logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Tiga

Malam harinya di rumah, aku memilih nyepi di kamarku. Memikirkan alangkah anehnya hari-hariku belakangan ini. Padahal sebelumnya biasa saja, flat, tanpa ada sesuatu yang mampu mengusik pikiranku hingga seperti ini. Bahkan masa pacaran dengan Riri hampir setengah tahun ini, sejak aku memasuki kelas XII, tak mampu membuatku seperti orang linglung begini. Kalau, itu bisa disebut pacaran.
Mendadak ponselku berbunyi. Kulirik sekilas yang menelpon. Kutekan tombol accept dengan malas.
"Halo ..."
“Bro, kapan kita latihan?" terdengar suara Esa di seberang sana.
"Besok bolehlah," jawabku sambil beranjak berdiri, dan melangkah menuju balkon kamarku.
"Pagi ya? Soalnya aku sama Friza mau reservasi tempat dulu. Kalau dadakan kuatirnya nggak dapet jam. Udah mepet lho, Pan ... lombanya."
Kubuka pintu yang menuju balkon. Angin malam yang semilir berhembus sejuk memenuhi ruang kamarku.
"Aku tahu. Lombanya Jumat depan kan? Kalau begitu kita punya waktu kurang dari seminggu. Soal transportasi gimana? Sudah konfirmasi dengan pihak sekolah?"
"Sudah diurus sama Galang. Rencananya anak-anak teater juga mau bareng sama kita. Kan mereka ada pementasan juga di UNIBRAW ..."
Aku mengerutkan kening. "Sebentar ... kamu bilang anak teater juga mau bareng kita? Emang kendaraan sekolah muat berapa orang? Apa disediain bis?"
"Wah, kalau soal itu aku nggak tau,Pan ... yang jelas Pak Aris sudah sanggup mengatur transportasi buat kita."
"Oke lah ... kalau memang informasinya seperti itu. Trus latihan kita gimana? Intensif seminggu ini ya? Sabtu dan Minggu besok kita latihan, pagi atau siang. Sementara pas hari sekolah, kita latihan sorenya."
"Oke bro ... sip kalau begitu. Eh emang kamu nggak berkunjung ke tempat Riri ya? Atau sekalian ngajak dia latihan?" tanya Esa.
Kumat lagi nih anak, batinku menggerutu. Dasar sok pengen tau urusan orang.
"Emang sejak kapan kamu terima laporan personel band yang mau ngapel? Kayak petugas pusat infomasi aja!" sungutku.
Terdengar tawa Esa di seberang sana. "Kabur ah ... sudah ya, besok aku kabari lagi kalau jadwal dan jam latihannya sudah oke. Oiya satu lagi, pesanan stiker kita sudah jadi bro ..."
"Sip! Sampe ketemu besok," aku mematikan sambungan telepon.
Aku melangkah keluar kamar dan menuju dapur. Meraih cerek dan mengisinya dengan air, lalu menyalakan kompor. Lalu aku meraih sauce pan di rak paling atas dan mengisinya dengan air juga. Malem-malem gini bikin mi goreng keju enak kayaknya. Kebetulan aku menemukan beberapa selada segar dan telur di rak paling atas. Ada juga kornet dan keju yang teronggok manis di lemari es.
Aku segera berkutat di dapur. Membuat sepiring mi goreng yang ditaburi keju, dan secangkir coklat panas yang mengepul.
Aku melesat menuju balkon kamarku. Rumah sepi, karena Papi dan Mami sedang menghadiri acara pernikahan di rumah saudara di Magelang. Praktis, selama weekend ini aku sendirian di rumah, karena kebetulan aku anak tunggal.
Sembari menyantap mi yang masih panas, aku memikirkan percakapanku dengan Esa di telepon barusan. Soal transportasi. Kalau saja orang tuaku nggak bawa mobil ke Magelang, aku pasti sudah minta ijin mereka untuk pinjam mobilnya, dan nggak usah merepotkan pihak sekolah. Memang bener ini termasuk fasilitas, tapi apa iya sopir sekolah mau nungguin acara yang nggak tentu jam-nya? Apa boleh kalau kita yang setir sendiri? Wah nggak bakalan dapet ijin tuh.
Tapi kalo tadi Esa sudah bilang beres ya sudah, aku cuma bisa berharap semoga benar adanya. Karena kalau enggak, bisa runyam urusannya. Masa mau berangkat ke Malang pake angkot? Mana pakai bawa-bawa keyboardnya si Galang, lagi. Duh, pusing juga mikirnya. Ponselku berbunyi lagi. Siapa juga malem-malem begini nelpon, pikirku. Tanpa melihat siapa penelponnya, kutekan tombol accept.
"Halo ..."
"Topan?"
"Riri? Ada apa? Tumben malem-malem gini nelpon?"
"Kamu lupa ya? Sore tadi kan kamu janji mau nganter aku ke pameran buku di Gramedia?"
Aku menepuk kening. Ya ampuuun, aku bener-bener lupa!
"Iya, Ri ... aku lupa kalau ada janji sama kamu. Sore tadi Papi sama Mami berangkat ke Magelang, ada acara keluarg dan aku ... ehm, nganter mereka ..."
Sesaat hening. Tak terdengar suara Riri di seberang sana. "Aku minta maaf ya, Ri ... besok saja gimana?" tawarku. Aku ngerasa bersalah juga, gara-gara kebanyakan mikirin guru cantik yang wajahnya sulit dilupakan ...
"Oke deh ... aku tunggu ya?"
"Oke," sahutku pendek.
"Pan ...," Riri lagi, terdengar ragu-ragu.
"Ada apa?"
"Mmm ... boleh nanya nggak?"
"Apa?"
"Belakangan ini kamu kok tambah cuek ya, sama aku? Memangnya aku punya salah ya, Pan?"
Aku memejamkan mata. Itulah ... karena memang aku yang bermasalah dengan batinku. Bukan Riri yang salah. Gadis ini terlalu baik untukku, yang kesohor bandel di seantero sekolah. Belum lagi cap play boy yang melekat padaku. Waduh! Padahal aku nyaris nggak pernah gonta-ganti pacar. Yang secara resmi aku nembak duluan. Karena selama ini selalu cewek-cewek itu yang bilang suka padaku. Hingga tujuh belas tahun usiaku sekarang, aku belum pernah naksir cewek duluan. Belum ada yang pas di hati. Semuanya biasa saja. Tapi kalau emang tuh cewek cakep, kenapa juga harus ditolak? Kalau Riri, awalnya dulu karena aku nggak tega saja mau nolak dia. Tapi kalau pacaran malah justru nyakitin dia, aku ngerasa bersalah juga.
Karena selama ini aku nyaris nggak pernah punya inisiatif untuk ngajak jalan. Males. Aku lebih suka jalan sendiri atau bareng sama teman-teman bandku. Dan selama ini Riri nggak pernah protes. Kadang tuh cewek marah juga kalau aku terlalu cuek. Aku bukan cowok model pujangga yang selalu bilang cinta tiap hari atau ngirim bunga pas ultah. Nggak banget!
"Enggak, Ri ... kamu nggak punya salah apa-apa. Kenapa kamu mikir begitu?"
"Ng ... karena ada yang bilang kalau kamu sering ke kelasnya Wiwin, dan ..."
Aku menahan tawa. Sialan si Wiwin, usil aja tuh anak, pakai koar-koar segala, lagi! Emangnya siapa yang mau pedekate sama cewek jutek menyebalkan bawel kayak dia? Yang bener saja ...
"Oh itu ... kebetulan saja kemarin aku iseng main ke kelasnya dia pas waktunya E.C, ya biasalah ... nggak ada apa-apa. Jangan percaya berita sepele begitu, oke?"
"Tapi Wiwin bilang kalau kamu sedang pedekate sama dia. Bener nggak?"
"Enggak!" tegasku. "Ingat yang selalu kubilang ..."
"Kalau berita itu nggak keluar darimu sendiri, nggak usah dipercaya ...," sambung Riri melanjutkan kalimatku.
"Yups. Bener banget ..."
"Oke kalo gitu, Pan. Sampai jumpa besok ya?"
"Dah ...," sambungan terputus.
Aku melanjutkan makan mi gorengku yang mulai dingin. Tentu saja, masih sambil memikirkan Bu Nike!
**
Aku memarkir Ninja sport hitamku di parkiran gedung Gramedia yang megah. Sore itu Gramedia lumayan ramai. Banyak pengunjung. Riri menduluiku masuk ke dalam gedung, dan segera tenggelam dalam lautan pengunjung. Banyak buku baru yang di luncurkan, dan pesta diskon menjadi salah satu strategi untuk menarik minat para mania buku.
Aku mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan yang luas. Kulirik sekilas Riri yang tenggelam di salah satu rak yang bertuliskan pengetahuan umum. Kuedarkan pandanganku sekali lagi, mencari rak buku yang menarik minatku.
Tapi mendadak jantungku serasa berhenti berdetak saat tatapanku berhenti di salah satu sudut rak paling ujung. Sosok dengan tinggi sekitar seratus enam puluh lima senti, memakai jeans dan jumper warna abu-abu pucat, rambutnya diikat ekor kuda, sedang konsentrasi menekuni buku yang sedang dipegangnya...
Dengan perasaan deg-degan aku menghampiri sosok itu. Yang tadi malam hadir di mimpiku...
"Sensei?" sapaku nyaris tak terdengar.
Sosok itu menoleh, dan tatapan kami bertemu. Sekilas kutangkap keterkejutan disana. Tapi hanya sesaat. Kemudian senyum manisnya terkembang. Dengan penampilan seperti ini, Bu Nike lebih mirip seperti mahasiswa yang baru masuk kuliah daripada seorang guru.
"Topan?"
"Sensei cari buku apa?"
Bu Nike mengacungkan buku yang sedang dibacanya. Berjudul Ilmu dasar perilaku pada remaja madya.
"Topan cari buku apa?"
"Ehm ... saya cuma nganter saja. Sensei sama siapa?" aku celingukan.
"Saya sendirian, Topan ..."
"Bawa motor ya? Diluar mendung. Sensei bawa mantel?"
Bu Nike menyunggingkan senyuman. "Tentu saja. Topan tadi sama siapa?"
"Ehm ... saya ..."
"Bu Nike?" tiba-tiba saja Riri sudah berdiri di sampingku, dan menyapa Bu Nike dengan ramah.
"Hai, Riri ... lagi berburu buku yang diskon juga ya?"
Riri tertawa. "Iya nih Bu ... bagus-bagus bukunya ... jadi bingung. Minta saran bisa nggak, Bu?"
"Saran apa?"
"Saya sedang bingung mau milih buku yang mana? Sebelah sini Bu, raknya ... ,"Riri menggandeng tangan Bu Nike dan mengajaknya ke salah satu rak buku. Bu Nike melihatku sekilas dan senyumnya amat penuh pengertian. Tapi aku tak membalas senyumnya. Ada yang berontak di dadaku. Entah kenapa, untuk suatu alasan yang aku sendiri tak mengerti, aku benci mengetahui bahwa Bu Nike tahu bahwa aku sudah punya pacar. Hal ini, baru aku sadari, ternyata sangat menggangguku. Padahal dulu-dulunya enggak.
Aku menghembuskan nafas dengan kesal. Akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke kafetaria di sebelah Gramedia. Di situ aku memesan minuman dingin, berharap pikiranku juga ikut dingin, dan duduk santai memandang jalan raya yang padat.
Setelah hampir satu jam, akhirnya Riri keluar juga dari Gramedia, tertawa ceria dengan Bu Nike, yang entah sedang cerita apa. Riri terlihat mungil di samping Bu Nike yang termasuk tinggi untuk ukuran perempuan. Tapi ada yang menarik bagiku. Kenapa mereka terlihat seperti tak jauh beda usia?
"Pulang sekarang?" aku berdiri dan menyambut mereka.
"Yaah Topan ... nggak makan dulu nih?" rajuk Riri.
"Boleh. Nanti di perjalanan ya?" kuraih jaket hitamku di sandaran kursi dan memakainya.
"Oke deh. Saya pulang dulu ya? Hati-hati dijalan ...,"pamit Bu Nike.
"Bu Nike juga yaa ... ," sahut Riri. Seperti biasa, sebagai murid yang baik, tradisi cium tangan lazim dilakukan. Riri meraih jemari Bu Nike dan menciumnya dengan takzim. Aku mendekati Bu Nike. "Sampai jumpa di sekolah, Sensei ... ," aku mengulurkan tangan, meraih tangan Bu Nike dan menciumnya dengan perasaan campur aduk. Kulepaskan tangan beliau dengan enggan dan diluar dugaanku, Bu Nike mengajakku bersalaman seperti seorang sahabat yang sudah lama saling kenal.
"Yups. Sampai jumpa lagi, Topan ..."
**
"Kita jadi makan, nggak?" tanya Riri disela-sela deru motorku.
"Drive thru saja ya?" balasku agak keras. "Aku harus latihan sama anak-anak."
"Aku ikut yaa?"
Aku menggeleng. "Lain kali saja, Ri ..."
"Kenapa?"
Aku tak menjawab, dan tetap membisu sepanjang perjalanan pulang.
Sesampai di halaman rumah Riri, aku segera berpamitan. "Aku pulang dulu ya? Anak-anak sudah nunggu aku."
Riri tak menjawab. Gadis itu hanya menatapku dalam diam. Aku mengangkat sebelah alis. "Apa lagi?"
"Kamu tahu, Pan ... setengah tahun kita pacaran, aku nyaris nggak mengenalmu sama sekali. Kamu bersikap seakan kamu nggak punya pacar ..."
Aku turun dari motor. Kuletakkan helm di stang dan berdiri tepat didepan Riri.
"Lalu?"
"Kamu selalu asik dengan duniamu sendiri. Awalnya aku bangga, bisa jadi pacar kamu, hingga saat ini ..."
"Trus?"
"Aku cuma ingin dimengerti, Topan. Setidaknya kamu bisa bilang kalau kamu membutuhkan aku, atau sesekali bilang sayang sama aku!"
"Kamu tahu aku bukan tipe seperti itu ...," gumamku.
"Aku berusaha sabar, Topan. Berusaha mengerti kamu, kegiatanmu, hobimu yang suka bolos sekolah untuk hiking ... tapi kamu ... kamu nggak pernah mau ngerti aku!"
"Trus maunya Riri apa?"
"Aku capek, Topan ...," Riri mulai terisak. "Kamu nggak pernah perhatian sama aku ..."
Aku beranjak mendekatinya. "Ri ..."
Diluar perkiraanku, Riri malah menubruk dan memelukku. Aku kaget, tak mengira Riri akan seperti ini. Tak ada yang kulakukan. Aku hanya berdiri mematung seperti orang bodoh. Aku juga tak membalas pelukannya. Aku nggak mau Riri lebih tersakiti lagi.
"Aku minta maaf, Ri ... mungkin aku bukan cowok yang tepat untuk membalas semua perhatian dan kebaikanmu ... "
Riri melepaskan pelukannya, dan mendongak menatapku.
"Nggak. Jangan bilang kalau kamu mau putus denganku!"
Aku mengangkat bahu. "Semuanya terserah kamu, Riri. Inilah aku. Kamu tahu aku bukan cowok yang suka mengumbar kata cinta dan sejuta bunga. Aku bukan cowok full perhatian yang tiap malem minggu wajib ke rumah pacarnya dan aku lebih suka menghabiskan waktu di gunung daripada di mal. Aku nggak akan menuntut apapun dari orang yang bilang sayang sama aku, karena nggak ada yang bisa kuberikan sebagai timbal balik. Jadi, terserah kamu saja."
"Maksudmu ... kamu ..."
"Terserah kamu saja, Ri ... kamu mau meneruskan hubungan kita, silakan, kamu mau break duluan, aku nggak keberatan, atau kamu perlu waktu, boleh saja ..."
Riri menghapus airmatanya. Ah, betapa tidak gentle-nya aku, membiarkan cewek menangis ...
"Aku mau tanya sesuatu, Pan ..."
"Apa?"
"Kamu sayang nggak, sama aku?"
"Lantas jawaban apa yang kau harapkan?"
"Ayolah, Pan ... itu hanya sebuah pertanyaan sederhana."
"Penting untuk dijawab?"
"Tentu saja. Aku ingin tahu jawabanmu, supaya aku bisa menentukan keputusan. Apakah aku harus meneruskan hubungan ini, break dulu, atau cukup sampai disini," jawab Riri. Ada sebersit nada kepuasan disitu.
Aku menatap Riri. Jujur saja sebenarnya aku nggak tahu, apakah aku punya rasa dengan gadis ini atau enggak. Terlalu banyak cewek yang hadir di hidupku, dan aku nggak terlalu memperhatikannya. Aku cuma sayang Mamiku.
Well, kalau cewek ini mengaku sayang padaku, dia nggak seharusnya bersikap seperti penguasa begini. Memojokkanku untuk mengatakan perasaan yang kurasakan terhadapnya dengan alasan pembenaran untuk dirinya sendiri. Hmmm ...
"Apa aku sudah pernah bilang, kalau kamu cewek yang baik, yang paling manis, yang mewarnai hari-hariku, Ri?"
Riri menggeleng. Sepasang matanya menatapku takjub. "Kamu nggak pernah bilang seperti itu, Pan. Kamu nyaris nggak pernah ngomong lebih dari tiga kalimat sama aku. Topan ..."
"Itulah masalahnya, Ri ..."
"Aku nggak ngerti deh ..."
"Maaf kalau aku nggak pernah bilang seperti itu. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa, bagiku, kamu benar-benar cewek yang baik ..."
"Tentu saja. Aku senang mendengarnya ..."
"Aku yakin kamu bisa mengerti bahwa, aku nggak bisa menjawab pertanyaanmu tadi," aku mengangkat bahu.
"Kamu nggak sayang sama aku, Pan?"
"Jawabanku nggak penting, girl ... dan melihat sikapku selama ini, terutama saat ini, aku bisa mengerti kalau kamu ingin sendiri. Kupikir, kita bisa saling mengerti, bahwa kita membutuhkan waktu. Benar-benar menjaga jarak ..."
"Harusnya aku tahu ...,"Riri menggantung kalimatnya. Sepasang matanya tajam menatapku. "Kamu nggak pernah sayang sama aku. Kalau kamu memang cowok, kamu tentunya berani mengatakan perasaanmu, apapun itu!"
"Kamu mau aku jujur?"
"Tentu saja. Katakan saja, Topan, dan kita selesaikan masalah ini."
Aku memasukkan kedua tangan ke saku celana. "Kalau begitu, kamu pasti bisa mengerti jika selama ini aku sayang sama kamu hanya sebatas teman, nggak lebih ... dan aku memang ingin sendiri."
"Kamu bercanda kan? Nggak mungkin kamu serius. Apa karena Wiwin?"
Aku tersenyum. "Tentu saja enggak. Ini nggak ada hubungannya sama dia."
"Kamu cowok paling egois yang pernah aku kenal, Topan ..."
Aku membungkuk hormat. "Terima kasih ..."
"Cowok yang tidak punya perasaan ..."
"Apa lagi?"
"Seenaknya ..."
"Trus?"
"Aku menyesal pernah menjadi pacarmu!"
Aku menatap Riri dan tersenyum. "Satu lagi, aku nggak pernah memintamu untuk jadi pacarku, girl ..."
Riri terdiam. Ucapanku yang terakhir mengena di hatinya. Aku tahu itu. Mungkin sebaiknya kusudahi saja sampai di sini, sebelum gadis ini semakin terluka.
"Aku pulang dulu. Makasih buat semuanya, Riri ...," aku meraih helm dan memakainya. Kustater motor tanpa menunggu persetujuan gadis itu, karena Riri masih tercengang mendengar ucapanku. Tapi aku sudah nggak peduli lagi. Urusan selesai!
Aku melesat, memacu motorku diatas kecepatan rata-rata, menuju Corner elt. Aku sudah terlambat setengah jam lebih, karena menyelesaikan urusanku dengan Riri. Tak ada rasa sakit hati seperti yang semula kukira akan terjadi. Ngerasa bersalah mungkin, tapi nggak terlalu juga. Aku nggak mau terlalu larut dalam masalah ini. Karena memang belum ada masalah, terutama cinta, yang bikin aku sampai seperti orang gila. Tidak. Belum.
Sesampai di Corner elt, aku segera masuk ruangan dengan tampang biasa saja, tapi justru mengundang keprihatinan teman-temanku. Aku nggak suka hal seperti ini. Putus dengan Riri bukan masalah besar bagiku. Sepertinya aku tahu jawabannya saat kulihat Friza masih memegang ponselnya, dan menatapku tak percaya.
Kuabaikan tatapan penuh simpati mereka yang tertuju padaku. Kuraih gitar di sudut ruangan dan mulai menyetel senarnya. Keheningan amat terasa. Nggak ada yang berani memulai percakapan. Diam-diam aku tertawa dalam hati. Akhirnya, kuletakkan kembali gitar itu, dan menatap Galang, Ken, Friza, dan Esa satu persatu.
"Oke. Kita mau latihan apa mau mendalami ilmu kebatinan?"
Friza menahan senyum, sementara Esa menonjok bahuku.
"Bener ya Pan, kamu putus dengan Riri?" tanya Galang hati-hati.
"Bukan aku yang mutusin, kok ...," aku mengangkat bahu tak acuh. "Dia yang nembak aku duluan, dia yang memutuskan untuk mengakhiri. Lagipula, kami saling menyadari bahwa, satu sama lain membutuhkan waktu untuk sendiri. Kenapa memangnya?"
"Kok kamu kelihatan biasa saja?" Friza tak menutupi rasa herannya. "Sementara si Riri sms aku, dia nggak terima, katanya kamu yang mutusin dia ..."
"Apa aku harus nangis bombay, gitu? Wah enggak banget bro ... dan bukan aku yang mutusin. Dia sendiri yang maunya begitu. Ya sudah, selesai sampai di sini."
"Gila kamu, Pan. Cewek semanis itu kamu lepas begitu saja?" Galang angkat bicara.
Aku hanya menatapnya sekilas. "Nggak masalah buatku, Lang. Dia yang maunya begitu. Ya sudah."
"Kamu nggak sayang ngelepas dia begitu saja?" Galang masih penasaran.
Aku menggeleng tegas. "Enggak! Kita mau bahas masalah ini atau latihan?"
Friza bangkit berdiri sambil koar-koar. "Latihaaaan ... ayo mulaiiiii ..."
"Calypso sudah menantiiiii ...," sambung Galang sembari menata keyboardnya.
Aku tertawa melihat tingkah teman-temanku yang konyol.
Calypso adalah tempat kami biasa hang out kala senggang. Tempat minum kopi dengan suasana yang sip. Tempat ngeceng juga sebenernya. Tiap Sabtu malam ada live musik disitu, dan target band kami adalah saat selesai mengikuti festival, kami ingin memastikan diri, bahwa kami pantas tampil di Calypso.
Sidoarjo, 120122

Komento sa Aklat (38)

  • avatar
    LUTFILKS

    bagus banget

    6d

      0
  • avatar
    mlmnovita

    bagus banget

    26/06/2023

      0
  • avatar
    FizHafiz

    ini agar luar biasa a

    30/03/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata