logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 23

"Memangnya apa yang membuatnya marah?" Steve mengangkat alisnya. Merasa penasaran, di matanya, Helena adalah perempuan yang pendiam namun ramah. Pasti hal yang benar-benar besar hingga bisa membuatnya marah.
"Itu karena aku bertanya padanya, kenapa dia mau menyimpan barang yang kau beri itu, dari pada membuangnya." Dave menjawab dengan raut wajah dan nada bicara yang datar.
Steve berkedip sembari memproses ucapan Dave. "Huh?" responsnya.
Apa maksudnya? Steve benar-benar tidak mengerti.
"Dia tersinggung dan akhirnya marah," lanjut Dave.
Steve menganga. "Tunggu dulu, Dave. Memangnya kenapa kalau Helen menyimpannya dan tidak membuangnya?"
Bukannya pemberian seseorang itu memang harus disimpan, ya? Dan Steve juga memberikan gelas porselen itu bukan untuk dibuang.
Dave mengangkat bahunya. "Aku hanya iseng bertanya seperti itu."
Steve makin melongo.
Dave memang orang yang blak-blakan kalau bicara. Itu bukan hal baru dan Steve sudah terbiasa dengan itu.
Tapi Steve merasa ada yang kurang. Meski Dave orang yang blak-blakan, Helena itu bukan perempuan yang mudah terpancing dan marah. Dan juga, Dave hanya akan bicara saat ia perlu bicara.
Ini jelas berkebalikan dengan sifat Helena dan Dave.
Jika Dave bertanya seperti itu, Helena pasti akan balas mengatakan bahwa 'benda itu memang diberi bukan dibuang', seperti pikiran Steve sebelumnya. Jadi kenapa Helena bisa marah hanya karena hal sepele?
Steve menatap Dave curiga. "Apa kau yakin Helen marah hanya karena itu?"
Steve tidak lupa, jika sebelumnya Dave pernah menekan Helena, agar ia mau membatalkan pertunangannya dengan Steve.
Dave pernah memaksa Helena membatalkan pertunangannya dengan Steve.
"Tentu saja." Dave menjawab dengan tenang.
"Tapi Helen tidak akan marah hanya karena itu. Dave, kau masih menyembunyikan sesuatu?" tanya Steve lagi.
Hening. Dave tidak langsung menjawab, hal itu semakin menambah rasa curiga Steve.
Dave melihat ke bawah, ia tengah berpikir bagaimana merangkai kata yang tepat, karena ia harus menjawab pertanyaan Steve.
"Helena menyukaimu." Dave kembali mengangkat wajahnya. "Mungkin dia mencintaimu. Kau tau itu juga 'kan?"
Gantian Steve yang diam dan tidak langsung menjawab.
Tapi Dave tidak seperti Steve yang menunggu jawaban. Dave melanjutkan, "Singkatnya, aku berusaha menyadarkan dia. Kalau cintanya itu sia-sia."
Steve mengerutkan alisnya. Ia membalas, "Dave, itu keterlaluan."
"Aku tahu. Lalu apa? Kau mau menerima perasaannya? Tidak 'kan?" Alis Dave terangkat, saat ia bertanya pertanyaan yang memang tidak butuh jawaban.
"Aku memberinya benda, bukan berarti aku punya perasaan padanya juga. Helen juga pasti tahu hal kecil seperti itu," sahut Steve.
"Tentu saja. Tentu saja dia tahu. Dia sadar itu. Tapi Steve, dia juga tahu kalau kau memberikan benda itu saat kau teringat kekasihmu itu. Ingat, gambar bunga yang sama dengan nama kekasihmu." Dave masih menatap Steve dengan tenang.
Wajah Steve tampak serius. "Dave, kau yang memberitahunya?" tanya Steve.
Dave tidak menjawab dan memilih melanjutkan ucapan sebelumnya, "Dia cemburu. Karena itu dia marah."
Steve menarik napasnya. Ia lalu membuka mulutnya, "Helen tidak akan tahu nama Violet jika kau tidak memberitahunya. Dan apa ini? Semua ini hanya karena sebuah gelas?"
Dave mengangguk. "Aku tahu itu salahku. Dan benar, ini hanya karena sebuah gelas. Jadi lupakan pembicaraan aneh ini." Ternyata Dave juga merasa tidak nyaman meski raut wajahnya terlihat tenang sejak tadi.
Steve menghela napas, "Lain kali jaga bicaramu di depan Helen."
"Aku tahu. Tidak bisa kubayangkan jika dia tahu, bahwa kau juga terobsesi dengan Violet hingga suka mengunjungi Violet's Cafe setiap hari. Kafe milik keluarga Violet. Kau terobsesi dengan semua tentangnya."
"Dave." Steve memberi penekanan saat menyebut nama sepupunya itu. Seolah memberi peringatan.
Dave hanya melirik Steve dari sudut matanya. Steve memang orang yang peduli. Kalau ia jadi Steve, ia mungkin akan mengabaikan perasaan Helena.
"Tenang saja, aku tidak akan memberitahunya. Jangan marah begitu."

Dave mengalah saat melihat Steve yang tampak geram.
"Aku tidak mau usaha Helena dan aku, yang berusaha membuatmu senang dan tertawa, akan menjadi sia-sia hanya gara-gara kau marah padaku." Dave melanjutkan sembari mengambil pulpen di atas meja.
"Apa?" tanya Steve spontan. Ia merasa ucapan Dave melenceng dari pembicaraan.
"Helena dan aku sadar kau muram sejak selesai menerima telepon Violet. Makannya Helena membuatkan pie apel kesukaanmu." Dave memutar pulpen di telapak tangannya.
"Itu ungkapan terima kasih darinya," balas Steve.
"Kalau begitu kenapa harus kesukaanmu? Dia bisa memberikan sebuah benda atau apa pun itu yang ia mau. Karena kau juga memberinya benda yang kau sukai bukan yang dia sukai." Dave masih memutar pulpen di antara jari-jarinya.
"Lalu kau? Apa usahamu membuatku senang dan tertawa?" Steve menaikkan sebelah alisnya tinggi-tinggi.
"Kau lupa? Kau tidak ingat sudah tertawa begitu senang melihat kejadian yang menimpaku di dapur?" tanya Dave menatap datar Steve.
"Ah." Steve berkedip. Mengingat itu membuat Steve merasa ingin tertawa lagi. Tapi ia berusaha menahan tawanya.
"Jadi kau sengaja melakukan itu? Sengaja minta disiram sama Helen?"
Steve merasa bibirnya berkedut karena menahan tawa.
"Sengaja atau tidak, itu berhasil membuatmu tertawa." Dave lalu melemparkan pulpen di tangannya.
Ia mengembalikan pulpen Steve pada pemiliknya, yang sedang tertawa lepas sekarang. Steve tidak lagi menahan tawanya.
Sebenarnya Dave tidak menduga kejadian yang menimpanya itu,. Tapi ia memang sengaja mencari gara-gara, dengan membuat cipratan air ke wajah Helena.
Steve masih bisa menangkap pulpen yang dilempar Dave meski ia sedang tertawa. Ia tidak akan membiarkan Dave berhasil meluapkan rasa kesalnya.
Yeah, Steve tahu. Dave masih tetaplah manusia yang merasa kesal saat ditertawakan. Meski raut wajahnya tampak tenang sekarang.
*****
"Selesai." Helena menatap puas ke arah kanvasnya. Ia akhirnya telah berhasil menyelesaikan lukisan wajah Steve yang tengah tersenyum.
Setelah ia melihat Steve tertawa di dapur, Helena bisa melanjutkan lukisannya yang tak bisa ia selesaikan sebelumnya.
Ia melukis hingga tidak menyadari waktu makan malam telah tiba. Ia terlalu fokus pada dunianya sendiri. Karena itu Helena tersentak, saat ia mendengar sebuah suara di sampingnya.
"Sepertinya kau memang benar-benar, sangat menyukai Steve," sahut Dave yang entah sejak kapan berada di samping Helena. Ia saat ini tengah memperhatikan kanvas di depan Helena.
"Kau? Sejak kapan kau masuk?" tanya Helena terkejut. Ia sontak melihat ke arah pintu studio yang terbuka lebar.
Apa ia lupa menutupnya saat melukis? Kalau tidak, kenapa Helena tidak mendengar suara pintu saat dibuka.
Sepertinya memang ia lupa menutupnya tadi. Karena Helena pasti sadar jika ada yang membuka pintu itu.
"Sekitar sepuluh detik yang lalu." Dave menjawab dengan menundukkan sedikit kepalanya karena posisi tubuh Helena yang lebih rendah darinya, apa lagi Helena sedang duduk sekarang.
"Ada apa?" tanya Helena. Ia ingat perkataan Dave padanya saat memulai pembicaraan. Tentang ia yang menyukai Steve. Tapi ia sengaja mengabaikannya. Ia memilih bertanya tentang alasan keberadaan Dave di studionya.
"Tidak ada." Dave menjawab singkat lalu melihat ke arah lukisan Helena sekali lagi.
Helena menyipitkan matanya dan mengerutkan keningnya mendengar jawaban Dave.
*****

Komento sa Aklat (29)

  • avatar
    Tallu tondokFadly

    cerita ya menarik dan tidak membosankan

    1d

      0
  • avatar
    NuraeniAnisa

    lopyuuu deh buat novellah seruu bangetttt Makasih novellah aku jadi GK kesepian lagi makasih banyakk

    5d

      0
  • avatar
    Mera12

    suka dehh🤗

    20/01/2023

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata