logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 5

“Kau benar-benar ingin ikut les menari?”
Emma mengangguk. “Hm, begitulah.”
Sofia cemberut, kedua tangannya terlipat di depan dada. “Kalau begitu setiap hari Selasa, Kamis, dan Sabtu, aku akan pulang sendiri?” Tanyanya dramatis, membuat Emma merotasikan bola matanya jengah.
“Ini baru pendaftaran, astaga. Aku harus datang lebih awal untuk mengisi formulir. Lagi pula soal jadwal, aku bisa pindah.”
“Kalau begitu ambil jadwal malam setelah pulang sekolah.”
“Iya, iya.”
Sofia langsung bersorak. Ia memeluk Emma dan kembali mengguncang tubuhnya seperti kebiasaannya. Emma hanya bisa menerima dengan ekspresi datar karena ia tahu percuma menghentikan Sofia. Mereka berdua ini sangat berbeda, Sofia terlalu ceria, sedangkan Emma terlalu datar.
Sore ini, Emma akan ikut mendaftar di tempat les menari yang baru dibuka. Dari dulu ia sangat suka menari, tetapi tidak pernah ada tempat les yang dekat dengan tempat tinggalnya. Ibunya tidak akan mengizinkan jika jaraknya jauh. Jadi kali ini, ia harus ikut. Ia telah memberitahu ibunya lewat telepon beberapa menit yang lalu dan beliau setuju.
Pendaftarannya dimulai setengah jam lagi, namun Sofia masih menahannya di gerbang sekolah. Para murid yang berlalu-lalang memperhatikan mereka seperti dua orang aneh yang berpelukan di tengah jalan.
“Sofia, pendaftarannya akan dimulai,” gumam Emma. Ia melepas rangkulan tangan Sofia yang cengengesan.
“Maaf,” katanya. “Kalau begitu aku pulang duluan. Kau hati-hati, ya!”
“Iya, kau juga.”
Segera setelah Sofia berjalan pergi bersama temannya, Emma juga segera memesan taksi agar cepat sampai. Ia menyadari sesuatu ketika taksi yang ditumpanginya berbelok ke dalam kawasan perumahan yang terasa familier.
Bukankah ini area rumah Dean?
Emma tahu karena Dean pernah memberitahunya. Sepertinya, pemuda itu telah memberinya terlalu banyak informasi pribadi yang bahkan tidak pernah Emma tanyakan. Seperti apa yang ia sukai, apa yang sering ia lakukan, di mana rumahnya, bagaimana desain kamarnya, sampai ukuran pakaiannya. Dean dengan senang hati menjelaskan, meskipun Emma terkadang tidak mendengarkan dengan baik. Ia tidak tahu kenapa semuanya masih tertinggal dalam kepalanya.
Emma menggeleng, mencoba menghilangkan bayangan tentang Dean (lagi). Namun sepanjang sore itu, ketika ia mendaftar, mengisi formulir sampai mengganti pakaian untuk latihan menari, wajah Dean masih terngiang-ngiang.
Ada yang salah dengannya.
Emma menghela napas dan berhenti latihan sejenak. Matanya memperhatikan sekitar ruangan yang mulai sepi. Karena sudah malam, orang-orang yang sebelumnya ikut latihan kini beranjak dari tempatnya untuk pulang.
Ia akan pulang beberapa menit lagi setelah menyelesaikan bagian terakhir. Saat ia kembali bergerak mengingat apa yang sebelumnya diperagakan, suara seseorang mendadak terdengar, “Aku tidak tahu kalau kau pandai menari.”
Emma terkesiap, seketika menoleh ke belakang dan melihat Dean yang duduk di lantai, tersenyum manis. Kenapa pemuda itu tiba-tiba bisa ada di sini?
Emma masih menatap bingung, sementara Dean dengan terang-terangan memperhatikan perut dan pahanya bergantian. “Bajumu sangat bagus,” katanya, tersenyum separuh.
Bagus karena ia bisa melihat kulit Emma lebih banyak. Dia memakai crop tee dan celana pendek berwarna putih yang memperlihatkan dengan jelas perut dan pahanya. Jarang sekali Dean melihat Emma berpakaian seperti ini. Tidak sia-sia ia bertanya pada Sofia yang langsung memberitahunya lokasi di mana Emma berada.
“Apa yang kau lihat?!” Emma bertanya galak saat melihat smirk yang terbentuk di bibir Dean.
“Sesuatu yang menyenangkan dan indah,” jawab Dean terkekeh. Ia masih saja memandangi Emma yang mendelik padanya. Tetapi gadis itu dengan cepat berbalik untuk mengambil jaketnya di ujung ruangan.
'Pemandangan belakang juga bagus,' batin Dean, memperhatikan dari belakang. Bibirnya melengkung membentuk senyum lebar. Setelah menyukai Emma, sepertinya ia jadi kelebihan hormon. Apa pun yang Emma lakukan membuatnya gemas dan ingin mencium gadis itu.
“Apa yang sebenarnya kau lakukan di sini?” Emma kembali lagi ke arah Dean setelah memasang ritsleting jaketnya sampai ke leher, jadi tidak ada lagi yang bisa pemuda itu lihat.
“Aku juga ikut menari.” Dean membalas kalem.
“Jangan bohong. Kau 'kan tidak pernah mendaftar.”
“Aku akan mendaftar setelah ini.”
“Pendaftarannya sudah tutup.”
“Aku tetap bisa mendaftar.”
Emma merotasikan bola matanya. Berbicara dengan Dean memang melelahkan. Tanpa mengatakan apa pun lagi, ia mengambil tasnya dan masuk ke ruang ganti. Ia sengaja berlama-lama di sana, berharap Dean pulang sebelum ia keluar.
Setelah beberapa saat, Emma mengintip dan bernapas lega mendapati ruangan itu telah kosong. Mungkin Dean sudah lelah menunggu dan pulang. Emma hanya tidak ingin berdebat dengannya lalu kembali naik darah.
Emma berpamitan pada pemilik tempat les sebelum keluar dari tempat itu. Kakinya melangkah lambat di sisi jalan raya, sesekali memperhatikan bulan sabit kecil yang terlihat di langit. Ia tidak sadar kalau Dean rupanya diam-diam mengikutinya dari belakang. Semakin lama, Dean semakin mempersempit jarak di antara mereka. Hingga berada tepat di belakang Emma, Dean bergumam rendah, “Ternyata kau sangat pendek ya, hanya sepundakku.”
Berharap Emma berbalik, gadis itu justru berteriak karena sangat terkejut. Ia merasa hanya berjalan sendiri dan tiba-tiba Dean muncul begitu saja. Kata ‘berengs*k’ spontan keluar dari mulutnya dengan keras.
Dean terkekeh, mengambil tempat di sisi Emma. “Mulut manismu itu tidak cocok untuk mengumpat. Bagaimana kalau kau menggunakannya untuk menciumku saja?”
Emma menatap kesal. “Berengs*k!”
Tawa Dean menyembur. Kenapa Emma sangat menggemaskan? Ia meraih tangan gadis itu dan menggenggamnya paksa, meski Emma melotot padanya dan berusaha melepaskannya. “Aku akan mengantarmu pulang.”
Emma menggeleng, masih berusaha melepaskan genggaman tangan Dean yang kuat. “Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri. Dan lepaskan tanganku.”
“Tapi aku ingin mengantarmu. Kita jalan bersama,” kata Dean ngotot.
“Aku bilang tidak perlu.”
“Tapi aku ingin.”
“Tapi aku tidak mau.”
“Turuti permintaanku atau aku akan menciummu di sini?”
Pemuda ini memang kurang ajar. Emma memberikan tatapan ingin membunuhnya, tetapi Dean hanya menyeringai manis padanya.
Terserahlah, Emma lelah.
Ia membiarkan Dean berjalan di sisinya dengan tangan mereka yang saling bertautan. Anggap saja Emma sedang berjalan dengan Sofia, karena gadis itu juga selalu menggenggam tangannya. Ia sudah lelah untuk memberitahu Dean yang pasti tidak akan didengarkan.
“Hari ini aku tidak datang ke sekolah karena suatu urusan. Kau tidak merindukanku?” ujar Dean, ingin mengobrol. Ia tidak ingin waktu bersama Emma berlalu dalam keheningan.
“Tidak. Untuk apa?”
“Tapi Justin bilang kau beberapa kali memperhatikan tempat dudukku yang kosong. Bukankah itu berarti kau mencariku? Kau juga kedapatan melirik kursi tempatku biasa duduk di kantin.”
Ya, ampun. Apa Dean punya mata-mata di kelas? Justin 'kan tidak sekelas dengannya, bagaimana ia bisa tahu? Kalau masalah di kantin, Emma tidak sengaja melirik tempatnya dan Alex mungkin mengira ia sedang mencari Dean. Kenapa pula mereka harus melapor?
“Aku tahu kau merindukanku saat aku tidak ada,” gumam Dean percaya diri, tersenyum sumringah.
Emma menatapnya dengan aneh, kembali menggeleng. “Tidak. Aku tidak merindukanmu.”
“Akui saja. Aku tahu.”
Emma menarik napas. Sabar, abaikan saja. Rumahmu sudah dekat dan kau akan berpisah dengannya.
Jadi ketika mereka tiba di depan rumahnya, ia segera meminta Dean untuk melepaskan tangannya. “Lepaskan tanganku.”
“Tunggu.”
“Apalagi?”
Emma menatap Dean yang balas menatap teduh. Pemuda itu menunduk dan berbisik lembut di telinganya, “Besok aku akan datang, jadi kau tidak perlu khawatir.” Kemudian ia mengecup ringan pipi Emma sebelum menegakkan tubuhnya. Senyumnya mengembang, ia mengusak lembut puncak kepala si gadis yang terdiam kaku. “Sampai jumpa di sekolah, Sayangku.”
Lalu Dean melangkah pergi meninggalkan Emma yang masih terpaku di tempat.
Tadi ... apa yang ...?
Emma mengerjap bingung, ia langsung berbalik masuk ke dalam rumahnya. Tangannya menyentuh pipinya yang dikecup Dean tadi dan merasakan jantungnya kembali berdebar kencang.
Sebenarnya, ada apa dengannya hari ini?

Bình Luận Sách (23)

  • avatar
    Kamu 221Didik

    hebat

    13/07

      0
  • avatar
    Farin Farin

    Verry good story

    20/06

      0
  • avatar
    lindarosa

    Aku suka cerita ini, ringan, tipe anak remaja yang lagi nakal-nakalnya, apalagi ini latarnya western kan jadi seru aja bacanya👍🌹 semangat kaka author😘

    17/05

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất