logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Mengunjungi Makam Lukman Laurens

Pada suatu malam Nelly berkata pada Martha, “Ma, tiga hari lagi Kak Rosemary kan berulang tahun yang ke-35. Itu pas hari Sabtu. Aku, Mas Damian, sama Mas Chris berencana mengadakan perayaan kejutan di panti. Mama ikut, ya?”
Ibunya itu mendelik. “Kamu meminta sesuatu yang sulit sekali Mama kabulkan, Nel,” cetusnya gusar. Tampak jelas dia sangat tidak menyukai ajakan anak bungsunya itu.
Nelly berusaha menyabarkan dirinya. “Lalu sampai kapan Mama akan memusuhi Kak Rose? Kasihan dia, Ma. Gangguan psikosomatisnya nggak sembuh-sembuh kalau begini terus,” ucap gadis itu prihatin.
“Memangnya Mama ini Tuhan, bisa menyembuhkan penyakit kakakmu? Itu semua terjadi akibat ulahnya sendiri, Nel. Salah siapa dia banyak berbuat dosa dulu? Sekarang juga berani-beraninya menentang Mama! Dasar anak durhaka!” maki Martha tak henti-hentinya. Aura kebencian tampak jelas membayang dari raut wajahnya.
Nelly sampai ngeri melihatnya. Gadis itu lalu berkata, “Kak Rose itu sudah berupaya semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakitnya, Ma. Periksa ke internis, terapi sama psikiater, ikut yoga, rutin meditasi, bekerja sosial di panti….”
“Dan belum juga sembuh,” sela Martha memotong kalimat putrinya. “Berarti hukuman baginya dianggap Tuhan belum cukup. Dosa-dosanya terlalu besar!”
“Mama!” seru Nelly tidak terima. “Mama kan orang tua kandungnya sendiri. Kok bisa setega itu mengutuk Kak Rose yang merupakan darah daging Mama sendiri!”
“Kakakmu juga tega menggugurkan darah dagingnya!” teriak ibunya histeris. “Kenapa Mama yang selalu disalahkan? Padahal kakakmu itulah yang telah melakukan banyak hal tercela dan merusak nama baik keluarga kita! Dia persis sekali dengan papa kalian. Persis!”
Mata Nelly mulai berkaca-kaca. “Kenapa Mama sampai sekarang belum bisa memaafkan Kak Rosemary? Dibalik semua kesalahannya, dia kan banyak berjasa bagi keluarga kita, Ma. Lagipula di dunia ini nggak ada orang yang sempurna. Aku juga bisa melakukan kesalahan. Mama juga.”
Dengan tegas sang ibu menampik ucapan Nelly barusan. Sambil berkacak pinggang, wanita yang mau menang sendiri itu berkata ketus, “Selama ini kesalahan yang Mama lakukan tidak pernah sefatal itu, Nelly! Nggak pernah Mama melakukan perbuatan yang mencoreng nama baik keluarga kita. Camkan itu. Jadi jangan banding-bandingkan Mama dengan kakakmu yang perilakunya tak ubahnya perempuan murahan yang dulu merebut papa dari kita!”
Sang putri mengelus-elus dadanya nelangsa. Sungguh dia tak mengerti kenapa ibunya ini selalu merasa dirinya yang paling benar. Mama orangnya keras sekali, pikirnya putus asa. Apa karena itu Papa dulu tidak tahan dan berselingkuh dengan perempuan lain?
Gadis itu mendesah. Menyaksikan putrinya tampak begitu sedih, Martha merasa kasihan juga. Dia lalu berkata, “Lagipula Mama sudah booking tiket pesawat dan kamar hotel di Balikpapan untuk dua malam. Berangkat dua hari lagi.”
Nelly terkejut. Dia bertanya keheranan, “Untuk apa Mama pergi ke Balikpapan?”
Ibunya tersenyum getir. “Hari ulang tahun kakakmu kan, sama dengan hari kematian papa kalian. Sudah tiga tahun ini Mama tidak pernah mengunjungi makamnya. Kali ini Mama mau pergi ke sana sekaligus menikmati suasana kampung halaman selama dua hari. Mama semula mau mengajakmu, Nelly. Tapi Mama ingat kamu kan baru saja mengambil cuti. Jadi ya akhirnya Mama memutuskan untuk pergi sendiri ke Balikpapan,” jelas Martha panjang lebar.
Gadis di hadapannya menghela napas panjang. “Ya sudah Ma, kalau begitu. Hati-hati ya nanti di Balikpapan. Berangkat jam berapa? Biar Nelly antar ke bandara.”
Martha menggeleng. “Nggak usah,” tolaknya. “Kamu nanti bisa terlambat pergi ke kantor kalau mengantar Mama dulu. Biar Mama naik taksi online saja.”
“Mama kan bisa minta tolong Kak Rose?” pancing sang putri. Besar harapan gadis itu sang ibu menyetujui usulnya. Ingin sekali rasanya dia melihat Martha dan Rosemary akur lagi seperti dulu.
Martha mendengus kesal. Nelly merasa kecewa. Dia tak tahu harus bagaimana lagi membuat hati ibunya luluh dan memaafkan sang kakak tercinta.
***
Dua hari kemudian Martha berangkat ke Balikpapan. Dia sama sekali tak memberitahukan kepergiannya pada Rosemary. Putri sulungnya itu tahu dari Nelly. Walaupun merasa kecewa diacuhkan ibunya seperti itu, Rosemary berusaha bersikap lapang dada dan tak mempersoalkan hal itu.
Paginya dia dan sang adik mengantar ibu mereka sampai di halaman depan. “Hati-hati di jalan, Ma. Kalau sudah sampai di Balikpapan, jangan lupa kasih kabar, ya,” ucapnya lirih.
Seperti yang sudah-sudah, kata-katanya tak diindahkan oleh Martha. Ibunya itu bahkan secara terang-terang hanya berpamitan pada Nelly. Ketika taksi online yang ditumpangi Martha meluncur meninggalkan rumah itu, Nelly berpaling pada kakaknya.
“Mama masih marah sama Kakak. Maafkan aku, ya. Belum berhasil membuat hati Mama luluh untuk berdamai kembali sama Kakak,” ujar gadis itu sendu.
Rosemary tersenyum. Dirangkulnya adiknya itu penuh kasih sayang. “Sudahlah, Nel. Kakak malah berterima kasih sekali kamu sudah berusaha keras meluluhkan hati Mama. Hanya saja…mungkin memang bukan kapasitas kita untuk melakukannya….”
“Lalu siapa yang bisa, Kak?” tanya adiknya masygul. “Bahkan Kak Oliv yang paling dekat dengan Mama pun nggak berhasil membujuk Mama untuk memaafkan Kak Rose.”
“Karena itulah, Nel,” ujar sang kakak lirih. “Kalau sudah tak ada manusia yang sanggup menaklukkan hati Mama, berarti hanya campur-tangan Tuhan yang akan berhasil melakukannya. Kita sudah melaksanakan bagian kita dengan baik. Sisanya biar Dia saja yang menyelesaikannya….”
Nelly manggut-manggut mendengar kalimat-kalimat bijaksana yang dilontarkan kakaknya itu. Semoga apa yang baru saja dikatakan Kak Rose itu segera menjadi kenyataan, batin gadis itu penuh harap.
***
Sesampainya di Balikpapan, Martha langsung pergi ke hotel. Dia puas sekali dengan kemewahan lobi hotel bintang lima tempatnya menginap. Kamarnya juga bagus dan cukup luas. Hotel itu memang sengaja dipilihnya karena belum lama beroperasi di kota itu. Jadi semuanya serba baru, wangi, dan sangat modern. Benar-benar sesuai dengan seleranya yang selalu menginginkan yang terbaik. Kedatangannya kali ini tak diketahui siapapun kenalannya, baik sanak-saudara maupun kawan-kawan lamanya.
Wanita itu benar-benar ingin menenangkan diri sendiri setelah hampir dua bulan melancarkan perang dingin dengan Rosemary. Pilihannya langsung jatuh pada kota ini. Kampung halamannya dan sekaligus tempatnya menapaki kehidupan rumah tangga yang bahagia bersama mendiang Lukman Laurens, ayah dari ketiga anaknya.
“Besok pagi saja aku mengunjungi makam Mas Lukman,” kata wanita itu pada dirinya sendiri. “Habis ini aku mau berjalan-jalan ke mal sekaligus wisata kuliner. Oh, alangkah rindunya aku dengan kota ini. Kota yang penuh kenangan dalam hidupku. Mas Lukman, sudah tiga tahun aku tak datang mengunjungi makammu. Apa kabarmu sekarang? Apakah kamu merindukanku dan anak-anakmu?”
***
Esok paginya Martha naik taksi online menuju komplek pemakaman umum dimana suaminya dikebumikan. Dia berkata pada sang pengemudi agar menunggunya hingga kembali dan mengantarnya ke tujuan berikutnya. Laki-laki muda berkumis tipis itu setuju. Dia lalu mematikan aplikasi pada ponselnya sehingga tidak menerima orderan lagi selama jasanya masih dibutuhkan oleh penumpangnya tersebut.
Begitu turun dari mobil Sigra berwarna silver itu, Martha harus berjalan kaki beberapa meter untuk sampai di makam suaminya. Alangkah terkejutnya dia melihat seorang perempuan berambut ikal panjang berwarna coklat tua yang tengah berdiri di depan nisan Lukman Laurens. Walaupun wajah orang itu tampak lebih tua dibanding waktu terakhir kali dilihatnya sepuluh tahun yang lalu, namun Martha masih mengenalinya.
“Kamu…kamu si pelakor itu!” teriaknya histeris. “Berani-beraninya datang kemari. Suamiku sudah lama mati. Dia nggak punya apa-apa lagi untuk kamu peras!”

Komento sa Aklat (70)

  • avatar
    Lahmudin

    rdg

    7d

      0
  • avatar
    RifqiMoch.

    ......

    24d

      0
  • avatar
    RobertErick kelvin

    bagus

    26/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata