logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 11. Kuhajar kau!

Tiba-tiba bayangan saat melihat suamiku yang sedang bercumbu dengan wanita lain melintasi otakku, hingga membuatku berkali-kali mengerjapkan mata.
Kuusap wajahku dengan kedua telapak tanganku secara kasar. Kuhela napas panjang dan kukeluarkan dengan kasar. Berharap kewarasan otakku segera datang. Aku mendengkus kesal.
Saat Mas Prabu sedang berjalan, Sesil langsung memeluk lengan lelaki yang masih bergelar suamiku itu dari arah belakang.
Perih, dan sesak. Itulah yang kurasakan saat ini, melihat Mas Prabu bermesraan dengan wanita lain, di depan mataku. Apalagi senyum merekah tercetak dengan jelas di bibir lelaki yang masih sah menjadi suamiku.
Apakah aku cemburu?
Tidak! Ku tegaskan, aku tidak cemburu, walau setitik!
Jujur, sedikitpun sudah tak ada rasa cinta untuk Mas Prabu. Bahkan, namanya yang sempat bertahta di relung hatiku. Kini, sedikitpun tak tersisa. Cinta yang pernah ku persembahkan untuknya, telah terkikis oleh kekecawaan yang ditorehkannya. Tapi entah kenapa, rasa sakit dan perih masih terasa.
Aku diam membeku. Mataku menatap kedua manusia itu dengan pandangan nanar.
Mereka terlihat menghentikan langkahnya, pandangan mereka saling bertemu. Bahkan, bibir mereka saling melempar senyum.
Dadaku berdesir dengan hebat. Kukira Mas Prabu melakukan semua itu karena efek dari obat yang diberikan wanita ular itu. Tapi dugaanku salah. Melihat sikap Mas Prabu yang begitu hangat dan berubah seratus delapan puluh derajat, membuatku yakin, kalau Mas Prabu sudah benar-benar jatuh kepelukan Sesil.
Aku tersenyum getir. Ternyata secepat itu Mas Prabu berpaling dariku.
"Kamu udah mandi, udah keramas?" tanya Sesil sambil melirikku dengan sinis. Oh, ternyata wanita itu dengan sengaja memang ingin memanasiku?
Tunggu!
Apa yang ditanyakan ya tadi? Kamu udah mandi, udah keramas?
Ck, apa matanya itu buta? Lelaki pujaannya berambut basah, tapi masih memberikan pertanyaan yang begitu b*d*h.
Terlihat tangan lelaki itu terangkat, dan berhenti disamping kepala Sesil. Dengan lembut, jemari lelaki itu menyibak anak rambut Sesil yang sedikit menutupi wajah ayu itu.
Lelaki itu mengangguk dan tersenyum. Tiba-tiba Sesil mengecup pipi Mas Prabu.
Si*l, ingin kututup kedua mataku, tapi pemandangan itu sudah terlanjur terlintas di mataku.
Apa aku dosa menyaksikan hal seperti itu?
Tuhan, maafkan aku. Aku tak sengaja.
"Aku pulang dulu, ya."
"Iya, kamu hati-hati, ya," sahut sang durjana lalu mengecup dengan lembut kening sang durjana wati.
Tanpa sadar, jemariku mengelus keningku. Hal seperti itulah yang sering kali dilakukan oleh Mas Prabu saat berdua denganku. Tapi kini, ia melakukan itu bersama wanita lain.
Ck, kenapa dada ini terasa semakin sesak.
Berharap kewarasan otakku segera kembali, setelah melihat pemandangan tak lazim itu membuat otakku semakin g*la.
"Gimana? Kamu masih berniat ingin mempertahankan rumah tanggamu?" Tiba-tiba suara tak asing berbisik di telingaku.
Aku menoleh. Ternyata benar dugaanku. Ibu mertuaku lah yang berbisik.
"Tenang saja, Bu. Setelah kuselesaikan tugasku, aku akan pergi dari sini. Tanpa di perintah sekalipun! Aku sudah jijik dengan anak lelakimu!" bisikku dengan penuh penekanan lalu melenggang pergi. Aku tak peduli dengan adegan apa lagi yang akan mereka perbuat. Bahkan, jika Sesil akan bermalam di rumah ini pun aku juga tak peduli.
Hati ini sudah membeku. Aku telah mati rasa.
*******
Kurasakan ada tangan kekar yang menyentuh dengan lembut tengkuk leherku. Deru napas terdengar memburu. Hembusan napas terasa begitu hangat menerpa wajahku.
Apa aku sedang bermimpi?
Tangan kekar itu? Aku hapal betul, sentuhan ini milik tangan siapa.
Lelakiku? Lelakiku telah kembali.
Tuhan, apa ini nyata? Atau aku hanya bermimpi?
Bagi siapapun, jika aku sedang bermimpi, tolong bangunkan aku! Jangan biarkan aku hanyut ke dalam mimpiku.
Ku buka mataku secara perlahan. Belum sampai terbuka dengan sempurna, kedua netraku mampu melihat Mas Prabu yang sedang menatapku dengan sayu.
Bibir lelaki itu tak hentinya mengecup seluruh wajahku, bahkan tak ada yang terlewat satu centi pun. Hingga akhirnya, bibir itu berhenti di bibirku.
Bibir kami saling menyatu. Sesaat, aku terhanyut dalam permainan suamiku. Sentuhan, ciuman, aku merindukan semua itu. Bahkan aku menginginkan lebih dari itu.
Aku hanyut dalam sentuhan lelakiku. Deru napas kami saling memburu , hingga mampu memecah keheningan malam.
Kupejamkan mataku. Tiba-tiba bayangan saat melihat Mas Prabu sedang bercumbu bersama Sesil melintas di pelupuk mataku.
"Ugh," kudorong tubuh kekar itu.
Mas Prabu mengerutkan kening. Napasnya tersengal.
"Kenapa, Sayang?" ucapnya dengan suara serak.
Aku langsung berdiri. Dengan cepat, aku langsung turun dari ranjang. Mas Prabu menatapku dengan tatapan tajam, bak singa yang ingin menangkap mangsanya.
Segera kukancingkan baju yang telah terbuka semuanya.
Ah, kenapa aku tak merasakan saat Mas Prabu telah berhasil melepas kancing bajuku? Apa saking pulasnya aku tertidur?
Mas Prabu berjalan menghampiri.
"Stop!" teriakku yang membuat langkahnya terhenti.
"Ayolah, Fa. Apa kamu tak merindukan ku? Apa ayah dari anakmu telah memberikanmu kepuasan?" ucapnya dengan napas masih memburu. Hasrat masih menguasai dirinya.
Ia berjalan kearahku. Aku mundur.
"Stop, Mas! Jangan mendekat!"
Mas Prabu tak mengindahkan ucapanku. Ia terus berjalan kearahku. Dengan dada berdebar, aku melangkah mundur.
"Ayolah, Sayang. Sekali saja!" Nada suara itu masih terdengar serak. Terlihat sekali kalau lelaki itu sedang dikuasai napsu. Apakah obat yang tadi diminumnya masih beraksi?
Jantungku terpacu lebih cepat saat tubuhku sudah menabrak dinding.
Brugh!
Tiba-tiba Mas Prabu langsung berhambur memelukku.
"Lepaskan, Mas!" teriakku dengan berusaha menjauhkan tangannya yang semakin ganas mengger*yangi tubuhku.
"Lepas!"
Mendapatkan perlawan dariku bukannya membuat ia berhenti, tapi semakin bersemangat. Napasnya tersengal-sengal.
Ayo, Syifa! Lakukan sesuatu!
Kuhentikan perlawananku.
1 detik.
3 detik.
10 detik.
"Ugh!"
Tubuh kekar itu terjengkang. Tangannya mengusap pusaka yang mendapatkan serangan dari lututku. Ugh, Mungkin rasanya sakit sekali.
Aku tersenyum sinis, Mas Prabu meringis kesakitan.
"Kenapa kau lakukan itu, Fa? Aughh ... sakit, Fa!" ucapnya dengan suara tertahan.
"Sudah kubilang, jangan mendekat! Kenapa kamu mau memperkosaku, ha?"
"Kamu istriku, Fa! Aku masih memiliki hak atas tubuhmu!" ucap lelaki itu dengan geram.
Aku mencebikkan mulut. Wajah tampan itu berubah merah padam.
"Tapi sayangnya, aku tak menginginkan tubuhmu. Bahkan sentuhanmu, pun, aku merasa jijik!" Kukeluarkan emosi yang sempat tertahan di ubun-ubun.
Mas Prabu mengerutkan kening. Sepertinya ia sedang berpikir keras. Mas Prabu berusaha berdiri. Tangannya mengelus b*kongnya yang mungkin saja terasa sakit.
"Kamu cemburu karena tadi kucium kening Sesil? Aku hanya melakukan itu saja, Fa! Nggak lebih!"
Aku tersenyum sinis. Apa yang dikatakannya tadi? Hanya sekedar mencium kening? Wow, mungkin dia tak tahu kalau aku sudah melihat kebusukannya di depan mataku.
"Ayolah, Fa!" Raut wajah lelaki itu penuh permohonan. Mas Prabu terlihat mulai melangkah mendekatiku.
"Stop! Berhenti! Maju selangkah saja, jangan salahkan aku jika kutendang lagi pusakamu!" ancamku menatap tajam tepat di manik mata suamiku.
"Fa ... kenapa kau segitu marahnya denganku? Padahal kesalahanku tak sefatal yang kau lakukan!" selorohnya yang membuat dadaku bergemuruh hebat. Emosi mulai menyerang diriku.
"Keluar dari kamar ini, Mas! Sebelum kuhajar kau!" bentakku dengan melotot sempurna.
Mas Prabu berdecak kesal. Ia keluar dari kamar meninggalkanku yang sedang dipenuhi rasa amarah.
"Kamu hamil anak orang lain aja aku bisa nerima. Lah, kesalahan yang kulakukan nggak ada sepucuknya, tapi marahnya kayak gitu. Dasar, lebay banget jadi perempuan!" umpat lelaki itu sambil tangannya membuka pintu kamar. Lelaki itu benar-benar membuat emosiku semakin membuncah.
"Hey, atas dasar apa kamu bisa mengatakan itu, ha? Kau bisa tanyakan ke spesialis dokter kandungan manapun! Apa yang kuucapkan itu hanya suatu omong kosong belaka? Jika kau memang tak mau mengakui darah dagingmu, ceraikan aku sekarang juga, Mas!" teriakku lantang. Mas Prabu berhenti, lalu memutar tubuhnya. Pandangan kami saling beradu.
Dada ini terasa sesak, bagaikan ada bongkahan batu yang menindihnya.
Ia tersenyum sinis.
"Sok-sokan minta pisah. Mau tinggal dimana kamu? Tinggal dirumah selingkuhan mu? Nggak takut sama istrinya? Harusnya kamu bersyukur, aku masih mau menampung mu dirumah ini!"
Sungguh, harga diri ini terasa diinjak-injak.
Awas saja, Mas! Secepatnya aku akan keluar dari rumah ini. Dengan atau tanpa persetujuan mu.
"Ada apa sih, ini sudah larut malam. Waktunya istirahat, bukannya berantem!" cecar Ibu.
"Tau, tuh. Ganggu orang tidur saja! Biasa tinggal di hutan, Mbak?" ucap Mayang dengan sinis. Sesekali tangan itu mengucek matanya, mungkin rasa kantuk sedang mendera.
Tak kupedulikan ejekan dan juga cercaan dari mereka. Ku dorong tubuh Mas Prabu yang masih berdiri di ambang pintu. Kupegang daun pintu.
Brak!
Kututup pintu dengan keras.
"Dasar menantu nggak ada ot*k!" teriak Ibu. Aku hanya tersenyum puas saat berhasil membuat Ibu mertua emosi.
"Istri seperti itu masih kamu pertahankan, Prabu? Wanita nggak ada akhlak, nggak punya ot*k! Bisa struk Ibu jika terus-terusan dibuat emosi terus. Hiiiih ... secepatnya ceraikan perempuan tak tahu diri itu!"
"Iya, Kak. Kan udah ada Kak Sesil juga. Jauh segala-galanya dibandingkan wanita kampung itu!"
"Sudahlah, Bu. Aku mau tidur, capek!" jawab Mas Prabu.
Suara deru langkah semakin menjauh dari kamar. Mungkin Mas Prabu sudah berjalan kembali menuju kamar, meninggalkan Ibu yang terus nyerocos tiada hentinya.
Ingin sekali kuguyur tubuh ini. Membersihkan tubuhku dari bekas sentuhan tangan lelaki durjana itu. Tapi, kulihat jam menunjukkan pukul dua belas malam. Masih terlalu larut malam.
"Ah, lebih baik besok sebelum subuh kubersihkan tubuhku. Sebelum berbagai virus menempel dengan sempurna ditubuhku," ucapku.
Kurebahkan kembali tubuhku, kutarik selimut hingga menutupi sebatas dadaku. Kuharap kejadian ini tak akan terulang lagi.
Lambat laun, rasa kantuk kembali menyerang. Semakin lama, mata ini benar-benar terpejam.
Bersambung ya.

Komento sa Aklat (137)

  • avatar
    saputraIndri

    asli ceritanya baguusss bgt Thor 👍👍, real story aku bgt deh...😭😭 mudah²an hukum tabur tuai itu berlaku juga dikehidupan aku 😊 semangat terus yaa Thor untuk cerita² lainnya 💪💪💪

    31/07/2022

      0
  • avatar
    NiaGhofur

    wooowww amazing sekali cerita y,aku terharu BCA cerita ini bnyk pelajaran hidup,terima kasih author 🙏🙏🙏

    19/01/2022

      0
  • avatar
    InDrya ByYou

    kren novelnya author.makasih sama storynya.banyak banget pengajaran didalamnya,crdas banget authornya.bisa mengaduk2 emosi pembaca.sekali lagi terimakasih sudah menyajikan bacaan yg indah.sehat terus authornya..🤩🤩🤩

    11/01/2022

      1
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata