. Saya akan berusaha membantu Kija sekuat tenaga." Sahut Sofia melemparkan senyum manisnya.
"Terima--terima kasih, Bu Guru. Banyak-banyak terima kasih. Saya tak tahu ke mana lagi kaki harus melangkah, terima kasih sekali lagi, Bu Guru." Tak henti-hentinya Aleya membungkukkan badannya di depan Sofia.
"E--e, Mbak. Sudah, Mbak--sudah. Ga enak diliatin orang. Saya segera mengurus beasiswa Kija, ya. Mbak jaga Kija sampai benar-benar sehat."
"Baik, Bu Guru. Sekali lagi terima kasih."
Tak lama, Sofia meninggalkan Aleya dan ruang UKS. Aleya melihat sang adik dari pintu luar ruang UKS sambil berkata, "Kija, kini Kakak tahu ke mana harus melangkah … Kakak janji kau akan baik-baik saja dan bisa mencapai apa yang kau mau."

Bình Luận Sách (64)

  • avatar
    Adilah Syafiqah

    good lucky

    5d

      0
  • avatar
    AmaliaNurul

    kerenn sangatt

    23d

      0
  • avatar
    CaturMahmudah

    seru

    17/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất