logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 3 Previously

Sejak pertemuan itu, aku langsung dipertemukan dengan Jannah di rumahnya atas undangan Ust. Hisyam. Setelah dari pertemuan tersebut, pengikatan janji suci pun terjadi sebulan kemudian. Acara yang sangat khidmat dihadiri keluarga dan kerabat.
Pernikahan kami sangat jauh dari kesan glamor dan mewah. Kami melangsungkannya di masjid Agung Baabussalam. Kami melaluinya sangat khusyuk.
Hari demi hari kami lalui. Hingga setahun berlalu anak pertama hadir di antara kami, melengkapi kebahagiaan kami. Ucapan syukur yang tiada terkira melukis di wajah kami dan kedua orang tua kami masing-masing. Sungguh tak bisa kami lukiskan kebahagiaan ini.
Ia wanita yang taat dan baik. Aku sangat mengaguminya. Tak pernah ada masalah besar terjadi di keluarga kecilku. Jujur aku tak tahu masa lalunya seperti apa, tetapi bagiku tak penting. Bukankah semua orang punya masa lalu.
Namun, badai besar itu menghantam rumah tanggaku. Aku benar-benar kalang-kabut, tidak tahu mau berbuat apa. Pikiranku masih dipenuhi tanda tanya untuk berpikir yang agak berat. Apalagi mengingat-ngingat siapa sahabatnya.
Entah apa yang aku pikirkan. Sejak kematian istriku, aku lebih banyak menutup diri dari lingkungan sekitar dan kantor - sudah jarang ikut mengobrol dengan teman-teman kantor. Apalagi anakku yang kedua, Riski selalu menanyakan ke mana umi-nya.
"Yah, umi gak pulang-pulang lagi ya?" Seketika tenggorokanku tersekat serasa ada sesuatu. Pertanyaan tersebut sangat menyakitkan bagiku.
"Doakan Umi ya! Semoga bahagia di surga-Nya Allah." Berat sekali ucapan ini keluar dari mulutku.
"Umi gak balik lagi?"
"Iya, jadi anak yang baik dan soleh ya, agar bisa mendoakan Umi." Segera aku memeluknya.
Segera, aku menuntunnya ke kamar untuk tidur. Reza sudah tidur lebih dulu karena waktu sudah larut malam. Setelah menidurkan mereka, aku beranjak dari kamar dan menutup pintu.
***
Aku menghampiri pintu rumah hendak membukanya. Seseorang mengetuk pintu dan suaranya terdengar kurang jelas dari kamar. Entah, siapa yang mengetuk pintu di pagi ini.
"Wa'alaikumsalam. Silakan masuk, Yai! Datang sendiri?" Ust. Hisyam, mertuaku menyambangi kami ke rumah.
"Iya, sendiri, Nak Ayes. Mbah Nyai gak ikut, soalnya gak sempat bilang tadi mau ke sini."
"Monggo, Yai. Silakan duduk dulu!"
"Terima kasih, Nak," ucapnya sembari duduk.
"Sebentar Yai ...." Aku hendak mengambilkan minuman untuknya, tapi langkahku terhenti.
"Tak usah repot-repot! Mbah mau lihat cucu Mbah." Ia mencegat tanganku untuk duduk kembali dengan memberikan isyarat matanya. Aku pun menuruti titahnya.
"Mereka di mana?"
"Riski di kamar, Yai."
"Mbah Yai datang! Assalamualaikum, Mbah." Riski berlari menghampiri kakeknya kemudian menyalaminya. Mungkin tadi mendengar suara Mbah-nya.
"Cucu Mbah sudah besar! Sehat?" Sambil mengusap kepala dan memeluknya.
"Alhamdulillah. Sehat, Mbah!"
"Alhamdulillah. Jadi anak yang baik ya!"
"Siap, Mbah," jawab Riski tegas sambil menempelkan tangan di dahi bak seorang prajurit yang sedang memberi hormat.
Senyum melukis di wajah Ust. Hisyam saat melihat tingkah dan kepolosan cucunya, Riski. Aku pun ikut tersenyum. Memang benar kata orang, obat hati yang sedih itu saat melihat tingkah anak yang lucu.
"Reza belum pulang?"
"Belum, Yai," jawabku yang masih menunggu ucapannya.
Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan padaku. Semua sudah kuberitahu tentang kepindahan kami dan mereka sangat mendukung keputusanku. Raut wajah yang teduh itu kemudian mengarahkan pandangannya padaku.
Lama ia terdiam kemudian berbicara padaku. Kami berbicara banyak hal, membahas masalah kedua putraku dan tentunya almarhumah istriku.
"Banyak bersabar ya! Ujian seberat apapun, pasti ada hikmahnya." Ucapan tersebut membuatku sedikit berbesar hati meskipun aku tahu, aku belum rela untuk semuanya yang secara tiba-tiba.
"Insha Allah, Yai. Semoga semua ada hikmah yang terkandung dari kejadian ini."
Sejenak ia mengembuskan napas kemudian memejamkan mata perlahan. Aku tahu, ia juga sangat terpukul dengan berita kematian putrinya. Sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan.
Riski masih lengket di pelukan Mbah-nya. Ia tak ingin melepaskan pelukannya meskipun aku memintanya untuk turun dari pangkuan Mbah-nya. Seharian ini ia selalu menanyakan umi-nya.
"Aku izin, Yai. Besok mau nitip Riski dan Reza ke rumah Mbah Yai. Kalau Mbah gak keberatan."
"Iya, gak apa-apa. Silakan! Mbah ngerti, kau butuh istirahat dan hiburan."
"Maaf, Yai. Mungkin dua hari."
"Iya, tidak apa." Ia tidak menanyakan lagi ke mana aku akan pergi. Sepertinya, dia sangat mengerti dengan apa yang ingin kulakukan.
Setelah sekian lama mengobrol, Ust. Hisyam pamit. Waktu juga hampir siang. Aku menawarkan untuk mengantarnya pulang, tetapi ditolaknya. Ia bilang akan singgah ke rumah anaknya yang lain.
Rencana selama dua hari nanti aku akan ke rumah sahabat istriku. Aku hanya mengenali Syifa. Akan tetapi mungkin darinya, aku akan mendapatkan info yang lain tentang sahabat yang lain. Semoga saja usahaku ini membuahkan hasil.
Aku tidak ingin nama buruk istriku yang orang ingat. Nama baiknya pun tak pernah orang-orang sebut lagi hanya karena satu kesalahan.
***
"Jangan nakal ya. Harus nurut sama Mbah-mu," seruku ke Reza dan Riski.
"Iya, ayah," jawab mereka bersamaan.
"Reza, jaga adikmu ya!"
"Iya, ayah. Gak lama kan?"
"Iya, gak lama," ucapku tersenyum sambil mengusap kepalanya.
Mbah Sarah, ibu mertuaku datang menghampiri kami.
"Eh, Nak Ayes. Mari masuk, Nak! Duh, cucu Mbah sudah gede!" Dikecupnya kening mereka satu-persatu.
"Iya, Mbah. Mau nitip mereka sebentar."
"Iya, gak apa-apa. Kemarin Yai udah beritahu kalian akan datang. Ayo masuk cucu Mbah."
Kebetulan hari ini, Sabtu. Jadi, aku punya banyak waktu untuk mencari tahu keberadaan sahabatnya, Syifa. Aku tak mengerti, siapa orang yang sangat niat untuk berbuat jahat terhadap Jannah.
***
Setelah sekian jam mencari keberadaan rumah Syifa, akhirnya aku menemukan juga alamatnya. Hanya sekali aku ke sini dulu saat menghadiri acara khitbah-nya. Itu pun kami sudah sangat terlambat karena semua kerabat dan pihak keluarga laki-laki sudah pulang. Namun, aku tidak yakin kalau ia masih ada di sini atau mungkin ia sudah pergi, mengikuti suaminya.
"Assalamualaikum,' ucapku memberi salam sambil mengetok pintu.
"Waalaikumsalam. Iya, sebentar!" Tangannya seketika terhenti saat membuka pintu. Dengan dahi mengerut, ia ingin masuk kembali ke dalam rumah, tapi enggan karena sudah kulihat lebih dulu.
***
Bersambung ....

Bình Luận Sách (228)

  • avatar
    KaeriTu

    lumayan

    49m

      0
  • avatar
    ねえ

    cerita yang menarik

    8d

      0
  • avatar
    Nurul FitriResa

    bagus

    21d

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất