logo text
Thêm vào thư viện
logo
logo-text

Tải xuống cuốn sách này trong ứng dụng

Bab 6

"Jadi, kecelakaan kemarin karena ulahmu? Gila … aku nggak nyangka kamu sudah sejauh itu, Leon. Kemarin sandiwara kita, lalu sekarang kamu berniat membunuhnya?"
"Aku nggak nyangka kalo bakalan secepat ini rencanaku berjalan.Aku ingin Diksi menderita dulu melihat sandiwara kita kemarin, tetapi belum apa-apa dia sudah tabrakan pakai tuh mobil rosok," jawab Leon dengan seringai kejam.
"Maksudmu?"
"Diksi itu jarang keluar pakai mobil itu sendiri, biasanya naik taksi. Terakhir aku pakai mobil itu memang ada masalah dengan rem mobilnya tapi aku biarin aja dan nggak diservis. Sudah takdir juga istriku tiba-tiba pakai mobil itu. Jadi kalau nanti ada polisi yang periksa, kecelakaan Diksi murni karena rem rusak," ucap Leon tak ada hati.
Sementara itu, wanita di hadapannya hanya geleng kepala mendengar penuturan lelaki itu. Hening tercipta karena pelayan menyajikan makanan dan minuman di meja. Jus alpukat segera tandas separuh gelas karena diminum oleh Tyas, teman wanita Leon.
"Kasihan Diksi, dia anak orang hloh, Leon," keluh Tyas menerawang, angannya membayangkan jika dirinya berada dalam posisi wanita itu.
"Hmm … sudah kubilang kalau semua yang dialami istriku itu takdir, kan? Dan sepertinya Tuhan sangat baik, buktinya semua keinginanku tercapai bahkan tanpa ada campur tanganku sepenuhnya.
"Satu hal, Leon. Ingat! Karma itu ada," ancam Tyas sambil menghabiskan minumannya.
Leon hanya mengedikkan bahu lalu berucap, "Aku siap menerima karma jika nanti semua dendamku telah usai. Pionku baru berjalan, sedangkan ksatria dan raja belum kena kulibas." Leon tertawa jahat.
Mereka berdua masih asyik mengobrol dan tak menyadari ada seseorang di belakang Leon yang sedang mendengarkan headset di kupingnya, tetapi ponsel dalam mode merekam audio.
🌸🌸🌸
"Bagaimana hidupku nanti tanpa kaki, ya?" monolog Diksi seraya memandang eternit langit rumah sakit. Ia menerawang jauh membayangkan kehidupannya kelak tanpa penopang badan.
Ternyata ibunya mendengar suara lirih Diksi dan menjadi terenyuh. Ia pun ikut membayangkan kehidupan Diksi jika nanti kakinya tak berfungsi. Pikirannya menerawang jauh ke masa lalu putrinya yang aktif dan selalu ceria.
Putri bungsu pasangan Herman dan Hesti memang hampir sama dengan kedua kakak laki-lakinya. Diksi mulai berjalan di usia sepuluh bulan dan sangat aktif walaupun dia perempuan.
Sampai usia tujuh belas tahun ia dilimpahi kasih sayang dari banyak pihak. Binar di matanya mulai meredup ketika hubungan dengan kekasihnya tak mendapat restu.
Lalu, perlahan menghilang sejak pernikahan yang dipaksakan oleh bapaknya. Luka ada dalam sorot mata dan hati gadis itu, kemudian muram menghiasi hari-hari berikutnya. Keceriaannya menghilang sedikit demi sedikit terkikis kesedihan.
"Kakimu hanya lumpuh sementara, Diksi. Yakinlah kamu bisa sembuh, bisa berjalan lagi," hibur Hesti pada anaknya.
Diksi tersenyum, tapi dipaksakan. Ia pun tahu, wanita yang melahirkannya itu tak kalah sedih. Sejak dulu, hanya ibunya yang tahu dan mengerti keadaan putri satu-satunya keluarga Herman Sanjaya.
"Terima kasih untuk dukungan dan doanya, Bu. Tapi aku juga tak banyak berharap kini, Diksi hanya mencoba menjalani takdir dengan ikhlas. Ibu ingat kata dokter tadi? Diksi hanya bisa berbaring selama enam bulan bahkan bisa setahun. Lalu, tempatku selanjutnya adalah kursi roda dan banyak hal lain agar aku bisa sembuh, itu pun tidak bisa sempurna seperti sedia kala. Kenapa takdir membuatku seperti ini, Bu? Kenapa? Apa salah Diksi?" jerit Diksi mulai meneteskan air mata.
Hesti pun sama, rinai air mata sudah membasahi pipi. Ia genggam tangan Diksi erat, memberi kekuatan. Lebih tepatnya mereka saling menguatkan.
Waktu pun berjalan, selama itu pula rumah sakit menjadi rumah Diksi. Di sini ia menjalani berbagai observasi dan perawatan luka juga fisioterapi. Alhamdulillah tidak ada infeksi dan jaringan-jaringan luka sudah mulai menutup.
Diksi akan melakukan ronsen ulang pada tulang-tulang yang kemarin patah. Semoga membaik sehingga fisioterapi bisa dilanjutkan.
Sang suami, sampai sekarang bagai menghilang di telan bumi. Ia tiada kabar, bahkan jarang bisa dihubungi. Jika ditelepon, Diksi maupun orangtuanya hanya mendengar banyak alasan. Leon benar-benar lepas tangan seperti yang diucapkannya dahulu. Sungguh mencerminkan lelaki berjiwa pengecut.
Apakah Diksi merasa sedih? Jawabannya adalah iya. Walaupun dalam hati berkata tidak, tetapi mata tak bisa berbohong. Pun dalam hati, ada sebongkah rasa bernama kecewa di sana. Diksi bagai dibuang, ditelantarkan dan tak diinginkan.
Dalam waktu enam bulan, Leon menampakkan diri bisa dihitung dengan jari. Diksi sudah seperti janda saja, padahal ia bersuami. Hanya ibunya yang selalu ada untuk menemani hari-harinya di rumah sakit. Ayahnya sesekali menginap, kedua kakaknya juga. Namun, tetap saja mereka sibuk dengan kegiatan masing-masing. Bagaimanapun ada perusahaan keluarga yang harus diurus, apalagi untuk biaya pengobatan Diksi pastinya tak sedikit.
Leon duduk di sofa ketika Diksi tiba dari ruang ronsen. Ia tak memberi kabar sebelumnya, dan kini tak ada angin maupun hujan pria itu datang. Namun, Diksi sudah mati rasa. Ada ataupun tidak kehadiran suaminya, takbanyak berpengaruh.
Setelah cukup berbasa-basi menanyakan kabar istrinya, Leon pun segera menyampaikan maksud kedatangannya. Ia berdiri dan menghampiri ranjang Diksi.
"Aku datang ke sini karena ingin menyampaikan sesuatu kepadamu, Diksi." Leon berucap tegas dan lugas.
"Apa itu, Mas? Katakan saja!" jawab Diksi dingin.
"Aku akan segera menikah dengan wanita lain jadi kedatanganku untuk meminta cerai darimu."
***

Bình Luận Sách (52)

  • avatar
    MursalinAhmad

    sungguh menakjubkan

    15d

      0
  • avatar
    Zhuelforce

    sangat memuaskan

    23d

      0
  • avatar
    Riyuzii

    ini sangat bagus

    13/08

      0
  • Xem tất cả

Các chương liên quan

Chương mới nhất