logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

4. Loker

Bel istirahat sudah berbunyi dari beberapa menit lalu. Luluk dan Ranna masih di dalam kelas. Sedangkan Shinta tadi katanya ada urusan. Jadi dia keluar dulu. Luluk menghampiri Ranna yang sedang merapikan bukunya untuk dimasukkan ke dalam tas.
"Ran, lo ikut ekskul apa?" Tanya Luluk yang berdiri di samping meja Ranna.
"Basket," Ranna menjawabnya singkat. Ia menutup resleting tasnya.
"Gue juga mau ikut basket deh. Gue jadi males di ekskul fotografer. Ke inget nyokap gue soalnya," Ranna menatap Luluk. Ada sesuatu yang tersirat dimata Luluk ketika mengatakan itu.
"Emang kenapa dengan nyokap lo, kak?"
"Nggak papa."
Ranna hanya mengangguk singkat. Seolah mengerti jika Luluk memang tidak ingin membicarakan hal itu.
"Eh, emang Kakak suka basket?" Tanya Ranna mengalihkan pembicaraan.
"Sebenernya nggak terlalu sih."
"Terus kenapa milih basket?"
"Bosen aja sih di fotografer. Cuman gitu aja. Pingin aja bisa refreshing sama ekskul lain. Gue ikut ekskul lo aja sih. Biar ada temennya. Lo belum daftar kan?"
Di sekolah mereka kalau pergantian tahun ajaran, harus mendaftar lagi ekskul yang mereka ikuti. Untuk dimintai keterangan, antara mau  tetap di ekskul itu atau pindah ke  ekskul lain.
Ranna membalasnya dengan senyuman tipis. "Belum sih. Kak Luk mau daftar kapan?" Ranna mendadak canggung. Yah, mungkin karena selama ini, Ranna jarang ngobrol dengan orang lain, selain Shinta. Jadi agak aneh juga. Dirinya itu sulit mencari bahan obrolan yang seru. Hanya obrolan ringan yang menjenuhkan menurutnya. Beda dengan Shinta. Shinta selalu bisa mencari obrolan seru, pas dengannya, yang kaku soal obrolan.
"Gimana kalau istirahat ini? Dari pada kelamaan sih. Soalnya pendaftarannya udah dari kemarin. Bukan cuma kita doangkan yang daftar. Pasti udah banyak. Gimana?"
"Ok." Ranna menatap Luluk singkat. Lalu tatapannya teralihkan, ketika dirinya melihat dua orang di ambang pintu. Shinta sedang berjalan bersisian dengan Disa masuk ke dalam kelas. Ranna sempat melihat Disa yang menatapnya tajam kemudian melenggang pergi. Seiring dengan Shinta yang menghampirinya dan Luluk.
"Shin, dari mana? Kok lo sama Disa?" Luluk bertanya.
Ranna menghembuskan nafasnya pelan. Luluk mewakili rasa penasarannya. Ia ikut menatap Shinta. Ingin mendengar jawabannya.
"Dari ruang cheerleader. Gue sama Disa kebetulan ekskulnya sama. Jadi barengan aja. Eh, lo berdua ikut ekskul apa?"
"Basket. Gue sama Ranna juga samaan. Ini kita juga mau daftar," balas Luluk.
"Loh, bukannya lo ikut fotografer Luk?" Tanya Shinta sambil mengerutkan keningnya.
"Bosen. Mau cari sensasi yang beda," sebelum Shinta menanyai lebih lanjut. Luluk menarik Ranna. "Shin, gue sama Ranna daftar ekskul dulu ya."
"Oh, iya." Setelah mendengar itu Luluk segera menarik Ranna keluar. Shinta hanya menatapnya aneh dan memilih duduk di kursinya.
"Kenapa kayak buru-buru gitu sih?" Tanya Ranna ketika mereka sudah berada di luar kelas.
"Ya biar cepet aja. Daftarnya diruang basket kan?" Ranna mengangguk.
Di lorong, mereka melihat tiga cewek dan dua cowok yang sedang tertawa di salah satu kursi kantin. Entah menertawakan apa. Mereka terlihat cukup modis. Ranna yakin, mereka termasuk cewek terkenal dan kaya.
"Ran, lo lihat mereka bertiga?" Luluk menunjuk keberadaan ketiga cewek itu.
"Ya."
"Jangan sampai lo punya masalah sama mereka. Mereka bisa nglakuin hal yang cukup nekat kalau lo nyari masalah sama mereka. Apa lagi cewek yang duduk di tengah itu sama cowoknya." Luluk menunjuk salah satu cewek yang duduk di samping cowok. "Cewek itu cukup berbahaya. Apa lagi kalau berhubungan sama pacarnya yang namanya Hiro. Nggak mungkin dia lepasin." 
Ranna hanya manggut-manggut, mengerti. Ya, dia juga tidak punya niat untuk punya masalah dengan mereka bertiga. Ranna juga tahu dengan mereka dan cewek yang di tunjuk Luluk tadi, dirinya juga tahu. Namanya Delia.
Mereka berdua menuju ruang basket. Mereka mengetuk pintu begitu sampai di depan ruangan. Setelah mendengar sahutan dari dalam mereka berdua masuk ke dalam. Di ruang basket hanya ada beberapa orang saja. Mungkin karena masih jam istirahat orang-orang memilih pergi ke kantin dulu.
Luluk menghampiri seorang cowok yang duduk dengan seorang cewek. Mereka sibuk dengan beberapa kertas di meja.
"Kalian mau daftar basket?" Tanya cewek itu, begitu melihat kedatangan Ranna dan Luluk.
"Iya, gue sama teman gue mau daftar," jawab Luluk. Cewek yang duduk itu mengambil formulir dan pena yang ada di meja. Lalu memberikannya pada Luluk.
"Kalian tulis biodata kalian dulu ya. Kalau udah selesai kasih lagi ke saya," Luluk mengangguk. Dia memberikan selembarnya lagi pada Ranna. Mereka berdua sibuk menulis formulir.
Hingga sebuah suara menginstruksi mereka. Ranna mendongak. Ia melihat Afriyan, sang ketua OSIS. Yang mungkin jabatannya akan selesai ditahun ini.
"Saga nya ada?" Tanya nya pada kedua orang yang duduk itu.
"Oh, Saga tadi keluar Kak. Nggak tahu kemana," balas cewek yang duduk sambil tersenyum pada Afriyan.
"Emang ada urusan apa ya Kak?" Cowok yang duduk bertanya.
"Nanti kalau dia udah balik. Bilang pulang sekolah ke ruang OSIS."
"Baik, Kak."
Afriyan berniat pergi. Namun ia merasa ada yang melihatnya. Matanya beralih menatap dua orang yang masih menulis sesuatu di kertas. Ranna langsung menolehkan kepalanya begitu tatapan dingin Afriyan tertangkap matanya. Sedangkan Luluk seolah bersikap tidak peduli.
Afriyan kemudian melihat kertas yang ada di meja. "Kalian daftar basket?"
Luluk yang sudah selesai lebih dulu menjawabnya singkat. "Iya."  kemudian menyerahkan formulirnya diikuti Ranna yang juga sudah selesai.
"Ini daftarnya udah kan? Kalau udah gue mau balik ke kelas dulu," Luluk berujar pada dua orang yang duduk itu.
"Udah selesai kok."
Luluk segera menarik tangan Ranna keluar dari ruang basket itu. Ranna sedikit melihat gelagat aneh dari Luluk. Tapi sepertinya itu hanya perasaannya saja.
"Kak Luk, emang lo udah izin buat pindah ekskul?"
"Ya udahlah, Ran. Kemarin sih gue  izin. Kebetulan juga gue sama lo awalnya beda ekskul. Gue ikut lo aja. Kalau ikut Shinta, dia mah ekskulnya cheerleader gue nggak terlalu suka," Luluk menjelaskan, yang hanya dibalas Ranna dengan anggukan kepala.
Sampai di ruang loker, sebelum kelas mereka. Ranna berhenti.
"Kak Luk, gue keloker dulu. Kalau mau ke kelas duluan aja."
"Ok. Gue duluan ya," Luluk berlalu. Ranna segera masuk ke ruang loker. Cukup sepi. Bahkan seperti tidak ada orang. Ranna berjalan menuju lokernya. Ia mengeluarkan kunci dari saku roknya. Membuka lokernya. Tepat ketika pintu lokernya terbuka. Ada sesuatu yang membuatnya terkejut. Hampir saja ia menjerit kalau saja tangannya tidak cepat menutup  mulutnya. 
Dadanya bergemuruh. Siapa lagi yang melakukannya? Ranna menatap lokernya yang berantakan. Ada beberapa sampah kertas di dalamnya. Yang paling mengejutkannya ada tulisan berwarna merah yang seperti darah di pintu dalam lokernya.
Lo harus hancur Ranna
Ranna sedikit tidak menyukai darah. Ia mengambil beberapa kertas yang ada di lokernya dan menghapus tulisan itu dengan asal. Ia tidak peduli, yang penting  tulisan itu harus segera hilang. Lalu setelahnya, Ranna melempar kertas itu asal.
Siapa yang melakukan ini padanya? Siapa yang bisa membuka lokernya? Sedangkan kuncinya saja ia bawa.
Ranna menatap sekelilingnya. Tidak ada siapapun. Namun tiba-tiba ketika dirinya menoleh. Ada seseorang yang berdiri di samping lokernya. Ranna kaget, langsung menutup lokernya dengan keras.
"Lo kenapa?" Tanya Afriyan. Cowok itu menatap Ranna dengan bingung.
"Nggak kak. Kakak ngapain ada di sini?" Pertanyaan bego, Ranna mengumpat dalam hati. Ini ruang loker jadi siapa pun boleh kesini.
"Baru ngambil barang dari loker. Gue nggak sengaja lihat lo. Kayak ada yang aneh saat lo buka loker tadi. Ada sesuatu yang aneh di loker lo?" Tanya Afriyan dingin.
Ranna menggigit bibirnya bingung. Ia tidak tahu harus menjawab apa.
Ranna mencoba tersenyum. "Nggak ada apa-apa kok kak," ujarnya meyakinkan.
"Yakin?"
"Iya."
"Kalau ada apa-apa atau mungkin ada yang gangguin lo. Lo bisa bilang ke gue, karena gue ketua OSIS. Mungkin gue bisa bantu.  Lo tahu kan, gue harus tanggung jawab kalau ada yang bermasalah di sekolah ini," ucap Afriyan. Dan ucapan  itu membuat Ranna sedikit mengurangi rasa khawatir pada diri Ranna. Ya, mungkin karena sebelumnya hanya beberapa orang yang bilang seperti itu padanya. Bahkan bisa dihitung jari. Walau Afriyan bilang seperti itu karena tugasnya sebagai ketua OSIS.
"Gue pergi dulu," Afriyan kemudian berlalu pergi. Ranna menatap punggung tegap Afriyan yang mulai menjauh. Tatapan Ranna berubah sendu. Ia masih berfikir tentang lokernya.
Sebuah dentingan notifikasi dari ponselnya menyadarkannya. Membuatnya segera membukanya.
Matanya membulat begitu membaca tulisan yang ada di ponselnya. Apa lagi ini?
***

Bình Luận Sách (54)

  • avatar
    Mamakalling11

    1000

    23d

      0
  • avatar
    Gladis Anasa Gladis

    yee

    31/07

      0
  • avatar
    RiopratamaJudika

    gak ada

    12/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất