logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Chương 2 Gara-Gara Baju

“Mbak, kalau nyuci baju yang bener, dong! Lihat, gaun mahalku jadi rusak gara-gara kamu cuci pakai mesin,” marah Rara kepada Wati.
Wati tertunduk dalam, tak berani menatap apalagi membalas ucapan Rara.
“Lihat, nih! Manik-manik kristalnya jadi copot semua. Rusak gaun mewahku. Kamu mana bisa ganti,” ejek Rara lagi.
“Maaf, Ra. Aku nggak sengaja,” lirih sekali Wati menjawab.
Nada suaranya terdengar ketakutan, bukan merasa bersalah.
“Maaf, maaf! Enak saja minta maaf. Apa dengan maaf gaunku bisa kembali?” cibir Rara.
“Biar nanti aku jahitkan lagi manik-manik yang lepas dari gaunmu, ya. Jangan beritahu Dedy,” bujuk Wati semakin lirih.
Wati paling takut bila Dedy memarahinya karena telah membuat kesal Rara.
“Memangnya kamu bisa beli manik-manik kristal yang sama? Ini kristal Swarovski, tahu!” bentak Rara lagi.
Wati hampir menangis. Andaikan ia punya keterampilan, tentu ia bisa mencari kerja untuk mendapatkan uang. Dengan uang itu ia bisa keluar dari rumah ini, tidak akan lagi dia diperlakukan menjadi babu oleh madu seperti ini.
“Ada apa ini, pagi-pagi kok sudah ribut-ribut?” tanya Dedy yang tiba-tiba muncul.
Dedy sudah mengenakan kemeja yang rapi dengan celana kain. Bahkan wajahnya pun sudah dicukur rapi. Dedy terlihat tampan. Penampilannya tidak lagi mirip kuli angkut.
Semenjak menikah dengan Rara, jabatan Dedy sudah naik menjadi pengelola toko kelontong Rara. Rara menjadi kasir, memegang kunci kotak uang dan Dedy menangani barang-barang yang datang dari supplier.
“Ini lho, Mas. Mbak Wati nyuci bajuku saja rusak. Baju halus dicuci pakai mesin. Huh, nggak becus!” semprot Rara dengan wajah bersungut-sungut.
Dedy menatap Wati.
“Ma-maaf, Mas. Aku nggak sengaja,” kata Wati dengan wajah ketakutan.
Dedy menghela napas.
“Mulai sekarang semua baju Rara kamu cuci tangan saja. Biar bajuku saja yang dicuci pakai mesin,” kata Dedy.
“Ya, Mas,” sahut Wati masih dengan kepala tertunduk.
“Mana dia nggak mungkin bisa ganti,” sungut Rara seraya melemparkan baju di tangannya ke wajah Wati, membuat Wati gelagapan.
“Sudah, Sayang. Jangan marah-marah terus, dong. Nanti hilang cantiknya,” rayu Dedy seraya mencolek dagu istri keduanya.
Dedy merangkul bahu Rara dan mengajaknya menjauhi ruang belakang.
“Kamu sudah sarapan, belum? Ayo kita sarapan dulu, lalu berangkat ke toko,” ajak Dedy lembut.
Tinggal Wati yang berdiri sendiri dengan hati teriris tanpa penghiburan. Air matanya jatuh tanpa ada yang melihat.
Tak terdengar jawaban Rara, hanya piring beradu sendok yang terdengar. Dedy dan Rara sarapan pagi berdua dengan makanan yang dimasak oleh Wati. Wati sendiri tidak diajak makan oleh mereka berdua. Rara selalu melarang Wati makan bersama di meja makan. Wati hanya diizinkan makan di dapur seorang diri.
Pada malam harinya, Dedy mendatangi Wati di kamarnya. Ia juga langsung mengunci pintu kamar setelah masuk.
“Aku tidur di sini malam ini,” kata Dedy.
Wati terkejut. Tidak biasanya Dedy mau tidur di kamarnya yang sempit dan lebih mirip gudang. Selain kamarnya memang tidak nyaman, Rara jarang mengizinkan Dedy mengunjungi Wati.
“Rara?” tanya Wati dengan bola mata membulat.
“Dia tidur karena kecapekan. Padahal malam ini aku sedang ingin,” bisik Dedy di telinga Wati.
Dedy langsung meraih tubuh Wati dan memeluknya, membuat Wati gemetaran. Lama tidak disentuh membuat Wati sudah lupa rasanya.
“Tapi aku tidak pandai memuaskanmu, tidak seperti Rara,” lirih Wati dengan hati pedih. Ia teringat akan ucapan Dedy pada malam sebelumnya.
“Siapa bilang? Perempuan itu nggak perlu berbuat apa-apa lelaki pasti bisa puas,” bisik Dedy sambil menciumi telinga Wati.
Wati terpelongo. Jawaban Dedy berbeda sekali dengan ucapannya kemarin malam. Tangan Dedy berusaha membuka baju Wati, tapi Wati menahan tangan itu.
“Apa kamu cinta aku, Mas?” tanya Wati seraya menatap mata Dedy.
“Tentu aku cinta kamu. Kenapa kamu tanya begitu?” Tangan Dedy berusaha membuka baju Wati lagi, tapi Wati menepis tangan Dedy.
“Kalau begitu kenapa kamu membiarkan aku diperlakukan begini oleh Rara?” tanya Wati pelan.
Dedy mendengkus. Ia menghentikan usahanya dan duduk di atas kasur tipis.
“Semua ini aku lakukan karena aku cinta kamu. Rara itu kaya raya. Dia juga sedang sakit berat, hidupnya mungkin tinggal sebentar. Setelah dia pergi, semua hartanya bisa kita miliki. Saat itu, hanya ada aku dan kamu,” bisik Dedy seraya menatap Wati tepat di manik mata.
“Aku membiarkan dia memperlakukanmu seperti babu, agar dia tidak curiga dengan rencanaku. Percayalah, hanya kamu yang aku cinta,” tambah Dedy.
“Jadi kamu betul-betul tidak cinta dia, Mas?” tegas Wati.
“Pasti. Rara yang melamarku, bukan aku yang melamarnya. Aku ini lelaki, suka memburu dan bukan barang buruan,” jawab Dedy lagi.
Wati terdiam. Apakah Dedy jujur saat ini ataukah ucapannya kepada Rara yang betul?
Diamnya Wati dimanfaatkan oleh Dedy. Cepat Dedy meraih tubuh Wati. Wati yang kebingungan membiarkan dirinya malam itu diberi nafkah batin.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wati bangun dengan perasaan yang bersemangat. Setelah diberi nafkah batin semalam, ia merasa kembali utuh sebagai perempuan.
Wati hendak bangkit untuk mengerjakan tugasnya sehari-hari setiap pagi. Ia melirik Dedy yang masih tertidur pulas di sebelahnya. Saat hendak bangkit untuk pergi, tiba-tiba tangan Dedy mencekal tangan Wati.
“Ah!” Wati terpekik kecil, tak menyangka bahwa Dedy sudah bangun.
Lekas-lekas Wati menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangan, takut suaranya terdengar oleh Rara di kamar seberang.
“Aku kira kamu masih tidur, Mas,” bisik Wati.
Dedy tidak menjawab. Ia menarik Wati keras-keras sampai Wati tersungkur ke dalam pelukannya. Wati gelagapan.
“Nanti malam kita ulangi lagi,” bisik Dedy.
Wati tertegun. Dedy bangun dan duduk.
“Kenapa tidak sekarang saja?” pancing Wati.
“Nanti Rara keburu bangun. Dia pasti marah aku ada di kamarmu malam ini,” balas Dedy.
Dedy lalu berdiri dan berlalu pergi. Wati mendengar Dedy membuka pintu kamar di seberangnya, lalu masuk dan mengunci pintu. Dedy pindah tidur ke kamar Rara.
Dengan perasaan kecewa, Wati juga berdiri dan menyeret langkah menuju dapur. Ia harus memasak dan membersihkan rumah seperti hari-hari sebelumnya.

Pada pukul 8 pagi, Rara keluar dari kamarnya. Tidak biasanya Rara bangun sesiang ini. Apakah Rara sakit ataukah Dedy yang menahannya untuk bangun? Wati diliputi perasaan cemburu.
“Mbak, sarapanku mana?” teriak Rara begitu keluar dari dalam kamar.
Wati yang sedang mencuci peralatan bekas memasak, terlonjak. Ia cepat-cepat membasuh tangan yang dipenuhi busa sabun cuci piring, lalu lekas menghampiri Rara di depan kamarnya.
Penampilan Rara acak-acakan. Dari wajahnya terlihat jelas bahwa dia baru bangung tidur. Rambutnya yang keriting panjang juga terlihat belum disisir. Sosoknya sangat mirip dengan singa baru bangun tidur.
Rara tidak ada cantik-cantiknya sedikit pun di dalam pandangan Wati. Mengapa Dedy mau menikahinya? Betulkah Dedy menikahinya hanya karena harta?
“Mau aku ambilkan sarapan?” tanya Wati dengan suara yang datar.
“Iya. Bawakan ke kamar. Badanku nggak enak,” ketus Rara. Tanpa menunggu jawaban Wati, Rara masuk kembali ke dalam kamarnya.
Sebelum pintu kamar ditutup di hadapan Wati, ia masih melihat Dedy yang tidur bertelanjang dada di ranjang. Tubuhnya hanya ditutupi selimut dari pinggang ke bawah.
Hati Wati serasa diremas. Wati mengepalkan kedua tangannya. Ia berbalik dan menuju ruang makan dengan perasaan hati yang panas karena cemburu.

Bình Luận Sách (123)

  • avatar
    Andre Varela

    free Fire

    18/07

      0
  • avatar
    Silvi Yati

    bagus

    08/07

      0
  • avatar
    SyadillahAhmad

    sangat baik

    03/07

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất