logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Berbicara dengan Pelakor

Perempuan cantik berusia pertengahan empat puluhan itu tampak gugup melihat kehadiran Martha. “Ma…maafkan saya, Mbak. Saya tidak tahu kalau Mbak berada di Balikpapan. Saya dengar Mbak sekeluarga sudah pindah ke Surabaya dan nggak pernah datang kemari lagi. Ja…jadi saya memberanikan diri mengunjungi makam Mas Lukman setahun belakangan ini…,” jelasnya dengan suara terbata-bata.
Sorot matanya tampak ketakutan sekali. Keringat dingin mengalir deras dari pelipisnya. Dia sampai menyeka wajahnya dengan tisu.
Sikap Martha menjadi semakin garang. Dipandanginya wanita itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. “Penampilanmu masih mewah seperti dulu. Cuma pakaianmu sudah jauh lebih tertutup sekarang. Kelihatannya kamu sudah mendapatkan mangsa baru. Begitu suamiku meninggal dunia, kamu menghilang bagaikan ditelan bumi! Siapa sangka sekarang kamu bisa muncul di sini. Rupanya masih punya hati nurani juga.”
Tiba-tiba perempuan itu bersimpuh di depan kaki Martha. Dia menangis tersedu-sedu. Martha tercengang melihatnya.
“Apa-apaan kamu ini? Ayo cepat berdiri! Nanti dikira orang aku menganiaya dirimu,” serunya panik.
Dia teringat dulu pernah melabrak wanita ini di mal saat memergokinya sedang bergandengan tangan dengan Lukman. Dijambaknya rambut ikal coklat itu hingga terjadi keributan.
“Mbak Martha, saya mohon maaf atas semua kesalahan saya dulu. Sungguh saya berdosa besar telah menggoda Mas Lukman dan bahkan menjerumuskannya berjudi. Maafkan saya…maafkan saya….”
Isak tangis wanita itu yang tiada henti-hentinya membuat Martha tertegun. Mimpi apa aku semalam sampai bisa dipertemukan dengan pelakor ini? batinnya bertanya-tanya. Bahkan dia sampai bersimpuh dan menangis tersedu-sedu memohon pengampunanku!
“Sudah…berdirilah sekarang. Aku jadi nggak enak kalau begini. Kamu tunggulah sebentar di sebelah sana,” pintanya sembari menunjuk sebuah pohon rindang yang letaknya beberapa meter jauhnya dari tempat mereka berdiri. “Aku mau berdoa dulu di sini. Nanti kita bisa berbicara berdua setelah aku selesai.”
Wanita itu mengangguk mengiyakan. Dia lalu bangkit berdiri dan berjalan ke arah pohon besar yang dimaksud Martha. Sementara Martha sendiri mulai melakukan ritual menabur bunga di atas tanah makam dan menyiraminya dengan air mineral.
“Mas Lukman,” katanya di depan nisan sang suami. “Apa kabar? Maafkan aku baru menemuimu sekarang setelah tiga tahun pindah ke Surabaya. Anak-anakmu tidak bisa datang hari ini. Semoga tahun depan kami semua bisa datang kemari mengunjungimu. Ingatkah kamu bahwa hari ini Rosemary berulang tahun? Aku tidak menghadiri perayaan ulang tahunnya karena….”
Selanjutnya wanita itu mencurahkan segenap perasaannya di depan nisan sang suami. Dia merasa nyaman bisa bercerita panjang lebar tanpa ada yang menyela maupun menghakimi. Air matanya tumpah-ruah. Dia menangis tersedu-sedu.
“Tahukah kamu, Mas? Aku selalu bertanya-tanya kenapa kamu tega mengkhianatiku dengan perempuan yang berdiri di sana itu. Apa kelebihannya dariku sehingga kamu menurut sekali padanya dan menghancurkan keluargamu sendiri? Dia memang lebih muda dariku. Tapi toh, sudah janda dan mempunyai dua anak pula. Aku belum benar-benar memaafkan kesalahanmu dulu, Mas. Sebagaimana kesalahan Rosemary juga yang tadi kuceritakan padamu. Tapi…ah, bagaimanapun juga kalian adalah keluargaku sendiri. Separah-parahnya aku murka, dalam hati kecil ini sebenarnya masih tersimpan rasa sayang yang besar pada kalian….”
Wanita itu menghapus air matanya dengan tisu. Dia lalu menutup mata dan membuat tanda salib. Berdoa dengan sepenuh hati agar Bapa di surga menjaga almarhum suaminya dengan baik. Juga meminta petunjuk apa yang harus dilakukannya terhadap mantan kekasih simpanan Lukman yang kini tengah berdiri menunggunya tak jauh dari tempat itu.
Tak lama kemudian Martha selesai berdoa. Dia berpamitan pada almarhum suaminya. Selanjutnya wanita itu melangkah meninggalkan makam dan menemui musuh bebuyutannya.
“Namamu Tiara, kan?” tanya Martha sambil menatap tajam wanita itu.
Tiara mengangguk mengiyakan. “Benar. Rupanya Mbak Martha masih mengingat nama saya,” sahutnya sopan.
Lawan bicaranya tersenyum sinis. “Mana bisa aku melupakan nama seindah itu? Sayang sekali perilaku pemiliknya sama sekali tak mencerminkan keindahan nama itu,” sindirnya pedas.
Tiara mendesah. Sorot matanya begitu pedih. “Bisakah kita mencari tempat yang nyaman untuk ngobrol, Mbak?” pintanya hampir seperti memohon. “Ada beberapa hal yang harus saya jelaskan.”
Dahi Martha berkerut mendengar keinginan perempuan itu. Sejenak dia menimbang-nimbang. Lalu terlihat kepalanya mengangguk. “Baiklah, Tiara. Tapi aku yang menentukan tempatnya, ya. Dan aku tidak mau berada di dalam mobil yang sama denganmu. Ikuti saja mobilku dari belakang. Nanti kamu akan tahu tempat yang kupilih untuk berbicara denganmu.”
Perempuan di hadapannya setuju. Selanjutnya mereka berpisah. Melangkah masuk ke dalam mobil masing-masing untuk kemudian menuju ke tempat yang sama.
***
Martha rupanya memilih sebuah restoran Chinese food yang dia tahu sudah buka di pagi hari. Restoran itu mempunyai menu bubur ayam dan cakwe yang sangat lezat. Dulu Lukman sering membawa dirinya dan anak-anak ke tempat itu untuk menikmati sarapan di akhir pekan.
Dipilihnya tempat duduk yang terletak paling ujung dan terpencil sehingga bisa lebih nyaman bercakap-cakap dengan Tiara. Kebetulan hari itu tidak terlalu banyak pengunjung. Mungkin karena restoran sejenis ini sudah semakin banyak di Balikpapan sehingga konsumennya mulai merata.
Setelah memesan menu masing-masing, Tiara memberanikan diri untuk memulai pembicaraan. “Dulu saya memang langsung menghilang begitu tahu Mas Lukman meninggal dunia,” ucapnya mulai bercerita. “Saya takut sekali dipidana. Jadi terpaksa menurut saja ketika diajak Mas Rahmat pergi meninggalkan kota ini….”
Rahmat, cetus Martha dalam hati. Sepertinya aku pernah mendengar nama itu. Tapi lupa di mana. Apakah dia salah satu teman Mas Lukman yang juga suka berjudi?
“Mas Rahmat itu adalah bandar judi,” terang Tiara seolah-olah dapat membaca pertanyaan di benak lawan bicaranya. “Saya mengenalnya dari mantan suami saya. Dia gemar berjudi. Lalu menyeret saya ikut dalam kebiasaan buruknya itu.”
“Terus giliran kamu menjerumuskan suamiku juga!” tuduh Martha tanpa tedeng aling-aling. Emosinya mulai naik.
Tiara mengangguk mengiyakan. Air mata perlahan-lahan membasahi wajahnya. Martha geram sekali melihatnya. Air mata buaya! umpatnya dalam hati. Semoga pembicaraan ini cepat selesai. Aku tak tahan berduaan dengan orang ini. Pura-pura cengeng agar dikasihani. Sungguh menyebalkan!
“Saya dipaksa Mas Rahmat untuk mendekati suami Mbak. Dia tahu Mas Lukman orang kaya raya dan bisa digerogoti hartanya. Saya semula tidak bersedia melakukannya. Tapi akhirnya tak mampu berbuat apa-apa karena…karena hutang mantan suami saya begitu banyak dan Mas Rahmat menagihnya pada saya. Kalau saya tidak menurut, kedua anak saya akan dibunuh….”
Martha tertegun. Seketika perasaan iba bergelayut dalam hatinya. Tapi kemudian ditampiknya jauh-jauh. Aku tidak boleh percaya begitu saja pada pelakor ini, pikirnya waspada. Kisah yang diceritakannya seperti yang biasa terjadi di film-film. Siapa tahu dia berbohong. Jangan-jangan dia mempunyai maksud tertentu mengajakku bicara empat mata….

Komento sa Aklat (70)

  • avatar
    Lahmudin

    rdg

    7d

      0
  • avatar
    RifqiMoch.

    ......

    24d

      0
  • avatar
    RobertErick kelvin

    bagus

    26/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata