logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Sebelas

Nameera tidak tau bagaimana cara menyikapi ungkapan perasaan Wahyu kemarin. Yang bisa dia lakukan hanya lari, menghindar saat mata nya tak sengaja bertatapan dengan Wahyu, menolak halus saat Wahyu ingin berbicara dengan nya. Nameera lebih memilih datang ke mushola fakultas daripada masjid, untuk menghindari Wahyu.
Tapi saat Dewi mengajak nya ke masjid untuk shalat dhuhur, Nameera tidak bisa menolak nya. Mereka datang paling akhir, saat suara istiqomah sudah terdengar. Wudlu lalu menjalankan shalat dengan khusyuk.
Nameera ingin cepat-cepat keluar dari masjid setelah shalat selesai, dia tidak ingin Wahyu datang dan berkesempatan untuk mengajak nya bicara. Nameera masih belum tau harus menjawab apa saat Wahyu menyinggung masalah kemarin.
Dia tidak menceritakan pada kedua teman nya, terlebih pada Annisa. Nameera tidak ingin Annisa lebih mementingkan diri nya daripada turnamen yang akan datang minggu depan. Nameera juga tidak ingin membuat kehebohan, takut orang lain akan mendengar nya saat bercerita dan akan di sebarluaskan ke seluruh kampus.
Nameera bukan nya percaya diri. Tapi nama dia dan Wahyu selalu di kaitkan tentang apapun itu. Saat mereka bicara, saat Wahyu menyapa nya, saat Nameera membalas senyuman Wahyu, bahkan saat Wahyu meminta nomor nya beberapa bulan lalu, mereka masih mengungkit nya.
Lagipula Nameera tidak ingin besar kepala dengan menganggap serius apa yang Wahyu ucapkan, walaupun dia selalu memikirkan nya beberapa hari terakhir.
“Terakhir aja, di depan masih rame.” Dewi berucap saat Nameera melipat mukena nya. Nameera menghela napas, dia mengangguk. Dewi keras kepala, tidak ada yang bisa menentang nya. Saat Annisa –teman dekat nya yang paling bawel- berdebat dengan Dewi, Annisa memilih mengalah.
“Gimana ujian kamu tadi?”
“Baik,.”
“Annisa bilang ke aku tadi, kata nya nanti ada latihan di rumah nya mas Wahyu. Minta kita buat ikut dia lagi.” Nameera mematung. Dia ikut, berarti dia akan bertemu dengan Wahyu. Nameera menoleh pada Dewi, hendak menolak saat Dewi bersuara lagi. “Nggak boleh nolak,.”
Dewi berdiri, meletakkan mukena nya di lemari lalu berbalik menatap Nameera. “Aku nggak tau kenapa kamu jauhin dia, cuman ini temen kita minta bantuan. Annisa cuman nggak nyaman kalau harus satu ruangan sama laki-laki yang bukan muhrim nya. Kamu nggak mungkin nolak kan?”
Dewi menyadari nya. Dan dia masih tidak bertanya apapun pada Nameera. Sifat dewasa Dewi memang sudah tidak diragukan, dia menunggu Nameera mengatakan nya sendiri, tidak mendesak nya saat ada masalah untuk diceritakan. Perempuan penyabar.
“Jam berapa?”
“Jam 1, setelah ini kita berangkat.” Dewi menjawab. Dia hendak keluar masjid, tapi langsung bersembunyi di balik pintu saat melihat Wahyu berdiri dengan perempuan bergamis di depan nya.
Nameera ikut berdiri, menyimpan mukena nya lalu berjalan di belakang Dewi. “Mas Wahyu?”
Nameera menyerngit saat perempuan itu bergerak maju dengan tangan terjulur, hendak meraih baju Wahyu namun gagal karena Wahyu melangkah mundur. Perempuan bergamis dan berjilbab lebar seperti itu, bagaimana bisa dia berani menyentuh laki-laki yang bukan muhrim nya? Terlebih dia sendiri yang berinisiatif untuk bergerak.
“Gila,.” Dewi bergumam. Nameera mendengar, enggan menoleh karena tatapan nya sudah terpaku pada Wahyu. Wahyu melepaskan kopiah yang dia pakai, menaruh nya di lantai. Tersenyum sekilas pada perempuan itu lalu berjalan cepat meninggalkan nya.
Dewi keluar dari persembunyian nya, duduk di teras lalu memakai sepatu nya. Nameera mengikuti dari belakang. Dia mendongak saat perempuan itu bersuara dengan nada sarkas. “Aku cuman mau benerin baju nya, dia langsung pergi gitu aja. Salah nya dimana?”
“Siapa suruh mau sentuh laki-laki yang bukan muhrim nya.” Dewi yang menjawab. Dengan suara pelan, tapi perempuan itu masih bisa mendengar nya.
“Kamu nggak negur temen kamu tapi malah negur aku?” Ana –perempuan itu- berjongkok di depan Dewi, tangan nya meremas kopiah yang tadi Wahyu taruh di lantai.
“Temen aku banyak. Siapa-“
“Dia.” Ana menunjuk Nameera. Nameera enggan merespon, dia membenarkan tali sepatu nya, berdiri dengan tas di punggung nya. Nameera tidak ingin memulai pertengkaran dengan hal yang tidak berfaedah. Tangan nya menarik lengan Dewi, meminta nya untuk berdiri dan bergegas sebelum Annisa mengomel karena terlambat.
“Temen kamu yang awal nya enggan ngobrol sama laki-laki, kemarin bahkan berani ngobrol berdua sama mas Wahyu. Yakin kamu nggak mau negur dia?” Ana berdiri. Dia menunggu reaksi Nameera, tapi Dewi yang lebih dulu menyerang nya. “Mereka ngobrol di koridor, banyak orang yang lewat, mereka juga nggak duduk satu bangku. Masalah nya dimana?”
“Mereka ngobrol. Berdua. Mas Wahyu emang duduk di lantai, tapi jarak mereka terlalu deket. Kamu nggak tau kalau hal kayak gini bisa bikin temen kamu jadi bahan omongan orang? Nggak beda sama cewek kebanyakan.” Dewi hendak melangkah maju, tapi Nameera menahan tangan nya. Meminta nya untuk tetap diam.
Nameera menarik tangan Dewi. Meminta nya untuk lekas berjalan. Dewi menurut, dia berjalan cepat. Lalu berbalik dan menghampiri Ana setelah mendengar kata yang tidak pantas keluar dari mulut Ana. Mendorong bahu Ana dengan telunjuk nya sambil menatap Ana tajam. “Bilang apa kamu tadi?”
“Murahan.” Nameera tercenung. Pertama kali dia di cela setelah satu tahun terakhir dan kata itu yang pertama dia dengar. Mata nya sudah berkaca-kaca. Dia masih diam saat Dewi menampar pipi Ana, mendorong nya lalu berlari mendekati Nameera.
Raut wajah nya terlihat khawatir. Dewi menyentuh pipi Nameera, menghapus air mata yang mengalir. “Jangan di dengerin!”
Tinggi nya yang tidak seberapa membuat Nameera mendongak, menatap Dewi. Tidak ada isakan, tapi entah kenapa air mata selalu jatuh di pipi nya. Nameera menunduk, menghapus air mata nya, menarik napas panjang lalu menghembuskan nya perlahan. Dia mendongak, tersenyum pada Dewi. “Nggak pa-pa. Ayo, nanti Annisa nyariin.”
***
Bohong jika Nameera bilang dia tidak memikirkan apa yang Ana katakan tadi, dia hanya menurut saat Dewi menarik tangan nya, meminta nya duduk di jok belakang motor nya. Annisa yang tadi menunggu di parkiran di buat kebingungan saat melihat Dewi menyeret tangan Nameera dengan raut wajah kesal.
Annisa tidak berani bertanya, jadi dia mengikuti motor Dewi dari belakang. Berbelok menuju rumah Wahyu. Anak-anak sudah ada disana, motor sudah terparkir rapi. Hanya saja Annisa tidak melihat mobil Wahyu disana.
“Mas Wahyu belum pulang?” Annisa bertanya. Menatap teman-teman nya yang duduk di teras depan. Arga berdiri, berjalan menuju gerbang, melongok kesana kemari. Lalu kembali duduk di tempat nya semula saat tidak melihat keberadaan mobil nya Wahyu.
“Belum. Aku telpon juga enggak di angkat.” Arga menjawab. Dia mengeluarkan ponsel nya, menyentuh layar nya lalu mendekatkan nya di telinga. Dia berdecak saat yang dia dengar hanyalah suara operator.
“Dia lupa kalau ada latihan mungkin. Lagian ini juga mendadak, siapa tau dia ada urusan.” Annisa menurunkan standart motor nya, duduk sambil menatap keluar gerbang.
“Aku emang nggak bilang ke Wahyu.” Rere mengaku. Membuat semua orang menatap nya beramai-ramai. Memandang nya dengan tidak suka.“Dia udah selesai ujian, mau kemana dia kalau enggak di rumah.” Rere beralasan. Membela diri dengan kikuk saat mereka menatap nya dengan pandangan jengkel.
Arga berdecak lebih keras. Dia berdiri, berjalan menuju Rere yang berdiri menyandar di pintu rumah. “Mbak, aku dari kampus terus pulang, diem di rumah nggak sampe 10 menit kamu ngumumin kalau hari ini latihan. Aku balik kesini lagi, mbak! Rumah aku jauh loh. Bensin nggak bisa di ganti pake air kencing!”
“Banyak orang yang sibuk juga. Banyak dari mereka yang bela-belain kesini selesai ujian. Karena apa? Omongan nggak bermutu kamu!”
“Tapi aku udah bilang ke dia tadi.” Rere mencicit. Tidak berani menatap mata Arga langsung. “Dia udah baca?”
“Belum.” Rere menunduk saat Arga memukul keras pintu di samping nya.
“Ga, jangan kasar sama cewek bisa?” Arga menoleh. Mendapati Wahyu berdiri di depan gerbang dengan helm hijau di tangan nya. Bapak gojek yang duduk di motor melongokkan kepala nya penasaran.
Suasana yang tadi nya canggung kini riuh saat Wahyu sudah datang, mereka berdiri sambil terus tersenyum. Wahyu berbalik, mengembalikan helm pada pemilik nya lalu memberikan nya uang. Menunduk sopan pada bapak gojek saat beliau mohon undur diri.
Wahyu mendekati Arga, menepuk pundak nya pelan sambil tersenyum kecil. Mengambil kunci rumah di saku celana nya, membiarkan teman-teman nya memasuki rumah nya terlebih dahulu.
Wahyu tidak melepaskan pandangan nya dari Nameera. Apalagi perempuan itu terus menunduk, menggandeng tangan Dewi yang berjalan di depan nya.
“Nam?” Wahyu memanggil saat dia berjalan di depan nya. Nameera tidak menggubris, dia tetap berjalan. Menghela napas, Wahyu berjalan cepat, berdiri di depan tiga perempuan dengan tangan yang terangkat. Meminta mereka berhenti.
Mata nya menatap wajah Nameera. Mata nya masih terlihat berkaca-kaca, hidung kecil nya memerah, pupil mata nya bergetar, lalu setelah nya dia berpaling. “Kamu nangis?” Wahyu bertanya dengan nada pelan.
“Ada apa?” Wahyu menatap Dewi saat Nameera tidak menjawab nya.
“Karena kemarin aku bilang suka ke kamu?” Annisa melotot, Dewi terbatuk pelan, Nameera memerah. Wahyu seperti tidak mempedulikan keadaan sekitar, dia berucap seenak nya tanpa memikirkan apa yang terjadi jika ada orang lain yang mendengarnya.
“Mas.” Nameera memanggil, memperingati. Mata nya melihat sekitar. Tidak ada yang melihat, hanya mereka berempat yang masih berdiri di depan pintu.
“Kalau begitu bilang, ada apa?” Wahyu bertanya sekali lagi.
“Nameera kena omongan orang, di katain yang enggak enggak tadi.” Dewi yang menjawab. Masa bodoh dengan Nameera, paling tidak Wahyu harus tau tentang ini. Biar laki-laki itu yang menangani masalah ini.
“Kenapa?”
“Karena kemarin kalian bicara berdua, terus ada yang gosipin enggak enggak tentang kalian. Nameera yang kena.” Dewi menepis pelan tangan Nameera yang menarik pakaian nya. “Aku nggak tau tanggapan kamu tentang Nameera. Tentu enggak baik kalau kalian bicara berdua aja, nggak ada yang bakalan negur kalau kalian sama sama khilaf.”
“Itu di koridor, banyak orang yang lewat. Lagian aku sama Nameera ngobrol nya enggak banyak, aku cuman nemenin dia dengan duduk di lantai. jarak nya jauh, orang gila mana yang sebarin gosip nggak jelas?” Wahyu menjelaskan. Dia merasa bersalah sekarang.
“Mas, bisa jaga jarak sama Nameera? Aku nggak mau ada gosip yang nggak bener tentang dia cuman karena kamu. Maaf kalau aku kasar, aku nggak bisa kalau liat Nameera jadi bahan olokan. Kalau mau bicara sama dia, paling enggak harus ada temen nya.” Dewi memberi saran.
Wahyu mengangguk, menyanggupi. Dia menunduk, berbisik pelan di dekat Nameera. “Jangan benci aku, oke?”
Nameera tidak menjawab. Wahyu bersuara lagi. “Oke?”
“Oke,.” Nameera menjawab. Dia menganggukkan kepala nya, berjalan saat Dewi menarik tangan nya menuju tempat kolam renang berada. Annisa mengikuti nya dari belakang, tersenyum sekilas pada Wahyu, bermaksud mengatakan baik-baik saja.
Wahyu hendak mengikuti mereka, dia menggosok lengan nya yang terasa dingin. Lalu saat mendengar suara salam ramai di pintu depan, Wahyu menoleh. “Assalamualaikum.”
Keluarga nya disana. Ayah, bunda, Raka –kakak laki-laki kedua nya-, kakek nya bahkan disini. Menatap sekeliling rumah nya dengan penasaran.
“Waalaikumsalam.” Wahyu menjawab, dia berjalan mendekati mereka. Menyalimi mereka satu-persatu dengan raut wajah bingung. Keluarga nya tidak memberitau jika mereka akan berkunjung hari ini.
“Mobil kamu enggak ada, tapi motor nya banyak. Aku pikir ada maling disini, apalagi pintu depan enggak di tutup.” Kakek nya bersuara, dia memeluk Wahyu dengan tangan yang menepuk punggung nya keras.
“Ban mobil aku bocor tadi, aku pulang pake gojek. Terus ngapain kalian kesini?”
“Jemput kamu, Henry bilang kamu enggak mau pulang. Aku bawa Raka buat paksa kamu masuk mobil nanti, jaga-jaga kalau kamu nggak mau pulang.”
“Aku ada niatan buat pulang nanti, cuman belum ngasih tau ke Henry.”
“Kamu ada tamu kayak nya. Aku udah beli oleh-oleh buat ke Jakarta tadi, ada di mobil. Kamu sama Raka bawa ke dapur, biar aku yang nyiapin buat tamu kamu.” Bunda tersenyum. Menepuk kedua anak nya lalu berjalan menuju dapur, hendak mencari keberadaan teman-teman Wahyu.
“Bun, temen aku lagi latihan. Camilan nya nanti aja kalau udah selesai.” Wahyu memberitau. Bunda hanya mengangguk sebagai respon.
“Latihan? Renang?”
“Tanggal 15 nanti mereka ada lomba antar kampus. Aku di tunjuk buat ngelatih mereka.”
Kakek melepaskan jaket nya, menaruh nya di ruang tamu. Lalu menyeret Wahyu dan Raka ke kolam renang. “Biar aku bantu, setelah itu kalian yang latihan.”

Komento sa Aklat (24)

  • avatar
    Amiey Liya

    jalan cerita yang menarik

    03/08/2022

      0
  • avatar
    HoolzcBlack

    bagus banget 👌

    3d

      0
  • avatar
    SantosoAditya

    sangat menarik untuk di baca

    09/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata