logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Delapan

Pram memandangi foto pernikahannya dengan Alena. Rasa cinta yang membuncah untuk Alena tergambar jelas di wajahnya. Ia menoleh ke arah Alena yang masih terpejam di bawah selimut. Pram duduk di tepi tempat tidur. Memandangi Alena lembut. Tangannya membelai pipi Alena penuh kasih.
Alena terusik. Matanya terbuka. "Sayang, belum berangkat?" tanya Alena sedikit serak.
"Sebentar lagi, aku sedang menikmati betapa cantiknya kau saat tertidur," sahut Pram.
Alena tersenyum lalu menggeliat. Kemudian ia menarik lengan Pram. Pram terjatuh di pelukan Alena. Keduanya saling berciuman. Bibir mereka berpagut lama.
"Aku harus segera pergi bekerja, Alena." Pram menghentikan aktivitas Alena yang sudah semakin memanas.
"Setengah jam saja, bercintalah dulu denganku," rajuk Alena. Ia melancarkan serangannya. Mengendurkan dasi dan Melepas jas yang dikenakan Pram.
"Ayolah, Lena. Aku benar-benar harus segera pergi bekerja."
"Semalam kau pulang larut. Aku rindu. Besok aku harus segera berangkat ke Perth. Aku takut nanti malam kau pulang larut malam lagi." Alena bersikeras.
Pram akhirnya menuruti keinginan Alena. Pagi itu ditemani sejuknya udara pagi dari balik jendela, mereka menciptakan kehangatan.
***
"Dua puluh langkah lagi aku sampai di kafemu, Rin." Liana menutup ponsel. Namun belum sempat Liana menyimpan kembali ponselnya, ponsel itu terlempar jauh karena Liana bertabrakan dengan seseorang.
"Ponsel! Aduh, ponselku!" pekik Liana pasrah melihat ponselnya hancur di kejauhan.
"Nona, lutut kaki dan lenganmu berdarah. Apa kau tak merasa sakit sama sekali?"
Pram berjongkok di depan Liana yang tergeletak miring meratapi ponsel kesayangannya yang hancur.
Pram memperhatikan wajah Liana yang sedikit tertutupi oleh topi. Liana masih belum sadar jika ia terjatuh. Pram mengerutkan kening. "Kenapa gadis ini mirip sekali dengan Alena?" gumam Pram menatap wajah Liana.
Liana tersadar dan meringis, meraba lengannya. "Aw, perih!" Kemudian ia menoleh ke arah Pram. "Hei, kau jalan pakai kaki dan mata!" seru Liana.
"Iya, maaf. Aku memang menabrakmu. Tapi kau yang tidak memperhatikan jalan. Kau sibuk dengan ponselmu," jawab Pram.
Liana kembali melihat ke arah ponselnya. Gesit ia bangkit lalu mengumpulkan bagian-bagian ponselnya yang berserakan.
"Ini, gara-gara kau ponselku hancur. Aku minta ganti rugi!" Liana kembali bergegas menghampiri Pram.
"Apa? Ganti?" Pram melongo.
"Iya, ganti rugi! Kau bisa belikan aku ponsel baru atau kau ganti dengan uang seharga ponsel ini saat aku beli pertama kali!" ancam Liana.
"Iya, iya. Oke, aku akan ganti ponselmu dengan keluaran terbaru. Tapi saat ini aku sedang terburu-buru. Ini kartu namaku. Kau bisa hubungi aku saat jam makan siang, oke!" Pram mengambil kartu nama dari dalam dompet lalu menyerahkannya pada Liana.
"Ini betul kartu namamu, kan? Bukan kartu nama palsu?" Liana bertanya sangsi.
"Kau bisa menemuiku di perusahaan yang tertulis di kartu itu. Bilang saja, kau sudah ada janji temu denganku. Maaf, aku benar-benar harus pergi!" Pram lekas berlalu tanpa peduli lagi dengan Liana yang masih saja sangsi.
"Lian!" panggil Ririn dari pintu masuk kafe."
Kau kenapa duduk bengong di pinggir jalan?"
"Ah, sial!" umpat Liana sambil membetulkan letak topinya yang miring.
"Ponselmu kenapa? Jatuh?" Ririn berjongkok setelah menghampiri Liana.
"Aku ditabrak salah satu pelanggan kafe-mu dan ponselku terlempar jauh, hancur begini jadinya. Bagaimana jika ada panggilan casting?" gerutu Liana.
"Lenganmu berdarah. Ayo, kita obati dulu! Kita bisa datangi laki-laki tadi nanti. Aku tak melihat insiden tabrakanmu tapi aku melihat siapa laki-laki yang tadi berjongkok di sini. Tenang saja, ponselmu pasti ia ganti!" Ririn memapah tubuh Liana masuk ke dalam kafe.
"Kau kenal dengannya?" tanya Liana meringis, lututnya mulai terasa perih.
"Aku tak mengenalnya tapi aku tahu dia siapa. Sudah tenang saja, ayo!"
***
Jam makan siang tiba. Liana dan Ririn berada di depan meja resepsionis.
"Laki-laki itu betul pemilik perusahaan ini, Rin?" Liana mengedarkan pandangan ke lobi PT. Adiwiguna Plast.
Ririn mengangguk. "Bagaimana, Mbak? Bisa segera bertemu dengan Tuan Pramudya Adiwiguna?" Ririn bertanya sekali lagi pada salah satu resepsionis yang baru saja meletakan gagang telepon.
"Mbak berdua bisa segera naik ke lantai tiga dan menemui Ibu Indriani, sekertaris Pak Pramudya," jawab resepsionis ramah.
"Baik, terima kasih!" Ririn segera menyeret Liana yang masih melihat-lihat area lobi.
"Kenapa harus bertemu dengan sekertarisnya? Kenapa tidak bertemu langsung dengan laki-laki itu?" Liana protes.
"Sudah diam, memang kau siapa bisa langsung bertemu dengan atasan perusahaan ini?" tukas Ririn.
"Aku orang yang ponselnya dihancurkan laki-laki itu!" Liana kembali merasa frustasi."
Awas saja kalau dia sampai tidak mengganti ponselku!" ancam Liana.
"Dia pemilik perusahaan ini. Dia bisa membelikan seratus buah ponsel untukmu kalau dia mau. Sudah aku katakan, kau tenang saja!"
Liana diam dengan wajah cemberut. Tak berselang lama, keduanya sampai di ruangan Indriani. Ririn menjelaskan kedatangan mereka ke sana.
"Silakan duduk, Mbak. Sebentar, ya!" Indriani mempersilakan Ririn duduk di sofa tamu. Sementara ia masuk ke ruangan Pram.
Saat itu Indriani tidak terlalu memperhatikan Liana yang memakai topi dan sedang melihat lukisan antik di seberang meja Indriani.
"Jangan cemberut saja!" Ririn menusuk pipi Liana dengan telunjuknya lalu mengajak Liana duduk.
Liana menjatuhkan diri di sofa. Tak peduli dengan ucapan Ririn.
Tak menunggu lama, Indriani keluar. "Mbak berdua dipersilakan masuk sekarang!"
Bersamaan dengan berakhirnya ucapan Indriani, telepon di mejanya berdering. Indriani bergegas mengangkat telepon dan sosok Liana kembali luput dari perhatian Indriani.
Di dalam ruangan Pramudya, Liana melihat-lihat seisi ruangan Pram dengan santai.
"Li, jangan norak. Duduk sini!" bisik Ririn setengah berbisik.
"Apanya yang norak? Aku hanya melihat-lihat isi ruangan pemilik perusahaan ini," ujar Liana tak peduli.
Ia berhenti dan terpukau saat melihat foto Pram dan Alena terpasang di dinding yang berseberangan dengan meja Pram.
"I, itu, perempuan itu? Kenapa mirip dengan wajahku?" gumam Liana keheranan.
Pram yang sedang fokus membolak-balik berkas belum juga membuka percakapan.
"Rin, sini!" Liana memanggil Ririn setengah berbisik.
Ririn hanya menoleh dan tak berniat menghampiri Liana.
Liana kembali melihat foto Alena. Menunjuk wajah Alena di dalam foto lalu menunjuk wajahnya sendiri. Kemudian kembali memanggil Ririn. "Rin, itu!" tunjuk Liana mengarahkan Ririn pada bingkai foto Pram dan Alena yang tidak terlalu besar.
Ririn memperhatikan foto tersebut lalu mengerutkan kening.
"Selamat siang, Nona-Nona! Maaf, aku baru selesai." Pram menyapa Liana dan Ririn.
"Wanita cantik di foto itu istriku. Kami baru saja menikah." Pram menjawab rasa penasaran Liana.
"Istrimu mirip sekali dengan . . . dia!" Ririn menunjuk Liana yang masih berdiri terpaku di depan foto Pram dan Alena.
"Pertama kali aku lihat gadis itu, siapa namamu?" tanya Pram pada Liana.
"Liana, namanya Liana!" jawab Ririn cepat karena Liana masih betah dengan keterpanaannya.
"Aku melihatnya di kafe baru di seberang jalan. Dulu kupikir dia adalah calon istriku. Tapi jelas sekali perbedaannya. Istriku wanita cantik yang modis dan anggun. Sementara Nona Liana, gadis cantik yang polos dan mungkin, agak sedikit ceroboh dan juga kekanakkan."
"Apa? Ceroboh? Kekanakkan?" Liana mulai terbangun dari keheranannya melihat foto Alena. "Kau sudah menghancurkan ponselku lalu seenaknya mengatakan aku orang yang ceroboh dan . . . ."
"Li, duduklah!" potong Ririn cepat. Ririn khawatir Liana akan mengacau dan niatnya minta ganti rugi ponsel tak akan terpenuhi.
Pram bangkit dari kursinya, ia menuju sofa dan duduk di hadapan Ririn. Liana mengikuti apa yang dikatakan Ririn, ia duduk di sebelah Ririn. Wajahnya semakin ditekuk.
"Oke, langsung saja. Berapa biaya yang harus aku ganti?" Pram berkata datar ke arah Liana.
"Aku beli ponsel itu dulu seharga tiga juta lima ratus ribu," jawab Liana lantang.
"Buka topimu," bisik Ririn.
Liana tak mempedulikan ucapan Ririn.
"Harus kubayar cash atau transfer" tanya Pram tetap datar, tanpa ekspresi.
"Terserah!" sahut Liana mengedikkan bahu.
Pram hendak berdiri namun Liana segera mencegahnya.
"Ini nomor rekeningku, aku minta transfer saat ini juga!" Liana menyodorkan secarik kertas yang sudah bertuliskan nomor rekening bank miliknya.
"Baiklah!" Tanpa banyak bicara lagi, Pram meraih ponsel dari saku dalam jas kerjanya, tak berselang lama, ia menyodorkan ponsel miliknya pada Liana.
"Silahkan periksa nomor rekeningnya, sudah berhasil aku transfer, Nona Liana Kintamani. Betul itu nama kepanjanganmu sesuai dengan nama akun rekening bank-mu?"
Liana melihat ke arah ponsel Pram namun ia terbelalak. "Sepuluh juta?"
"Belilah ponsel keluaran terbaru dan sisanya untuk biaya perawatan luka-lukamu. Maaf, aku sudah mengacaukan pagimu, Nona Liana!" sahut Pram.
Liana dan Ririn saling berpandangan.
"Urusan kita sudah selesai. Silahkan pergi, karena lima belas menit lagi aku harus menghadiri rapat dan aku belum makan siang!" Pram dengan tegas mempersilahkan Liana dan Ririn pergi.
Liana mendelik mendengar pengusiran halus dari Pram. Tanpa mengucapkan terima kasih, ia bergegas keluar ruangan.
"Terima kasih, kami permisi!" Ririn berpamitan.
Saat Ririn dan Liana keluar. Indriani melihat sekilas ke arah Liana. Ia sedikit mengerutkan kening melihat Liana dari samping namun teguran Ririn, membuat Indriani mengalihkan pandangannya dari Liana.
"Kami permisi, Mbak!"
"Silakan!" Indriani tersenyum ramah. Lagi, sosok Liana tak tertangkap jelas emiripannya oleh Indriani. "Gadis bertopi itu sekilas mirip Alena," gumam Indriani. "Ah, mana mungkin. Gadis itu berpakaian sopan dan sangat sederhana!" tepis Indriani lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya.
Di dalam lift, wajah Liana masih saja cemberut. "Sombong betul laki-laki itu. Berkata seenaknya tentangku, kenal saja tidak. Mengusir kita tanpa basa basi. Huh, orang kaya sombong macam dia kenapa bisa punya istri secantik aku?"
"Secantik kau? Memang kau istrinya? Sudah jangan marah-marah terus. Paling tidak dia sudah mengganti kerugianmu dengan jumlah uang yang berlebih!" tukas Ririn.
"Kenapa wajahku dan istrinya teramat mirip?" gumam Liana.
"Iya, mirip. Tapi berbeda. Dia terlihat elegant dan kau, kekanakkan memang. Betul yang dikatakan pemilik perusahaan itu tadi," ucap Ririn.
"Kau? Kenapa kau ikut-ikutan dia menjelek-jelekkan aku?" Liana protes.
Ririn hanya mesem, tak menjawab protes Liana. Pintu lift terbuka, Ririn melenggang tak mempedulikan tatapan Liana yang kesal padanya.

Komento sa Aklat (44)

  • avatar
    Mrbon Bon Michellina

    Good

    03/03/2023

      0
  • avatar
    Gusion

    bagus banget

    08/08/2022

      0
  • avatar
    FF ULEule gege

    makasih

    05/08/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata