logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Curahan Hati kedua Insan Part 1

“Ka… bangun.”
Bima menepuk-nepuk pipi Raka dengan lembut. Berulang kali dilakukannya hal itu sampai pemuda yang berkulit putih terbangun dari tidurnya.
“Ayo… kita harus menikmati sunrise di atas gunung ini.” Bima menarik tangan Raka ketika pemuda itu telah membuka matanya.
Raka bangkit perlahan. Menggosok-gosokkan kedua mata. Di hadapannya, Bima tersenyum dengan ceria.
“Cepetan, ntar keburu ketinggalan momen.” Bima kembali berujar. Kali ini sedikit lebih memaksa.
Rakapun beringsut perlahan. Mengikuti Bima yang keluar dari tenda. Terasa angin dingin menerpa wajah. Dia membungkus tubuhnya dengan jaket yang dikenakan, lebih ketat.
“Ayo…,” ajak Bima sambil tersenyum. Berjalan di depan Raka.
Raka mengikuti Bima ke Bagian Timur dari Gunung Sibuaten. Dia melihat para pendaki sudah berkumpul di bagian itu untuk menyaksikan sunrise.
“Bima… sini!” Yusri berteriak kepada Bima.
Bima melangkahkan kakinya ke tempat Yusri dan Agus yang sudah duduk di pinggir puncak gunung. Pemuda itu menoleh ke belakang, mengecek keberadaan Raka yang mengikuti sedari tadi.
Nah… enak nih duduk di sini. Agus udah buatkan teh panas dan jagung rebus. Pasti tambah enak,” nyata Yusri.
Bima duduk di samping Yusri. Menoleh ke arah Raka yang menyusul duduk di sampingnya.
“Kamu cepat bangun ,Gus?” tanya Raka setelah memantapkan pantatnya duduk di atas tanah.
“Ya… aku kan lebih cepat tidur daripada kalian tadi malam,” ujar Agus santai. “ Nih teh dan jagung untuk kalian.” Agus memberikan minuman untuk Bima dan Raka melalui Yusri.
Mereka menyambutnya dengan senyuman hangat. Perut mereka memang terasa lapar. Raka langsung menyeruput teh manis panas yang dibuat oleh Agus. Menggigit jagung rebus yang masih terasa hangat. Mengunyahnya dengan perlahan sembari melihat keindahan alam.
Pemandangan yang mereka tunggu sudah mulai terlihat. Rona berwarna oranye di ufuk Timur setiap menit semakin terang. Waktu terasa lama ketika mereka menunggu munculnya Sang Surya, seakan matahari tahu bahwa banyak manusia yang menunggu kedatangannya.
“Oh god… It’s beautiful. Really… and this trip so worth it,” batin Raka sambil menikmati momen-momen setiap detik di atas puncak gunung Sibuaten di Sumatera Utara.
***
Di pagi hari, hari pertama mereka berada di Puncak Pilar Gunung Sibuaten, hal pertama sekali mereka lakukan setelah menikmati sunrise adalah memasak sarapan pagi secara bersama-sama. Raka memasak sayur dan menggoreng tempe yang mereka bawa. Bima memasak nasi dibantu oleh Yusri. Agus memetik gitar dan bernyanyi di hadapan mereka. Tak hanya menghibur teman-temannya, tapi juga untuk kepentingan makanan yang dimasak oleh mereka. Katanya, agar makanan pagi ini terasa lebih lezat karena sudah dinyanyikan olehnya.
Yusri dan Bima sudah terlihat bercanda kembali sambil memasak nasi. Bima terkekeh ketika mendengar candaan dari Yusri, sedangkan Raka serius memasak bagiannya.
Raka merupakan pemuda yang mandiri, ketika tinggal di apartemen di Inggris, dia meningkatkan skill memasaknya. Sebenarnya sejak SMA dia telah belajar memasak di rumah dengan Kepala Asisten Rumah Tangga. Hal ini dikarenakan dirinya mempunyai rencana untuk kuliah di Inggris. Atas dasar itulah dia belajar memasak sewaktu SMA.
Namun, memasak di atas gunung saat ini adalah hal baru dirasakan olehnya. Dengan peralatan seadanya. Dia tak bisa berimprovisasi sesuai keinginan, tapi untuk rasa makanan, bisa dinikmati dengan baik.
Ketika mendaki gunung di Inggris dan Malaysia, tentu saja perlatan yang dibawa bersama teman-teman adalah peralatan dan perlengkapan yang lengkap dan canggih. Dirinya dan teman-temannya yang Kaum Borjuis tidak mendaki gunung seperti ini. Membawa perlengkapandan peralatan seadanya dan berjuang keras untuk mencapai puncak pegunungan.
Raka dan teman-teman borjuis-nya, mereka bisa membawa peralatan dan perlengkapan yang mereka suka. Tinggal men-calling agen perjalanan dan mereka akan membawa truk berkemah yang lengkap dengan peralatan dan perlengkapan. Logistik di dalam truk juga lengkap seperti layaknya pelayanan hotel berbintang lima. Agen perjalanan akan membawa truk itu dengan helikopter dan mempersiapkan truk berkemah itu di puncak gunung sebelum dirinya dan teman-temannya sampai ke puncak yang dituju.
Tak asyik, pada saat itu. Baru sekarang Raka merasakan bahwa apa yang dijalani ketika berkemah, mendaki gunung dengan teman-teman Borjuis-¬nya, tak asyik sama sekali. Karena dia telah merasakan pengalaman bersama Bima dan kedua teman barunya, sekarang ini. Jadi ada perbandingan antara yang sudah dijalani dulu dan yang sekarang. Kali ini seperti petualang baru yang lebih indah, lebih hidup, lebih banyak tantangan dan lebih berkesan di segala sisi.
Raka tersenyum melihat Bima dan Yusri yang terus bercanda. Melihat Agus yang terus memetikkan gitar dan bernyanyi dengan suara yang lumayan bagus. Raka telah melihat karakter Bima yang telah kembali seperti semula. Hatinya lega. Mungkin, kemarin Bima sedang letih sehingga lebih banyak diam.
***
Tak banyak hal yang mereka lakukan dari pagi sampai sore hari di atas Puncak Pilar. Setelah sarapan pagi, mereka beristirahat sejenak. Setelah itu mereka mencari sumber air terdekat di puncak gunung. Mandi dan mencuci pakaian kotor mereka karena mendaki kemarin. Setelah melakukan aktifitas bersih-bersih, mereka kembali memasak makanan untuk makan siang.
Setelah makan siang, cuaca yang dingin berkisar 16 derajat celcius mendukung mata mereka untuk tidur. Tidur di alam terbuka. Angin yang semilir menyapa mereka, terasa dingin tapi tidak sedingin ketika malam hari.
Sore harinya, mereka bergabung dengan kelompok lain, saling berkenalan dan bercerita tentang kisah mereka masing-masing. Kebanyakan para pendaki yang mereka jumpai adalah para mahasiswa. Hanya sebagian kecil para pendaki yang merupakan para pekerja kantoran. Mungkin masa para pekerja sudah habis untuk mendaki pada saat mereka telah memiliki pekerjaan. Kehidupan menjadi mahasiwa memang harus dinikmati. Bergaul dengan teman-teman. Jalan-jalan menikmati keindahan alam. Hang out bersama teman. Mendaki gunung dan hal-hal positif lainnya. Jadi ketika sudah sibuk dengan dunia pekerjaan, kesempatan seperti itu susah untuk didapatkan kembali.
Malam hari, setelah makan malam, Raka dan Bima duduk berdua di depan api unggun yang mereka buat sejak maghrib tadi. Yusri ikut dengan Agus, bergabung dengan teman Ranger-nya. Ada hal yang harus dirapatkan oleh mereka. Hal yang berhubungan dengan desa mereka dan Gunung Sibuaten. Karena itulah Raka dan Bima tidak ikut dengan mereka.
Raka membakar ubi rambat berwarna ungu yang dibawa oleh Yusri, hasil dari kebunnya. Meletakkan ubi-ubi itu ke bara yang dibungkus dengan kertas alumunium foil. Menunggu sambil membolak-balikkan posisi ubi di dalam bara api.
“Ini kopinya,” ujar Bima kepada Raka yang baru mendekati pemuda itu di areal api unggun. Beberapa menit dia meninggalkan Raka untuk membuat kopi.
“Mengapa kopi yang dibawa oleh Yusri, harum sekali ya, Bim?” tanya Raka sembari mencium uap kopi yang keluar dari permukaan air di dalam gelas.
“Kopi di daerah ini ada juga yang enak kok. Mereka menanam sendiri. Enggak kalah dengan kopi asal Aceh,” nyata Bima. Dia mencari posisi duduk di samping Raka.
“Ouh ya. Aku juga pernah dengar tentang kopi Aceh,” balas Raka.
“Pernah dengar? Ya pastilah, kamu hidup di Indonesia kok enggak pernah dengar tentang kopi Aceh… kan aneh itu jadinya,” celetuk Bima.
Raka terdiam. Pemuda itu menyadari kalau dirinya ternyata salah berbicara.
“Yusri dan Agus kayaknya lama ya balik ke tenda?” Bima bertanya dengan wajah serius.
“Mungkin.”
“Sepertinya mereka membicarakan hal yang penting untuk perkembangan kampung mereka dan kelestarian gunung ini juga. Itu yang aku dengar sedikit bocoran dari Yusri.” Bima menyeruput kopinya.
“Ouh.” Raka juga mengikuti yang dilakukan Bima. Setelah itu, kembali mengambil ranting yang digunakan untuk membolak-balik ubi rambat yang sedang dibakar.
“Ka…,” panggil Bima dengan nada pelan. Dia duduk melipat kedua tungkai kakinya merapat ke dada.
“Ya.” Raka masih membolak-balik ubi kayu yang ada sekitar lima buah, terbungkus di dalam alumunium foil.
“Ka!”
“Apa sih?” Raka menoleh ke arah Bima. Terdiam ketika menatap ke arah Bima. Pemuda yang di samping, juga menatap dirinya dan memasang wajah serius. Raka menangkap dari tingkah laku Bima, ada sesuatu yang ingin disampaikan oleh pemuda itu. Raka menghentikan pekerjaan yang sedang dilakukan dan… “Ada apa? Ada yang mau kamu bicarakan?”
Bima mengangguk.
“Sok imut banget sih,” canda Raka.
Bima terdiam menatap Raka. Tak ada senyum di bibir.
Raka terdiam. Dia menangkap bahwa hal yang mau dibicarakan oleh Bima adalah hal penting. Kondisi seperti ini sama ketika Bima memutuskan agar Raka pindah ke kamar belakang dan dia akan ikut membantu membereskan kamar itu. Prilaku ini dilakukannya lagi oleh Bima, sekarang.
“Oke. Silahkan ngomong. Mumpung tidak ada Yusri dan Agus,” ujar Raka.
Bima menarik nafas pelan.
“Kita sudah beberapa bulan berteman kan? Bahkan, mungkin bukan seperti teman lagi. Hubungan kita seperti sahabat.” Omongan Bima terhenti. Melihat ke arah Raka untuk mengecek apakah Raka mengikuti alur cerita yang akan dimulai.
Raka mengangguk. “Terus….”
Bima memalingkan wajahnya dari tatapan Raka. Melihat ke arah api unggun yang samar-samar akan redup. “Aku pernah ceroiakan soal abangku yang meninggal bunuh diri?”
“Ya.”
“Semenjak itu, aku tak memiliki saudara kandung. Aku merasa sebatang kara. Hanya Mba Mirna yang aku miliki dan Mas Sudar sebagai suaminya. Hari-hari yang aku lalui, akhirnya bisa aku jalani dengan baik karena mereka berdua.” Bima berhenti di situ. Mengambil ranting kecil dan menjolokkan ranting kecil itu ke perapian. Menusuk ubi yang sedang di panggang. Mengecek apakah sudah matang atau belum. Hal itu dilakukan untuk menetralkan rasa gelisah dan malu karena berbicara serius kepada Raka.
“Trus.” Raka tak sabar mendengar kelanjutan cerita Bima.
Bima menoleh kepada temannya yang mirip dengan Park Seo Joon. “Dan… ketika kamu masuk ke dalam kehidupan kami. Hidup kami lebih berwarna lagi.”|
Raka melihat ke wajah Bima. Menunggu kelanjutan cerita pemuda yang duduk di sampingnya, tapi tak mengeluarkan kata sepatahpun.
“Khususnya aku. Aku merasa bahwa kamu adalah orang baru yang akan menjadi temanku, bahkan setelah beberapa bulan kamu telah menjadi sahabatku setelah semua hal yang kita lakukan bersama. Lebih seringnya seperti itu.” Bima tak berani menoleh ke arah Raka. Dia bisa menangkap dengan ekor matanya bahwa Raka sedang menatap dirinya dengan lekat.
Sorak sorai yang terdengar dari kumpulan pendaki lain sudah tak diperdulikan oleh Raka. Dia fokus mendengar cerita Bima.
Dengan susah payah, akhirnya Bima membuka suara kembali. “Saat ini, aku merasa kita bukan hanya lebih dari sahabat. Aku merasa….”
Dush!
Satu ubi yang meletus dengan suara yang sedikit keras, melesat keluar dari bara api. Bima terkejut hingga pembicaraannya terputus.
Dengan sigap Raka mengambil ubi itu. Dia tersenyum kecil. Merasa geli karena ubi ini meledak di saat momen yang tidak tepat. Raka mengecek kembali ubi yang lain. Ternyata sudah bisa disingkirkan dari bara api. “Lanjut deh, ceritanya…,” ujar Raka sambil mengulaskan senyum menggoda.
Bima menarik nafas. Wajahnya terlihat malas.
“Lanjut deh. Aku janji ubi ini tidak akan menganggu kamu lagi,” ucap Raka denga sungguh-sungguh.
“Kupaskan aku satu! Aku mau cerita sambil makan!” celetuk Bima dengan cepat. Ada nada kesal yang keluar dari perkataan yang dilontarkan.
“Oke.” Raka tersenyum. Berusaha membuka alumunium foil dari tubuh ubi rambat. “Jadi… kamu merasa kita bukan sahabat, trus apa?” pancing Raka. Ada nada menggoda di balik pertanyaannya.
Bima terbatuk. “Yang pasti kita bukan pasangan homoseksual.” Bima sewot.
Raka terkejut. Mengalihkan pandangan dengan cepat dari ubi ke Bima. “Lah… siapa yang ngomong begitu?”|
“Kamu, seolah-olah menggiring opini ke situ,” ujar Bima dengan cepat.
“Enggak kok. Aku biasa aja. Oke deh, lanjut ceritanya,” ujar Raka. Dia kembali fokus membuka alumunium foil.
“Males ah… aku mau tidur aja.” Ambek Bima.
“Yeeee… ternyata ada anak kecil yang sedang berada di puncak gunung dan namanya adalah Si Bima yang merajok.” Raka malah menggoda Bima. “Ayo lah, cerita lagi. Nih, ubinya.” Raka menyodorkan ubi yang sudah terbuka lapisan alumunium foil di bagian atas.
Bima mengambil ubi itu dengan perlahan. Dia merasa malu ketika dibilang Si Tukang Merajok
“Lanjuuuut,” seru Raka sembari menggeser duduknya dan menempel ke Bima.
“Apa sih, Ka?”
“Ayo dong cerita?”
Bima melihat ke arah Raka. “Aku sebenarnya kesal denganmu, Ka.”
“Kesal…? Kenapa?”
Bima terdiam. Menggigit dan mengunyah sedikit ubi yang ada di tangan.
“Kenapaaaa?” Raka bertanya seperti seorang abang kepada adiknya. “Jawab laaa?” Raka memaksa.
“Kamu tuh ya, udah ganti pakaian aku tanpa izin. Mana semua lagi sampai yang ke dalam-dalamnya. Berarti kan kamu ngeliat semuanya.” Dengan cepat Bima memukul kepala Raka menggunakan ranting kecil yang berada di sampingnya.
“Aduh! Sakit.”
“Baru gitu aja sakit. Aku nih yang malu. Malu sama Yusri dan Agus. Rasanya entah mau dimana aku letakkan mukaku ini,” sergah Bima.
Raka tertawa.
“Malah ketawa?”
“Sebenarnya kamu malu sama aku atau sama mereka berdua?” tanya Raka santai. Melihat ke arah Bima.
Bima membuang wajahnya, berpaling ke Raka dengan perlahan. Cara itu adalah cara membuang muka secara gentelman. Tidak ngondek.
“Gimana aku mau minta izin. Kamu pingsan. Aku berusaha agar kondisi kamu tidak menjadi lebih parah. Itulah jalan satu-satunya agar kamu selamat dari Hipotermia, Bim,” jelas Raka.
Bima terdiam. Pemuda berkulit hitam manis itu menggigit ubi rambat di tangannya beberapa kali.
“Lagian, barang kamu enggak berkurang satu apapun kan,” nyata Raka sambil tersenyum kecil. Mencari wajah Bima yang sengaja dipalingkan ke arah Raka. “Besar kok,” celetuk Raka selanjutnya.
Bima menoleh ke arah Raka. Kembali mengambil ranting dan memukul kepala Raka.
Raka tertawa cekikikan. “Udah… udah. Aku mau menjelaskan sesuatu nih.” Raka berusaha menghentikan aksi Bima.
Setelah berhenti, Rakapun berbicara. “Bim, aku normal. Kamu normal. Itu yang masyarakat katakan jika menyukai lawan jenis itu adalah normal.” Raka terdiam sesaat. Dan… “Bagi aku hal seperti itu tidaklah penting. Maksud aku, melakukan itu bukan melecehkan kamu tapi ingin meyelamatkan kamu. Itu lebih tepatnya. Aku begitu khawatir dengan kamu, Bim. Pada waktu itu, hanya itulah jalan satu-satunya untuk menyelamatkan kamu. Yusri dan Agus juga mengerti kok. Mereka tidak ada berpikiran macam-macam. Kamu saja yang bermain dengan pikiran kamu.” Raka menjelaskan kalimat demi kalimat secara hati-hati dan perlahan kepada Bima.
Bima terdiam mendengar penjelasan Raka.
“Aku sudah merasa dekat denganmu. Hal seperti itu lumrah. Tak ada hasrat birahi. Tak ada pelecehan. Murni menyelamatkan dirimu. Lagian, kamu kenapa sih hal yang seperti ini jadi bahan merajok?” tanya Raka.
“Aku bukan merajok. Aku malu. Malu banget rasanya.” Bima mengucapkan hal itu dengan sungguh-sungguh. Terlihat betapa besar malu yang dirasakan dari ekspresi wajahnya.
“Ngapain malu? Besar ko,” ujar Raka lagi sambil tertawa.
“Udah, Ka….” Kali ini Bima mendaratkan tinjunya ke lengan Raka.
“Iya… iya… udah. Sudah lah, jangan dipikirkan. Kita udah deket juga.”
Bima terdiam.
“Jadi, apa tadi yang mau diomongin. Lanjut lah,” pinta Raka dengan nada suara mendesak.
Bima terdiam. Menghabiskan kunyahan makanan yang ada di mulut.
“Raanya… aku enggak pengen jauh dari kamu, Ka. Rasanya, aku tetap pengen kamu menjadi bagian dari keluarga kami. Aku kangen sama abangku yang sudah tiada. Karena itulah rasanya pengen punya saudara untuk berbagi cerita. Kedekatan kita beberapa bulan ini punya arti, Ka. Itu bagi aku. Aku enggak tau bagi kamu, aku ini siapa. Mba Mirna dan Mas Sudar itu siapa bagi kamu.” Bima mencurahkan isi hatinya dengan perlahan. Tak berani menatap Raka.
Raka terdiam. Ubi rambat yang ingin dimakan olehnya tertahan.
“Kami sayang denganmu, Ka. Bagaimana jika ingatanmu kembali dan kamu balik ke tempatmu?” Lagi-lagi Bima menuturkan kalimat itu dengan suara rendah. Dia ingin menangis tapi sengaja ditahan.
Raka masih terdiam. Pemuda itu menundukkan kepala.
“Terus terang… aku tak ingin kamu cepat-cepat pindah ke kamar belakang karena benar yang dikatakan Mba Mirna, aku tak ingin sendirian. Hidupku sudah lama sendiri. Walaupun ada Mba Mirna dan Mas Sudar yang merawat aku, tapi aku ingin punya teman yang berasa saudara.” Bima berhenti berbicara sesaat. “Aku melarangmu untuk menjalin hubungan dengan Cici Mei Mei, karena aku tak ingin terjadi apa-apa dengan dirimu,” lanjut Bima.
“Hmmm…. Ya sudah. Tidak apa-apa kok. Aku percaya denganmu, Bim. Larangan itu pasti baik untukku.” Raka mendekati Bima. Mereka berdua duduk di depan perapian. Malam ini terasa hangat. Tak hanya tubuh mereka, tapi juga hati mereka.
“Kamu senang apa enggak sih berada di rumah kami?” Bima mengajukan pertanyaan kepada Raka. Dia kembali memakan ubi bakar yang dibuat Raka.
“Yah… malah ditanya. Kalau aku enggak senang, enggak mungkin aku tinggal di rumah kalian selama berbulan-bulan.” Raka juga akhirnya memakan ubi bakar yang sudah dingin di tangan.
“Ya kali aja karena ingatanmu belum pulih, makanya masih berada di rumah kami. Kalau sudah pulih, mungkin udah balik ke tempat asal.” Bima menoleh ke arah Raka.
Raka terdiam. Membisu.
Bima bercerita mengenai masa kecilnya kepada Raka. Betapa sayangnya orang tua mereka kepada dirinya dan abangnya. Sampai akhirnya, abangnya ingin mencari penghasilan sendiri dengan merantau ke Malaysia.
Bima bercerita mengenai abang kandungnya yang selalu mengirim uang untuk orang tua dan dirinya. Semenjak abangnya pergi ke malaysia, Bima bisa menabung dan membeli motor untuk pergi ke sekolah.
Orang tua Bima tidak terlalu susah. Mereka hidup sederhana dan berkecukupan, tapi abang kandungnya ingin membahagiakan kedua orang tua mereka. Abang kandungnya ingin mengumpulkan uang dan menaikkan haji kedua orang tua mereka. Tapi, sebelum hal itu terwujud, kedua orang tua mereka telah meninggal.
Kehidupan yang dialami Bima mulai parah ketika orang tuanya meninggal. Saat itu dirinya masih dalam masa pubertas, masih labil dan berpikir bahwa Tuhan tidak adil dengan takdir yang diberikan. Abang kandungnya juga tidak pernah pulang ke Indonesia. Jadi tak ada teman untuk tempat berbagi. Pada saat orang tuanya meninggal, abangnya juga tidak pulang sama sekali karena alasan pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan.
Bima merasa hancur. Pada saat orang tuanya meninggal, saudara kandung satu-satunya tidak bisa pulang untuk mengurus jenazah orang tuanya. Akhirnya, dia menjauh dari saudara kandungnya. Menjauh karena marah, begitu tega saudara kandungnya memperlakukan orang tuanya seperti itu. Tidak menghormati kedua orang tua mereka sama sekali. Itu pikirnya.
Ketika abang kandungnya pulang ke Tanjung Leidong karena kontrak kerja sudah habis yaitu dua tahun setelah orang tua mereka meninggal, Bima tidak ingin bersama abang kandungnya lagi. Dia menganggap bahwa abang kandungnya tidak ada lagi. Pemuda itu berpikir bahwa dirinya hanya punya Mba Mirna dan Mas Sudar. Dia semakin menjauh dari abang kandungnya.
Dan pada akhirnya, abang kandungnya bunuh diri karena depresi. Saat itulah Bima merasa bersalah. Abang kandungnya yang begitu baik kepadanya dahulu, saat ini benar-benar sudah tidak ada lagi. Penyesalanpun tak ada gunanya.
Bima menangis ketika menceritakan hal itu. Karena beberapa kejadian itulah, dia tak ingin jauh dari Raka. Tak ingin kehilangan orang yang disayanginya lagi.
Bima menangis tersedu. Menangis seperti anak kecil yang kehilangan sesuatu yang paling berharga. Malam ini, dia mencurahkan isi hati yang dipendam selama ini. Hal yang sebelumnya tidak pernah diceritakan kepada Raka secara mendetail.
Raka menghapus air mata Bima. Merangkul bahunya dan melihat ke arah bintang yang bertebaran di malam ini.
“I promise… aku tak akan meninggalkan Bima sendirian lagi. Tetaplah bersamaku, Bim. Aku sayang kamu seperti adikku sendiri,” kata Raka di dalam hati sembari merangkul Bima yang masih menangis. Dia menepuk-nepuk punggung Bima berulang kali.
***

Komento sa Aklat (44)

  • avatar
    ManisIda

    sungguh menyenangkan membaca nya , ada suka dan duka , di alur ceritanya sehingga ikut terbawa ke dalam cerita

    03/01/2022

      0
  • avatar
    RauliaAnandaningrat

    good

    04/02/2023

      0
  • avatar
    gamingMacan

    bagus

    24/08/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata