logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 3 Tekad Wati

Wati mengambilkan sepiring nasi goreng dan lauk sosis dengan hati yang galau. Ingin rasanya ia pergi dari rumah ini, tapi tak berdaya. Ia takut apabila kabur dari rumah ini, maka ia akan terlunta-lunta di jalanan. Ia tidak punya keterampilan apa-apa.
Sebetulnya, Wati punya ijazah SMU. Tapi ijazah itu ia titipkan kepada Bu Nara, ibu pengurus panti tempatnya dulu dibesarkan. Wati melakukan itu karena tidak berpikir bahwa lembaran itu akan berguna karena ia tidak berniat bekerja setelah menikah.
Wati menyangka hidupnya akan lebih mudah setelah menikah. Nyatanya kehidupannya menjadi lebih rumit dan morat-marit. Apalagi saat menikah Dedy belum punya pekerjaan tetap.
Apabila sudah begini, menyesal rasanya dulu Wati menikah cepat-cepat. Lulus SMU dia langsung menerima lamaran Dedy yang berumur dua tahun lebih tua daripada dirinya. Mereka sudah berpacaran selama tiga tahun dan Dedy terus mendesaknya untuk menikah.
Wati mengantarkan sepiring nasi itu ke kamar Rara yang tertutup. Saat berada di depan pintu kamar, kembali Wati mendengar suara-suara dari kamar madunya. Suara desah yang diiringi cekikan tertahan.
Selama beberapa detik, Wati tidak tahu hal yang harus dilakukannya. Apakah ia sebaiknya mengetuk pintu kamar untuk memberikan sarapan yang diminta Rara? Ataukah sebaiknya ia pergi saja?
“Sudah, Mas. Sudah,” Wati mendengar bisik-bisik suara Rara.
“Kamu harus menebus kesalahanmu semalam karena tidur meninggalkanku,” balas Dedy juga berbisik.
“Aku sedang nggak enak badan,” protes Rara lagi.
“Akan aku bikin enak,” balas Dedy.
Wati tak tahan lagi mendengar itu semua. Air mata kembali mengalir di pipi. Ia berbalik pergi, mengembalikan piring nasi ke meja makan.
Di dapur, Wati menangis sesenggukan. Mengapa hidupnya jadi begini? Tiba-tiba Wati ingin sekali bertemu dengan Bu Nara di panti.
Akhirnya Rara dan Dedy keluar dari dalam kamar mereka. Saat keluar kamar, Rara dan Dedy sudah selesai mandi dan keramas. Mereka bersama-sama menuju ruang makan sambil bergandengan tangan, mesra sekali.
Tampaknya Rara sudah lupa akan perintahnya membawakan sarapan ke kamarnya. Terbukti, ia tak mencari Wati dan memarahinya. Atau jangan-jangan semua itu hanya akal bulus Rara untuk menunjukkan kepada Wati bahwa dialah istri yang diinginkan Dedy?
Wati sendiri tidak ada di ruang makan maupun dapur saat Dedy dan Rara masuk ke ruang makan. Ia sibuk menjemur baju yang baru dicucinya di halaman belakang rumah.
Setelah selesai menjemur, Wati masuk kembali ke dalam rumah dan melihat Dedy dan Rara sedang sarapan di meja makan. Tatkala melihat Wati, Rara langsung berteriak,
“Mbak, ambilkan minum buatku dan Mas Dedy!”
Tanpa banyak bicara, Wati mengambil dua buah gelas lalu mengisinya dengan air dari dispenser. Saat memberikan dua gelas itu ke meja makan, Rara sedang bercanda mesra dengan Dedy.
“Mas, nakal, ah,” Rara mencubit lengan Dedy yang berada di sampingnya.
Rara sama sekali tak memedulikan kehadiran Wati yang baru masuk. Seolah-olah ia sengaja hendak memanas-manasi Wati.
“Kamu lebih nakal,” balas Dedy santai. Dedy pun tidak memandang sedikit pun ke arah Wati. Sikapnya sama sekali berbeda dengan saat tadi malam di kamar Wati.
Betulkah ia mencintai Wati seperti yang dikatakannya?
Sementara itu, ekspresi Wati biasa-biasa saja. Seakan-akan ia tak terpengaruh oleh pameran kemesraan di hadapannya. Tak seorang pun tahu, perasaan Wati di dalam dada seperti lava panas yang menggelegak di perut gunung.
Usai meletakkan dua gelas di meja, Wati pergi kembali tanpa kata. Ia lebih memilih menyapu teras di depan rumah, daripada harus mendengar obrolan Rara dan Dedy di dalam rumah. Setidaknya, di teras ia bisa menghirup udara segar untuk melegakan sempitnya perasaan.
Teras sudah hampir selesai disapu oleh Wati, saat Dedy dan Rara keluar rumah bersama-sama. Penampilan mereka sudah rapi, siap berangkat ke toko bersama-sama. Romantis. Sikap mereka berdua membuat Wati merasa bahwa dirinyalah tokoh jahat di dalam kisah ini.
“Ya ampun, aku ketinggalan dompet. Tunggu sebentar, Mas,” cetus Rara seraya berjalan masuk kembali ke dalam rumah.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Wati untuk mendekati Dedy yang sudah siap duduk di sepeda motor Ninja yang dibelikan Rara untuknya.
“Mas, aku kangen Bu Nara,” kata Wati blak-blakan.
“Lalu?” sahut Dedy seraya mengerutkan dahi.
“Aku ingin mengunjungi beliau, Mas. Mas juga sudah lama tidak bertemu Bu Nara, kan?” kata Wati pelan.
“Aku masih sibuk. Kapan-kapan saja kita ke sana,” kilah Dedy.
Belum sempat Wati menjawab lagi, Rara sudah kembali keluar rumah. Tatapan matanya terlihat tidak suka saat mendapati Wati berbicara di dekat Dedy. Wati mundur, memberikan tempat buat Rara untuk naik ke boncengan sepeda motor Dedy.
“Kami mau pergi. Jangan lupa antar makan siang buat kami dan pegawai,” ketus Rara.
Salah satu tugas Wati mengantarkan makan siang buat Dedi dan Rara, juga beberapa pekerja toko yang berbilang tak sampai lima orang. Rara memerintahkan Wati untuk memasak makan siang bagi para pegawainya, agar dia tak perlu memberi uang makan bagi para pekerja itu.
Dedy dan Rara berlalu, meninggalkan Wati yang menatap dua sejoli itu pergi. Sambil memandang kepulan asap dari sepeda motor Dedy yang meraung pergi, Wati menentukan sikap. Ia berbalik masuk kembali ke dalam rumah, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Saat tadi Dedy menolak permintaannya untuk mengunjungi Bu Nara, Wati sudah tahu bahwa Dedy tak akan pernah mengizinkannya menemui Bu Nara. Untuk menemui Bu Nara, ia harus melakukannya sendiri secara diam-diam.
Tekad Wati sudah bulat. Ia harus menemui Bu Nara. Ia ingin mengambil ijazahnya yang pernah dititipkan dulu. Ia akan melamar pekerjaan dengan ijazah itu. Pekerjaan apa saja yang penting ia punya penghasilan sendiri. Wati tak berkeberatan meskipun hanya menjadi pelayan di warung makan atau buruh pabrik yang hanya bertugas buang benang baju-baju produksi konfeksi.
Dari tetangga di rumah gubuknya dulu Wati mengetahui, bahwa gaji pelayan warung makan dan buruh pabrik itu kecil, sementara jam kerjanya sangat panjang dan melelahkan.
Tapi sekarang Wati tidak takut untuk bekerja keras, paling tidak ia digaji. Tidak seperti sekarang, ia mengerjakan semua pekerjaan rumah tapi hanya diganjar makan sehari-hari. Suami pun harus berbagi, itu juga ia jarang mendapatkan jatah.
Wati tak ingin lagi dihina Rara karena tak punya uang dan tak punya pekerjaan. Kalau ia keluar dari rumah ini, Wati ingin pergi dalam keadaan mulia dan tak lagi terhina.
Satu-satunya hal yang masih mengganjal pikiran Wati hanyalah ia masih berstatus sebagai istri Dedy. Wati masih penasaran, apakah betul Dedy masih mencintainya? Buktinya Dedy tak mau menceraikannya.
Tak bisa Wati pungkiri, ia masih mencintai Dedy. Mereka sudah pacaran selama tiga tahun sebelum Dedy melamarnya. Cinta itu juga yang membuat Wati mau menikah dengan Dedy meskipun Dedy belum punya pekerjaan tetap. Sekarang baru terasa oleh Wati, betapa gegabahnya dulu keputusannya.
Apakah betul Dedy menikahi Rara agar mereka bisa hidup bahagia berdua? Betulkah Rara sakit parah dan akan segera meninggal? Wati diombang-ambingkan perasaan. Ia kebingungan.
Niat Wati untuk menemui Bu Nara semakin mantap. Ia harus meminta pendapat Bu Nara tentang banyak hal. Ia harus menemui Bu Nara.

Bình Luận Sách (123)

  • avatar
    Andre Varela

    free Fire

    18/07

      0
  • avatar
    Silvi Yati

    bagus

    08/07

      0
  • avatar
    SyadillahAhmad

    sangat baik

    03/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất