logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Lagi-lagi Miko

Sebuah pesan masuk di ponsel Jingga. Gadis itu membuka pesan dengan malas ketika tahu bahwa si pengirim pesan adalah sang mantan yang sangat dia benci. Sejak dulu, Miko memang tak pernah berubah. Selalu bersifat kekanak-kanakan dan akan melakukan apa pun untuk mencapai keinginannya meskipun itu menyakiti orang lain.
[Maaf, aku sibuk], balas Jingga.
[Aku tahu. Boleh ke rumah?]
[Nggak bisa baca? AKU SIBUK!!!!]
Dada Jingga bergemuruh. Rasanya sangat menyebalkan berurusan dengan laki-laki seperti Miko. Tanpa berpikir panjang, Jingga memblokir kontak Miko di aplikasi hijaunya. Sungguh, dia sangat muak dengan laki-laki yang pernah menyakitinya!
“Sialan, nih, cowok! Kamu kira aku nggak tahu kalau kamu yang nyebabin aku putus sama Angkasa, heh?” seru Jingga berapi-api sambil memandangi ponselnya.
Kemarahannya itu kemudian dia tuangkan dalam status WhatsApp. Dia mengatakan bahwa dia sangat kesal karena perbuatan sang mantan. Namun, sesungguhnya, jauh dalam lubuk hati Jingga, ada hal lain yang membuatnya marah, yaitu rasa kehilangan Angkasa yang begitu dalam.
Sejujurnya, dia belum siap betul jika harus berpisah dengan Angkasa. Kenyataannya, semua terjadi begitu saja. Entah mengapa, dia begitu emosi ketika melihat Angkasa bersama wanita lain saat itu. Dalam hatinya, dia menyesal karena telah melakukan hal yang buruk pada laki-laki yang masih dicintainya itu.
Waktu sudah menunjukkan pukul 14.30. Jingga bangkit dengan malas dari rebahnya, lalu bersiap untuk mandi karena satu setengah jam lagi dia akan bekerja.
Jingga memejamkan matanya, lalu mengguyur wajahnya perlahan ketika dia berada di kamar mandi. Sembari mengguyur, dia terus teringat kenangan-kenangan yang telah dia lalui bersama Angkasa.
Ada perih yang menyusup dalam hatinya ketika mengingat sosok laki-laki yang bersikap sangat dewasa itu. Andai waktu bisa diputar kembali, Jingga akan lebih memilih untuk tak berhubungan dengan Miko dan mengempaskan laki-laki tak bertanggungjawab itu jauh-jauh dari hidupnya.
Gadis itu kini duduk di dingklik[1] berwarna merah yang pernah dia beli bersama Angkasa. Kursi kecil itu seolah menjadi saksi bisu kenangan antara dia dan laki-laki berparas tampan itu.
Jingga tiba-tiba menangis, lalu mengguyur kembali wajahnya dengan air berkali-kali agar tangisnya itu reda. Nyatanya, penyesalan besar dalam hatinya tak juga membuat tangisan itu reda. Justru, makin dia mencoba menghapus kenangan bersama Angkasa, makin dalam dia mengingat itu.
“Jingga, masih lama?” Suara ibu dan ketukan pintu menyadarkan Jingga. Sudah lama sekali dia berada di kamar mandi.
“Su-sudah, Bu,” jawab Jingga sambil buru-buru menyelesaikan mandinya.
“Cepet dikit. Ibu kebelet!”
“Ya, Bu.”
Tak sampai lima menit, Jingga sudah muncul di hadapan ibunya yang terlihat menahan sesuatu. Gadis itu terkekeh kecil, lalu berjalan menuju kamarnya. Dia kemudian memandang cermin dan berdandan seperti biasa.
Waktu bekerja masih lama. Jingga merebahkan dirinya kembali di atas kasur. Dia mengambil ponsel dan membuka status WA yang tadi dibuatnya. Matanya terbelalak ketika mendapati sebuah nama yang melihat statusnya.
“Ang ... Angkasa ....”
Buru-buru Jingga meninggalkan status itu dan melihat-lihat pesan. Wajahnya seketika semringah ketika mendapati nama yang dia tunggu-tunggu itu di barisan pesan. Dengan jantung yang berdebar-debar, dia membuka pesan itu. Ah, Jingga bahagia sekali. Rupanya, Angkasa belum melupakannya.
[Hai, Jingga. Aku berharap kamu sehat.]
Tangan Jingga gemetar saking senangnya. Dia bahkan gelisah dan tidak tahu harus membalas apa. Ibu jarinya sejak tadi berputar-putar di atas layar ponsel. Jingga gugup,
[Oh, hai. Gimana kabarmu?]
Akhirnya, dia mengirimkan pesan balasan. Tak perlu menunggu waktu lama, Angkasa membalas. Mereka larut dalam percakapan lewat pesan sampai-sampai Jingga tak sadar bahwa dia sudah melewatkan bermenit-menit untuk perjalanan ke pabrik tempatnya bekerja.
“Mati aku!” seru Jingga ketika menyadari bahwa waktunya tinggal sepuluh menit lagi untuk masuk kerja.
Sementara, dia belum juga memanaskan motor dan melakukan perjalanan ke tempat kerja yang jarak tempuhnya kurang lebih memakan waktu 15-20 menit itu.
Sementara itu, Angkasa membuat janji temu dengan Miko menggunakan nomor Nindy, sepupunya.
“Nanti kalau kamu ketemu sama Miko, mau ngapain?” tanya Nindy yang hari itu berbeda sif dengan Jingga.
“Sudah, kamu nggak usah ikut-ikut. Biar aku urus.”
“Baiklah,” ucap Nindy menurut.
***
Lagu-lagu romantis nan syahdu mengalun lembut dari atas panggung. Suara seorang perempuan menyempurnakan musik itu. Di ujung kafe, Miko menunggu seseorang dengan wajah gelisah. Dia berkali-kali meminum jus jeruknya untuk menghilangkan kegelisahan.
Mata Miko memandang nyalang ke seluruh penjuru kafe. Takut jikalau orang yang dicintainya melihatnya bersama dengan perempuan lain. Nyatanya, apa yang dikhawatirkan Miko tak terjadi. Justru, tak berapa lama Angkasa sudah berdiri di hadapannya.
“Hai, Miko,” sapa Angkasa.
Miko tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Dia langsung berdiri begitu mendapati Angkasa. Kini, posisi tubuh mereka sejajar.
“Duduklah,” ucap Angkasa sembari duduk dan mempersilakan Miko untuk duduk juga.
“A-apa yang kamu inginkan?” tanya Miko to the point meski sebenarnya dia gugup dan sedikit salah tingkah.
Angkasa mencondongkan tubuhnya ke arah Miko, “Kamu ... mengejar Jingga lagi, kan?”
Miko tersenyum mengejek, “Oh, jadi itu yang ingin kamu tanyakan? Ya, lantas kenapa? Bukannya Jingga sudah putus sama kamu?” tanya Miko sambil mencondongkan tubuhnya ke arah Angkasa. Kini wajah mereka berdekatan. Mata mereka saling menatap dengan nyalang seolah mengintimidasi satu sama lain.
“Jingga memang sudah putus sama aku. Tapi, bisa kupastikan dia akan kembali lagi sama aku.”
“Jangan mimpi kamu, Angkasa! Dia akan tetap kembali padaku. Ingat, kamu hanya pelampiasan.”
“Apa kamu tidak sadar bahwa Jingga sudah memblokirmu?”
Dahi Miko mengernyit. Buru-buru dia mengambil ponselnya lalu membuka nama Jingga di aplikasi WA. Benar saja. Foto profil Jingga sudah tidak ada di sana. Masih tidak percaya, Miko mencoba mengirim pesan pada mantannya itu. Centang satu.
Miko panik. Dia kesal karena Jingga telah memblokirnya. Sementara, Angkasa tertawa puas.
“Hei, Miko. Percayalah padaku, Jingga tak akan kembali padamu lagi. Dia pernah bilang kalau dia sudah muak dengan tingkah lakumu yang toxic itu. Apa kamu tidak sadar bahwa kamu telah melukai hatinya?”
“Lantas, apakah Jingga juga akan kembali padamu? Kamu dan aku bernasib sama. Kita sama-sama mantan Jingga. Aku berani bertaruh bahwa Jingga tidak akan memilih salah satu dari kita.”
“Kamu kira aku terintimidasi dengan omonganmu? No! Asal kamu tahu, tadi sore aku baru saja berbalas pesan dengan Jingga dan dia memintaku untuk menemuinya sepulang kerja. Apa kamu tak paham apa artinya itu?”
Miko hanya terdiam. Jauh dalam lubuk hatinya, dia memang merasa bahwa Jingga tak mencintainya lagi. Akan tetapi, Miko tak akan begitu saja kalah bersaing dengan Angkasa.
***
 
[1] Kursi kecil tanpa sandaran

Komento sa Aklat (43)

  • avatar
    MardianaRina

    Ketika kita mengalami trauma yang sangat terpenting adalah menyendiri untuk memberikan waktu dan mengendalikan diri, juga ketenangan dan kepercayaan dalam dirinya untuk bangkit.

    04/02/2022

      10
  • avatar
    Qurratuainy

    sangat bagus

    20d

      0
  • avatar
    NazaMohd

    Naise

    28/05/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata