logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Curahan Hati Kedua Insan Part 2

Raka merasa gelisah malam ini. Sudah berusaha memejamkan mata tapi tak bisa tidur sama sekali. Sudah tiga jam membolak-balikkan badannya di samping Bima yang tertidur pulas. Sedari tadi, dia bergerak dengan perlahan agar Bima tak terganggu karena kegelisahannya.
Akhirnya Raka bergerak perlahan untuk keluar dari tenda. Dia ingin keluar dan duduk di dekat bara api yang masih bersisa untuk malam ini.
Raka melihat arloji. Dia melihat jarum panjang telah menujukkan pukul empat pagi. Sebentar lagi shubuh. Lebih baik dia duduk di luar dan menunggu matahari pagi menjelang, pikirnya.
Tadi malam, Raka mendengarkan keluh kesah Bima. Cukup lama Bima mencurahkan isi hatinya mengenai keluarga. Setelah beberapa jam mereka duduk berdua di depan api unggun, Yusri dan Aguspun bergabung kembali bersama mereka. Kedua teman mereka itu telah selesai berkumpul dengan pengelola tempat pendakian Gunung Sibuaten.
Mereka bersenda gurau sampai pukul satu malam. Akhirnya, memutuskan untuk istirahat dan masuk ke tenda masing-masing. Raka juga sudah sangat mengantuk. Bima mengajaknya untuk tidur dan disambut langsung oleh Raka.
Namun, ketika ingin beristirahat, Raka tak bisa tidur dengan baik. Tak bisa memejamkan mata dan tertidur dengan pulas. Dia terbayang cerita Bima tentang masa-masa ditinggal oleh orang tua dan abang kandungnya. Raka juga memikirkan Bima yang tak ingin jauh darinya karena telah menganggap dirinya sebagai saudara kandung. Yang menjadi pikiran Raka adalah dia tak jujur kepada Bima selama tinggal bersama.
Raka berpikir bahwa betapa egois dirinya. Bima telah mendekatkan hati, tapi mengapa dia masih menyembunyikan statusnya. Pemuda itu terdiam. Memandang ke bara api yang masih banyak tersisa di areal api unggun. Raka mengetatkan jaket yang dipakai sambil termenung.
“Ka…,” panggil Bima dari balik tenda. Pemuda itu terbangun dan menyadari Raka tak ada di dalam tenda.
“Ya,” jawab Raka cepat.
Tempat Raka duduk tak jauh dari tenda mereka, Bima bisa mendengar suara Raka. Bima beringsut dari selimutnya dan keluar tenda dengan perlahan. “Kok di luar? Enggak bisa tidur ya?” tanya Bima setelah mendekati Raka.
“Iya.”
“Ada apa?” tanya Bima lagi. Pemuda itu masih berdiri di samping Raka yang sedang duduk. “Tidur yuk. Balik ke tenda,” saran Bima.
“Enggak ada apa-apa.” Raka menjawab dengan pelan. “Kamu tidur aja sana gih, aku mau di sini aja,” jawab Bima santai.
Bima diam terpaku.
Raka mendongakkan wajahnya, melihat ke arah Bima.
“Kenapa? Kamu tidur aja sana, aku masih pengen di luar.” Raka berkata dengan santai kepada Bima.
Bima masih terdiam melihat ke arah Raka.
“Ya udah. Kalau enggak mau tidur. Sini deh, temeni aku.” Raka menepuk-nepuk tanah yang ada di sampingnya dengan perlahan. Memberi isyarat kepada Bima agar duduk di tempat yang disediakan olehnya.
Bima tak membalas perkataan Raka. Pemuda itu langsung duduk di samping Raka. Meringkukkan kedua kaki untuk menghangatkan seluruh tubuh.
“Kamu mau aku buatkan kopi atau teh?” tanya Raka.
Bima menggeleng.
Raka tersenyum melihatnya.
Tak berapa lama, dada Raka berdebar dengan kencang. Dia tak nyaman melihat wajah Bima. Tak nyaman karena menyimpan kebohongan kepada orang yang peduli padanya.
Raka berdehem. Berusaha mengatur nafas.
“Bim… aku mau cerita sesuatu sama kamu.” Raka merubah posisi duduknya menghadap ke Bima. Saat ini posisi wajahnya berada di samping Bima dan menatap Bima yang sedang menghadap ke bara api.
Bima menoleh. “Cerita apa?”
“Kamu santai aja ya menyikapi hal yang aku ceritakan ini. Jangan berubah sikap,” pinta Raka.
“Ya… apa dulu yang mau diceritain ini.”
“Kamu janji dulu tapi…,” Raka menyela.
“Gimana aku mau berjanji, hal yang mau diceritain aja aku enggak tau.” Bima sewot.
“Ya udah… pokoknya janji aja, setelah aku cerita kamu jangan berubah sikap sama aku,” pinta Raka dengan sedikit memelas.
“Kamu jadian sama Cici Mei Mei tanpa sepengetahuan aku?” tanya Bima balik dengan melototkan mata.
“Bukan.”
“Jadi apa?”
“Janji aja deh.”
“Iya, iya, aku janji!”
“Hush… suara kamu jangan keras-keras, banyak orang yang tertidur lelap malam ini.”
“Apa sih, Ka! Ya udah, aku janji. Cepat lah cerita.”
“Aku bukan asli orang sini, Bim.” Raka menunduk ketika mengatakan hal itu.
“Lah, emang iya. Kamu kan entah dari mana. Sampai sekarang aku aja enggak tau asal kamu. Kamu enggak pernah cerita karena kamu lupa ingatan,” terang Bima panjang lebar.
“Enggak, Bim. Aku enggak lupa ingatan.” Raka mengatakan hal itu sembari menatap dengan wajah sendu ke arah Bima.
Bima terdiam. Ekspresi wajahnya terkejut.
Raka juga menatap Bima dalam diam. Tatapan yang dalam dan penuh makna.
“Apa maksudnya, Ka?” tanya Bima penasaran.
“Inilah saatnya.” Raka membatin. Pemuda berkulit putih itu menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu… “Aku tidak hilang ingatan, Bim. Aku bisa mengingat semua kejadian yang terjadi padaku. Secara detail. Semuanya aku ingat,” ujar Raka dengan perlahan.
“Jadi?”
“Ya. Aku ingat siapa diriku dan darimana asalku.” Raka membalikkan badannya yang di awal menghadap ke Bima. Sekarang dia menghadap ke arah api unggun yang hanya tinggal bara api. Mengatur duduknya dengan bersila dan menarik kembali nafasnya dalam-dalam. “Aku berasal dari Kuala Lumpur, Malaysia. Karena itulah aku tak memiliki identitas diri di Indonesia ini. Karena itulah aku takut untuk didaftarkan di perusahaan asuransi perkebunan. Kemarin-kemarin, kita sekeluarga tidak ingin mendaftarkan asuransi itu karena takut orang lain tau bahwa aku pendatang haram yang belum melapor ke Kepala Lingkungan kan? Tapi alasannya bukan itu sebenarnya. Syukurnya, tanpa identitas aku masih bisa hidup di Indonesia hanya dengan perkataan Mas Sudar bahwa aku adalah keponakannya. Kalau kami di Malaysia tidak akan bisa seperti itu. Maaf, bukan aku mengecilkan negeramu, Bim.” Raka menoleh ke arah Bima yang sedari tadi pemuda itu terperangah mendengar cerita Raka.
Raka melanjutkan ceritanya dengan mengalihkan kembali pandangannya ke depan. “Tragedi yang terjadi padaku adalah aku dikhianati oleh orang yang dekat denganku, yang ingin merebut perusahaanku.”
“Perusahaan?” tanya Bima dengan nada tinggi.
“Ya, aku punya perusahaan sendiri. Ayahku seorang konglomerat terkenal di Malaysia. Orang terkaya nomor tiga di negeri kami.”
“Nomor 3?” Bima kembali meninggikan suara.
“Ya. Maaf, aku bukan menyombongkan diri. Ayahku memiliki perusahana tak hanya di Malaysia. Tapi ada di Singapura, Inggris dan juga di Indonesia. Karena itulah aku tau Kota Medan, Batam, Bandung, Surabaya dan Jakarta. Ada anak perusahana kami di kota yang aku sebutkan tadi. Kami berinvestasi di Indonesia,” jelas Bima dengan suara rendah. Dia menyampaikan hal ini dengan berhati-hati dan sedikit sungkan.
“Ya ampun, Raka… kamu anak orang kaya? Apa yang sebenarnya telah terjadi?” Bima menghadap ke Raka. Prilaku Raka sebelumnya, dilakukan oleh Bima. Pemuda itu merubah posisi duduknya.
“Para pengkhianat telah merencanakan hal busuk untukku. Sewaktu aku melakukan perjalanan bisnis yang pertemuan bisnis itu dijadwalkan di kapal pesiar. Aku dipukul hingga pingsan. Aku tak tau siapa yang memukulku dan tak tau siapa yang berkhianat. Tapi aku yakin, orang yang mengkhianatiku sengaja membuat pertemuan bisnis di kapal pesiar itu.” Raka melipat kedua kakinya mendekati dada. Udara dingin kembali terasa menusuk tubuh. Dia kembali mengencangkan jaket yang dikenakan.
“Trus?” tanya Bima ke Raka. Pemuda itu serius mendengarkan cerita Raka.
“Mereka mengharapkan kematianku. Akhirnya aku dibuang ke laut. Aku tak sadarkan diri, hingga akhirnya ditemukan oleh Mas Sudar. Mas Sudar yang menyelamatkan nyawaku. Jika tak ada Mas Sudar, mungkin aku sudah menjadi mayat yang terapung di lautan. Aku sudah terkatung-katung di lautan selama beberapa jam.”
“Wah… pantesan kamu ditemukan Mas Sudar dengan memakai setelan jas lengkap,” terang Bima.
“Ouh ya. Kamu tau dimana setelan jas aku dimana, Bim?” tanya Raka.
“Sama Mba Mirna. Disuruh simpan sama Mas Sudar. Kata Mas Sudar, setelan jas itu akan diberikan jika kamu sudah mengingat semuanya,” jelas Bima.
Raka terdiam.
“Ada apa, Ka?” tanya Bima karena melihat raut wajah Raka seakan memikirkan sesuatu.
“Kamu enggak marah dengan aku kan? Karena baru cerita hal ini sekarang?” tanya Raka. Menoleh Bima dengan memasang mata sendu.
“Ah… enggak kok. Ya, kamu kan pasti punya alasan untuk melakukan itu,” ujar Bima.
“Bisa apa enggak, kita terus merahasiakan hal ini kepada Mas Sudar dan Mba Mirna. Nanti kalau ada waktu yang tepat, aku akan berterus terang kepada mereka,” pinta Raka.
“Ya. Oke. Terserah kamu saja,” jawab Bima lugas. “Aku mau dengar cerita tentang dirimu dan keluargamu. Aku enggak mau ada yang ditutup-tutupi lagi sekarang,” sambung Bima dengan cepat.
Raka mulai bercerita kepada Bima dari masa kecilnya. Masa kecil yang bahagia, tapi tidak memiliki saudara kandung sama sekali. Ayahnya yang sibuk mengurus perusahaan membuat dirinya jarang untuk bertemu ayahnya. Untung ibunya adalah ibu rumah tangga yang baik, bukan wanita karir. Hari-hari diisi bersama ibunya dan asisten rumah tangga serta pengawal pribadi yang lusinan jumlahnya. Raka bahkan tak mengingat nama mereka, tapi mengenali wajah mereka.
Kemudian Raka bercerita tentang kepergian ibunya karena sakit parah. Kanker otak menyerang ibunya. Setelah kepergian ibunya, hidup Raka menjadi hampa. Ayahnya yang sibuk dengan pekerjaan membuat Raka menghabiskan waktu dengan asisten rumah tangga mereka.
Akhirnya, setelah hidup sendirian selama dua tahun, ayahnya menikah lagi dengan seorang janda, membawa satu anak perempuan kecil, masuk ke dalam rumahnya. Hidup Raka semakin berantakan, ibu tirinya tidak seperti ibu kandung. Walaupun ibu tirinya tidak melakukan kekerasan kepadanya, tapi ibu tirinya lebih mementingkan anak kandung dibandingkan Raka. Sedangkan Raka diurus oleh asisten rumah tangga yang setia, pengganti ibunya. Tak ada perhatian seorang ibu lagi yang didapatkannya.
Di Masa SMA, Raka bangkit karena salah satu sahabat dari kecil yang terus menyemangatinya. Raka tak mau terpuruk lagi. Raka belajar hidup mandiri. Belajar bahwa hanya diri sendiri yang bisa menjadi motivasi dan merubah diri, bukan orang lain. Dia berprinsip, percuma saja jika ayah atau sahabatnya memberikan masukan, saran dan motivasi sekuat tenaga, jika dirinya sendiri tidak mau bangkit dan berubah, maka dirinya sendiri tak akan pernah berubah. Akhirnya Rakapun bangkit dari keterpurukan. Dari kesedihan yang tak ada ujungnya jika dituruti karena kehilangan orang yang dicintai.
Penyesalan demi penyesalan dikubur dalam-dalam. Yang membuatnya semangat adalah dia ingin study ke luar negri. Inggris adalah daerah pilihannya. Ayahnya juga mendukung keinginan Raka. Akhirnya Raka kuliah di luar negri sambil sesekali melihat perusahaan ayahnya di sana.
Setelah menjalani masa kuliah di Inggris selama empat tahun, Rakapun disuruh kembali oleh ayahnya. Ayahnya ingin Raka membuka perusahaan baru miliknya sendiri dan sekaligus perlahan-lahan mengambil alih perusahaan milik ayahnya. Dan akhirnya Raka menyetujui hal itu. Raka membangun perusahaan bersama sahabatnya, tak lepas dari bimbingan ayahnya.
Dua tahun, Raka berstatus menjadi Direktur utama. Ayahnya adalah seorang Presiden Direktur yang ternama di Malaysia. Jadi, mereka berkerja sama. Saling bahu membahu. Di saat itulah hubungan mereka menjadi lebih baik. Hubungan sebagai anak dan ayah.
Tapi keharmonisan hubungan mereka sepertinya tidak disukai oleh orang-orang tertentu. Dua tahun memimpin perusahaan ayahnya, Raka telah melihat betapa banyak orang-orang munafik yang menyimpan kebusukan di dalam diri. Dan akhirnya Raka merasa resah duduk di sekitar mereka. Begitu banyak orang yang baik di hadapannya, tapi siap untuk menusuknya dari belakang dan akhirnya terjadi.
Raka juga bercerita kepada Bima tentang perjodohan dengan seseorang yang diatur oleh ibu tirinya, tapi Raka tahu bahwa ada maksud tertentu dari perjodohan itu, maka dengan tegas dia menolak.
“Jadi, selama ini, kamu menyembunyikan semua itu, untuk apa, Ka?” Bima bertanya setelah mendengar seluruh cerita Raka dengan seksama.
“Karena… ketika aku berada di rumah kalian, aku merasakan begitu banyak hal yang berbeda. Cinta, kasih sayang, ketulusan, keharmonisan, kehidupan sederhana dan tenang. Semua yang aku jalani di Kuala Lumpur, kebalikan dari yang aku alami di sini, saat ini. Walaupun tak bergelimang harta, aku merasakan kenyamana dan ketenangan di dalam hidup,” jelas Raka. “Aku terus berpura-pura seperti yang kalian duga, berpura-pura kehilangan ingatan karena aku tak ingin kehilangan yang telah aku dapatkan di sini,” lanjut Raka. Pemuda itu ingin menangis ketika menceritakan hal ini.
Bima terdiam. Menatap dengan wajah lembut ke arah Raka. Berusaha mengerti apa yang dirasakan Raka saat ini.
Setelah beberapa menit mereka terdiam, Bima berujar, “Pantesan… sewaktu kamu ditemukan pertama kali, logat melayu kamu sedikit kental. Ada momen-momen tertentu aku mendengarkan logat melayu itu keluar dari mulutmu. Aku berpikir bahwa kamu berasal dari daerah pesisir Kabupaten Langkat, daerah Sumatera Utara juga, tapi berbatasan dengan Propinsi Aceh. Mereka memiliki logat yang hampir sama dengan negara Malaysia. Seperti film kartun Upin dan Ipin. Aku tau hal itu karena ada teman kuliah aku dulu, berasal dari Langkat,” terang Bima.
Raka tersenyum kecil. “Dan kamu tau enggak Bim, mengapa aku tak memngerti pribahasa atau istilah dalam Bahasa Indonesia?” tanya Raka sambil memandang Bima dengan melempar senyuman.
“Ah… iya, ternyata hal itu penyebabnya. Aku pikir kamu terlalu bodoh, jadi enggak ngerti pribahasa Indonesia.” Bima tertawa, memukul Raka dengan perlahan.
Raka juga tertawa kecil.
Setelah berhenti tertawa, Bima bertanya,”Mengapa saat ini kamu mau bercerita tentang dirimu, Ka?” Bima mengajukan pertanyaan itu secara perlahan.
Raka terdiam sebentar. Lalu… “Karena aku sayang denganmu, Bim.” Raka menoleh ke arah Bima. Mendapati Bima yang juga menoleh ke arahnya dengan wajah terkejut. “Aku juga sayang dengan Mas Sudar, Mba’ Mirna. Sayang dengan keluarga baruku ini. Aku takut kehilangan kalian semua. Dan… karena tadi malam, kamu telah jujur dan bercerita banyak kepadaku, aku merasa tidak adil jika kamu tak banyak tau tentang aku. Karena itulah aku menceritakan hal ini kepadamu.” Satu titik air mata telah jatuh di pipi kanan Raka.
Bima langsung merangkul bahu Raka.
Mereka berdua menatap ke arah langit di ufuk Timur, samar-samar cahaya keluar dari peraduan.
“Jadi apa rencana untuk hidupmu selanjutnya?” Pertanyaan yang dilontarkan Bima bernada serius. Dia tak menoleh ke arah Raka yang duduk di sampingnya. Masing-masing bahu mereka menempel berdampingan.
“Aku masih ingin bersama kalian. Masih ingin menikmati hidup ini. Hidup yang sesungguhnya, bukan hidup penuh kepalsuan dan kemunafikan”
“Tapi, apa kamu tak kasian dengan ayahmu yang mencarimu di sana, Ka?” tanya Bima lagi.
Raka terdiam.
“Menurutmu, apa ayahmu tak mencarimu sama sekali?” tanya Bima lagi.
“Kamu ingat enggak Bim, pas kita makan di café restoran laut seminggu yang lalu? Yang aku buru-buru minta pulang?” Raka menoleh ke arah Bima ketika mengajukan pertanyaan itu.
“Ya. Kenapa?”
“Aku mengenali beberapa pria, masuk ke dalam restoran itu.”
“Siapa?” tanya Bima penasaran.
“Mereka adalah pengawal pribadi ayahku. Aku kenal betul dengan seragam yang mereka kenakan. Berarti ayahku membuat tim khusus untuk mencari keberadaanku,” ujar Raka.
“Apa?!”
Munculnya Sang Surya dari peraduan tak lagi dinikmati oleh Bima karena mendengar perkataan dari Raka. Perlahan tapi pasti matahari akan menujukkan sinar dan kekuatannya dalam memberi energi kepada makhluk di bumi ini.
Bima juga berpikir bahwa pelan tapi pasti, misteri kehidupan Raka akan terungkap. Suatu saat dia akan kembali ke asalnya. Mungkin besok atau lusa atau bulan depan atau tahun depan atau beberapa tahun ke depan. Dia tak akan pernah tahu takdir yang akan mereka jalani nantinya.
***

Komento sa Aklat (44)

  • avatar
    ManisIda

    sungguh menyenangkan membaca nya , ada suka dan duka , di alur ceritanya sehingga ikut terbawa ke dalam cerita

    03/01/2022

      0
  • avatar
    RauliaAnandaningrat

    good

    04/02/2023

      0
  • avatar
    gamingMacan

    bagus

    24/08/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata