logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Pengakuan Tiara

“Kalau boleh tahu, mantan suamimu itu pergi ke mana?” pancing Martha ingin tahu. “Masa dia sama sekali nggak pernah datang mengunjungi anak-anaknya?”
Tiara menggeleng pelan. “Dia menghilang begitu saja tanpa jejak, Mbak. Ada rumor dia dipenjara akibat tertangkap memakai narkoba. Juga ada yang bilang dia berhasil melarikan diri ke luar negeri. Entahlah, Mbak. Saya tidak tahu dan memang tidak mau tahu lagi. Begitu palu diketok hakim menandakan resminya perceraian kami secara hukum, saya mengambil keputusan untuk tidak berhubungan lagi dengannya. Tapi ternyata…ah, sayalah yang harus menanggung semua hutangnya pada Mas Rahmat.”
“Kenapa kamu tidak melaporkan orang itu pada polisi?” tanya Martha curiga. Ia masih menyangsikan kebenaran cerita perempuan itu.
Tiara tersenyum getir. “Saya terlalu takut pada ancamannya, Mbak. Saya tahu dia mempunyai kekuasaan yang besar. Lebih baik saya yang menderita daripada anak-anak saya yang terluka….”
Secara tak terduga wanita itu melepaskan kardigan yang kenakannya. Terlihat tank top hitam polos yang membungkus tubuh rampingnya. Martha terbelalak kaget. Kulit putih bersih wanita itu ternyata tidak mulus. Terdapat bekas-bekas luka di bagian bahu, lengan atas, dan ketika dia membalikkan badannya…terlihat punggungnya mempunyai lebih banyak lagi bekas goresan seperti dicambuk.
“Mbak lihat sendiri, kan? Betapa kejamnya laki-laki bernama Rahmat itu? Dia mempunyai kelainan seksual. Baru bisa mengalami kepuasan setelah menyiksa pasangannya. Orang itu seringkali berganti-ganti pasangan. Hanya saya yang masih bertahan di sampingnya. Demi anak-anak….”
Air mata jatuh bercucuran membasahi wajah Tiara yang mulus. Tak terasa mata Martha menjadi berkaca-kaca. Rasa iba mulai menggelayut dalam hatinya.
Sementara itu Tiara melanjutkan ucapannya, “Mas Lukman itu orang baik. Saya menyesal sekali telah memanfaatkannya. Tapi Tuhan ternyata tidak tinggal diam. Saya memperoleh hukuman. Meskipun hutang-hutang mantan suami saya sudah lunas, Mas Rahmat tak mau melepaskan saya. Kami tidak menikah. Dia memperlakukan saya sebagai budak seksnya. Imbalannya saya dan anak-anak diberinya kehidupan bergelimang harta. Anak-anak saya sekarang sudah remaja, Mbak. Begitu mereka lulus kuliah dan bisa hidup mandiri, mungkin saat itulah saya baru berani melarikan diri dari laki-laki jahat itu….”
“Aku menyangsikannya,” cetus Martha jujur. “Pada waktu itu kamu sudah menua dan terbiasa dengan kehidupan bersama laki-laki itu. Lebih baik kamu mengambil tindakan sekarang.”
Tiara menggeleng kuat-kuat. “Saya nggak sanggup, Mbak. Saya nggak punya keahlian apapun untuk mencari nafkah. Padahal saya ingin anak-anak saya memperoleh kehidupan yang baik….”
Martha menjadi emosional. “Lalu kamu pikir kehidupan mereka sekarang baik-baik saja? Apa kamu tidak mempertimbangkan perasaan anak-anakmu jika mengetahui ibu mereka disiksa oleh…pacar atau…entah bagaimana kamu menjelaskan status hubungan Rahmat denganmu.”
Wanita di hadapannya mendesah. “Di rumah kami ada sebuah ruangan rahasia yang hanya diketahui oleh saya dan Mas Rahmat. Di sanalah dia memuaskan nafsunya dengan melakukan penyiksaan pada saya. Itupun hanya satu bulan dua kali. Saya masih dapat menahannya, Mbak. Dan dia juga sudah memberiku krim obat untuk memulihkan luka dengan cepat. Ini bekasnya mash kelihatan jelas karena dia baru melakukannya tiga hari yang lalu….”
Perempuan ini sudah tidak waras, batin Martha prihatin. Bisa-bisanya masih membela laki-laki bajingan yang rutin menyiksanya dua kali dalam sebulan! Ccck, ccck, ccck….
Pembicaraan kedua wanita itu terjeda akibat kedatangan pelayan yang menghidangkan makanan pesanan mereka. Bubur ayam dan cakwe buat Martha dan mie ayam untuk Tiara.
“Kamu tinggal di mana sekarang?” tanya ibu Rosemary sembari meniup buburnya yang masih panas.
“Di Makasar, Mbak. Sebelumnya Mas Rahmat mengajakku pindah ke Toli-toli. Baru empat tahun terakhir ini kami menetap di Makasar karena bisnisnya berkembang pesat di sana.”
Tiara lalu mengambil sumpit dan menatap Martha. “Saya makan ya, Mbak.”
Martha mengangguk mengiyakan. Tiara lalu mulai menikmati mie ayamnya.
Sementara itu Martha memberanikan diri untuk bertanya, “Apakah bisnis Rahmat itu perjudian?”
Lalu disuapkannya bubur ayam ke dalam mulutnya.
Tiara menggelengkan kepalanya. “Semenjak meninggalkan Toli-toli, dia sudah tidak menjalankan perjudian lagi. Dia mencuci uangnya dengan membangun properti-properti di Makasar….”
“Jadi dia kini semakin kaya? Karena itukah kamu merasa berat sekali meninggalkannya? Dimana harga dirimu, Tiara? Kamu tinggal serumah dengan pria yang memanfaatkan dan menyiksamu!” seru Martha menjadi emosional. Tak terima rasanya mengetahui ada kaumnya yang merendahkan dirinya demi mendapatkan kehidupan yang berkelimpahan.
“Bagi saya ini adalah win-win solution, Mbak. Saya butuh orang yang berkuasa untuk melindungi dan menafkahi saya dan anak-anak. Dan dia butuh pelampiasan untuk penyimpangan seksual yang diidapnya. Jadi…ya sudahlah. Penderitaan saya sepadan dengan masa depan cemerlang yang akan didapatkan anak-anak saya.”
Martha menatap wanita itu putus asa. Tak ada gunanya memaksa orang memperjuangkan nasibnya kalau dia sendiri tak berniat melakukannya, batinnya kecewa. Tiba-tiba sebuah pertanyaan penting terbersit dalam benaknya.
“Kalau kamu sudah hidup nyaman dengan laki-laki lain, buat apa masih mengunjungi makam suami saya?” tanyanya ingin tahu. Digigitnya cakwe renyah di depannya.
Tiara menghela napas panjang. “Saya merasa bersalah dan ingin meminta maaf kepada Mas Lukman. Dia orang yang baik. Sebenarnya saya bermaksud mengunjungi makamnya satu kali saja, yaitu tahun lalu. Tapi entah kenapa tahun ini saya terpanggil untuk datang kembali. Barangkali…barangkali Tuhan bermaksud mempertemukan saya dengan Mbak Martha agar juga bisa memohon maaf….”
Lawan bicaranya tertegun. Tiba-tiba hatinya terasa hampa. Segenap kebenciannya pada perempuan ini seolah-olah lenyap begitu saja. Dia telah menuai apa yang ditaburnya, batin Martha dalam hati. Hidup disiksa oleh pasangan kumpul kebonya. Tuhan sungguh tidak tinggal diam. Segala hal di dunia ini mendapatkan keadilan pada waktuNya.
Seketika dia teringat pada anaknya sendiri yang akhir-akhir ini dimusuhinya. Rosemary juga sudah menuai apa yang ditaburnya, batinnya menyadari. Lalu kenapa aku masih merasa kecewa atas perbuatannya di masa lalu? Kalau aku bisa merasa kasihan terhadap Tiara…kenapa aku masih menghakimi anak kandungku sendiri?
“Ma…maukah Mbak Martha memaafkan saya?” tanya Tiara takut-takut. “Saya bersedia melakukan apa saja yang Mbak inginkan asalkan mendapatkan pengampunan.”
Spontan wanita yang duduk di hadapannya melontarkan pertanyaan yang selama sepuluh tahun terakhir menghantui pikirannya. “Apakah Mas Lukman pernah mengeluh tentang diriku padamu, Tiara? Apa kekuranganku sebagai istri sampai…sampai dia tega mengkhianatiku?!”
Bibir Martha bergetar hebat. Dadanya berdebar-debar. Pertanyaan itu sungguh menguras emosinya. Pertanyaan yang selama ini sangat mengusik jiwanya namun tak kunjung diperoleh jawabannya.
Tiara menunduk dalam-dalam. Seketika dia menjadi gelisah. “Saya…saya nggak enak mengungkapkannya, Mbak,” katanya gugup. “Seakan-akan saya membenarkan apa yang kami berdua lakukan. Padahal hal itu membuat Mbak menderita.”
“Bukan aku saja yang menderita,” cetus Martha geram. “Tapi juga ketiga putriku. Mereka terpaksa merasakan hidup susah gara-gara Mas Lukman bangkrut dan meninggal karena serangan jantung!”
“Ma…maafkan saya, Mbak. Sungguh saya menyesal…,” aku Tiara sambil terisak-isak.
Martha menghela napas panjang. “Sudahlah, jangan bertele-tele lagi. Aku akan memaafkanmu kalau kamu berterus terang. Lelah sekali rasanya aku hidup di dunia ini dengan pertanyaan penting yang masih belum kutemukan jawabannya.”
Tiara terdiam sejenak. Dia berusaha mengingat-ingat apa saja yang dulu pernah dikeluhkan Lukman Laurens mengenai istrinya ini.
Lalu dengan perasaan canggung dia berkata, “Seingat saya dulu Mas Lukman jarang membahas tentang Mbak Martha. Dia seringkali membangga-banggakan anak-anaknya, terutama yang sulung. Katanya anaknya itu kuliah di Surabaya karena mendapatkan beasiswa. Orangnya mandiri sekali dan bisa mengatur keuangan dengan baik. Nilai-nilai akademiknya selalu bagus dan bahkan berhasil memperoleh pekerjaan yang bagus di kota itu dengan usahanya sendiri….”
Martha tercenung mendengar penuturan wanita itu. Dia tahu dari dulu suaminya paling menyayangi Rosemary dibanding adik-adiknya. Mungkin karena dia anak sulung dan mewarisi banyak sifat ayahnya.
“Masa itu saja yang diceritakan suamiku padamu?” cetus Martha sangsi.
Tiara menyerah. Dia berkata dengan perasaan tidak enak, “Mas Lukman pernah bilang tidak suka dengan…ehm…maaf…sikap Mbak Martha yang suka berfoya-foya. Juga anu…Mbak suka mengomel panjang-lebar kalau orang lain melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan Mbak. Menurutnya, Mbak Martha orangnya perfeksionis dan terlalu menuntut orang lain berperilaku sesuai standar Mbak sendiri. Dia…ehm…seringkali merasa tertekan dengan hal itu….”
Praaang! Sendok keramik di tangan Martha tiba-tiba jatuh ke lantai. Seorang pelayan muncul dan memberikan sendok keramik baru pada wanita itu. Kemudian dia membersihkan pecahan sendok beserta sedikit bubur yang berceceran di lantai.
Martha sendiri masih ternganga dengan penuturan Tiara. Dia seolah-olah baru dibangunkan dari tidur yang sangat panjang.
***

Komento sa Aklat (70)

  • avatar
    Lahmudin

    rdg

    7d

      0
  • avatar
    RifqiMoch.

    ......

    24d

      0
  • avatar
    RobertErick kelvin

    bagus

    26/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata