logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Perseteruan di Tempat Kerja

Bu Setyowati yang duduk di sebelah Jingga segera menuangkan air putih dari teko ke dalam gelas dan mengulurkan kepadanya. Jingga pun langsung minum dengan sekali teguk.
"Duh, kekenyangan, nih. Jingga ke kamar dulu, ya," pamitnya, mencoba menghindar dari Nila yang mulai merecoki. Biarlah ibunya yang mungkin akan memberi penjelasan kepada Bapak dan Nila nanti, pikirnya. Dirinya sendiri sama sekali tak ingin mengungkit ataupun mendengar masalah itu lagi.
Di kamar, ia melanjutkan aktivitas mengumpulkan barang dan foto kenangan bersama Miko. Tak lupa ia juga menghapus jejak digital dari HP maupun akun-akun sosmednya setelah memblokir nomor dan akun Miko.
Sesegera mungkin ia harus move on. Hidup terus berjalan. Akan ditemukannya kebahagiaan-kebahagiaan lain di luar sana. Keluarga yang disayanginya, pekerjaan yang disukai, serta prestasi yang diperjuangkannya, itu semua layak mendapat perhatian lebih daripada sekedar mengingat masa lalu bersama mantan yang selingkuh.
Setelah segela printilan selesai dikumpulkan, Jingga memasukkannya ke dalam kardus untuk disingkirkan ke gudang belakang.
"Nah, sekarang kamar ini udah bersih dari aroma mantan," ucap Jingga sedikit ceria. Kamarnya kini tampak lebih lengang dengan hilangnya beberapa pigura foto yang tadinya ia letakkan di kabinet dinding dan di atas nakas. Bahkan lampu tidur dan jam dinding yang cukup vital keberadaannya pun telah lenyap, karena jam dinding dari kayu dengan cat bergambar foto mereka berdua beserta tanggal jadian itu adalah hadiah dari Miko. Sementara lampu tidur juga oleh-oleh dari cowok itu saat ia dari Jogja mengunjungi kerabatnya.
"Huuuuft ..., jadi harus hunting lampu tidur dan jam dinding bugs bunny lagi deh, nih." Jingga meniup ke atas poninya sambil berpikir toko online mana yang kira-kira ada benda yang tengah ia butuhkan tersebut. Tak sempat lagi kalau harus belanja offline, karena hari-hari kedepannya ini akan penuh dengan jadwal lembur.
* * *
"Jingga!" terdengar seruan Nindy di belakangnya. Ia tampak berlari-lari kecil menyusul Jingga yang tengah berjalan cepat menuju ruangan Kepala Bagian. Ia dengar tadi Bu Tutik tengah mencarinya sehingga ia pun berinisiatif menemui beliau dengan membawa laporan harian barangkali diperlukan.
"Iya, Ndy. Kenapa?" Ia spontan berhenti dan berbalik menunggu Nindy. Yang ditanya berhenti dulu sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan. Jingga seketika tertawa melihat peluh yang sudah sebesar biji jagung menetes-netes dari rambut ke dahinya. Ya ampun, tubuhnya yang gembul membuat Nindy cepat kelelahan walau hanya berlari-lari kecil sebentar saja. Tetapi meskipun begitu, Nindy ini lumayan cermat dan cekatan sehingga Jingga sangat cocok bekerja berdua dengannya.
"Laporan yang kamu bawa tadi ... anu ... belum kumasukkan hasil lembur kemarin. Ini kamu update sendiri aja kalau emang Bu Tutik ntar nanyain, ya. Kemarin aku belum sempat mindahin catatan ke situ." Ia berkata sambil sebentar-sebentar berhenti untuk mengambil napas. Disodorkannya sebuah notes miliknya kepada Jingga.
"Oh, iya. Makasih, ya, Ndy. Maaf kemarin ninggalin kamu lembur sendiri sama Via," ujarnya tak enak hati.
"It's oke, tapi nanti jangan izin lagi, ya. Mampus aku gugup banget kalo kerja ditungguin Bu Tutik, tuh. Berasa gemeteran, serem ...,"
"Wkwkwk, iyaaa, iyaaa, disampaikan ke Bu Tutik, ya, keluhan barusan?" Jingga menawarkan sembari mengerlingkan sebelah matanya.
Nindy terbelalak dan menepuk lengan Jingga. Jenis tepukan keras oleh lengan segede gaban itu sukses membuat Jingga mengaduh kesakitan.
"Awww ... aduuhh, sakit banget, tahu!"
"Rasain! Udah sono. Awas, ya, kalo laporan macem-macem!" ujar Nindy mendelik mengancam.
Jingga terbahak dan berlalu meneruskan perjalanannya setelah menjulurkan lidah untuk menggoda Nindy.
* * *
Di ruangan Bu Tutik, Jingga dihadapkan pada pertanyaan mengenai kapan ia menargetkan akan selesai job baru dengan jumlah order 3.200 pasang tersebut. Deadline di list job yang diberikan memang tercatat baru tiga minggu kedepan, tetapi maksud beliau adalah perkiraan selesai di departemen jahit sendiri. Itu harus paling tidak seminggu sebelum deadline. Berarti dalam dua minggu ini ia harus memastikan pengerjaannya telah selesai dan sudah full setor ke departemen Lasting.
Jingga kembali ke tempatnya dengan pikiran penuh angka tanggal jadwal dan juga size sepatu plus jumlah per size dibanding jumlah tim yang mengerjakan. Terlalu timpang. Harus segera nego Mb Intan lagi, nih, karena yang urgent kan job baru bukan job lama, pikirnya.
Mendekati Mbak Intan, belum sempat Jingga membuka mulut, ia sudah kena semprot duluan.
"Enak, dong, kurang orang tinggal minta lagi? Giliran disuruh lembur gak ikut. Siapa aja juga bisa kalo gitu caranya!" Mbak Intan langsung mengomelinya.
Jingga yang terkejut akan sambutan meriah itu terdiam beberapa saat, bingung akan menjawab bagaimana. Ingin balas mengomel, tetapi beliau termasuk atasannya. Ditahannya emosi dan menjawab sesantai mungkin.
"Wah, udah kebaca ya, pikiranku, Mbak?"
"Maaf, kemarin aku terpaksa nggak ikut lembur. Tapi itu bukan karena nggak mau, sih, Mbak. Kepalaku pening banget, takut jadi sakit kalau dipaksain. Selama ini aku nggak pernah bolos lembur juga, kan, biasanya?"
Mbak Intan melengos sambil berkata, "Alasan!"
Sekuat tenaga Jingga menahan emosinya. Ditariknya napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia harus ingat profesionalitas di tempat kerja.
"Aku nggak tahu, deh, kenapa Mbak Intan sewot gitu sama aku. Tapi aku ke sini mau minta tambahan empat orang. Bu Tutik sudah bilang lakukan yang menurutku diperlukan. Lagipula pliss dong, Mbak. Yang urgent buru-buru kirim kan yang jobku? Tolong dong kerjasamanya." Akhirnya Jingga ikut ngegas karena tersulut emosinya. Mbak Intan kali ini bener-bener egois. Harus dilawan dengan tegas, pikirnya.
"Sampai semua size maju ke tengah aja, langsung ku balikin ntar empat orangnya." Jingga menambahkan, sedikit melunak karena tak enak hati telah terkesan bersikap ngeyel kepada atasan.
Entah karena capek berdebat atau apa, Mbak Intan segera menunjuk empat orang dari Line untuk ikut Jingga.
"Terima kasih, Mbak." Jingga bernapas lega dan segera memberi instruksi kepada empat orang tersebut. Membagi tugas kepada mereka masing-masing untuk membantu mengerjakan bagian-bagian yang keteteran.
Jingga merasakan banyak pasang mata memperhatikannya dengan tatapan yang entah. Suara Mbak Intan yang memang keras itu tentulah didengar oleh mereka.
Sedikit malu dan merasa tak enak sendiri, Jingga segera beranjak dari Line dan pergi ke tempat cek bahan untuk mengabari Nindy dan Via mengenai apa yang disampaikan Bu Tutik tadi.
Sampai di sana, Nindy dan Via malah memberondongnya dengan laporan bahwa Mbak Intan baru dari situ mencarinya dan marah-marah.
"Ish, udah marah di sini juga, rupanya?"
"Udah, parah banget, suaranya itu loh, aku sampai malu banget didengar orang lain," ucap Via kesal.
"Sudah, cuekin aja. Lagi PMS kali, tuh. Aku juga habis kena damprat di Line. Kalian enak di sini penontonnya dikit, di Line rame gilaaaa, wkwkwk." Jingga balik curhat sembari pura-pura tertawa agar kedua temannya tidak terlalu mengambil hati sikap Mbak Intan dan tidak sampai mengganggu mood mereka dalam bekerja.
"Yuk, yuk, semangat kita!" Jingga bersorak pelan. Nindy dan Via pun terhibur dan mulai mengabaikan perlakuan Mbak Intan yang sebenarnya tadi sempat mengendorkan semangat mereka.
* * *

Komento sa Aklat (43)

  • avatar
    MardianaRina

    Ketika kita mengalami trauma yang sangat terpenting adalah menyendiri untuk memberikan waktu dan mengendalikan diri, juga ketenangan dan kepercayaan dalam dirinya untuk bangkit.

    04/02/2022

      10
  • avatar
    Qurratuainy

    sangat bagus

    23d

      0
  • avatar
    NazaMohd

    Naise

    28/05/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata