logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

7

" Jangan, dik," cegah Bang Yitno tegas.
" Jangan kenapa lagi bang ? Aku tidak suka dengan cara pandang mereka yang selalu melihat dari luarnya saja."
" Abang kan sudah bilang, biarlah itu menjadi urusan mereka. Terkadang orang yang tulus itu kita dapatkan saat kita di posisi bawah."
" Bang, walaupun abang di posisi tinggipun mereka tetap mencari kesalahan abang,". Aku mulai kesal dengan segala sifat mengalahnya itu.
" Dengar dik. Mungkin ini ujian pernikahan kita. Bisa saja lambat laun, kakak-kakakmu menyukaiku. Ujian pernikahan bermacam-macam dik. Dari mertua, ekonomi, dari pasangan bisa juga dari ipar. Tidak ada pernikahan yang sempurna itu,. Akan ada saatnya mereka juga akan tau dik"
" Tapi kapan bang ?"
" Diam lah jika kamu masih mampu bersabar. Tetapi jika diam mu tidak dihargai, bicaralah agar mereka diam,"
Aku mulai mengalah kala Bang Yitno sudah ceramah. Entah terbuat dari apa hingga hatinya sesabar itu.
Berjam-jam perjalanan ke rumah ayah hingga keringat turun sejagung-jagung membasahi baju ku. Sesampai disana ternyata kakak-kakak ku sudah sampai. Mobil mereka terpakir rapi berjejer. Bukan, aku tidak iri. Aku hanya benci mereka yang menghina Bang Yitno tanpa tau kebenaranya.
" Asalamualaikum,". Ku ucap salam bersamaan dengan Bang Yitno. Semua mata menoleh ke arah kami seraya menjawab salam. Ayah dengan senyumnya menyambut kami.
" Akhirnya kalian datang juga. Ayok masuk. Kita makan bareng-bareng,"
" Ih Sela kamu kok tambah hitam. Pasti kamu diajak ke sawah ya ? Itu sih akibatnya menikah dengan petani," kata Kak Dinda mencibir
" Dikaki gunung itu hawanya memang dingin kak. Makanya buat kulit agak gelap. Tetapi sekarang yang hitam-hitam itu lebih eksotis,"
Mbak Dinda mencibir ke arahku. Lalu ayah mendekatiku saat para suami sedang membakar ikan di belakang.
" Sela, bagaimana pernikahan kamu ? Bahagia ?"
" Alhamdulillah bahagia sekali ayah,"
" Jangan bohongi ayah Sela. Lihat kamu kesini saja bawa motor ulung. Mana bahagianya ?". Kak Oliv menyela.
" Memangnya kebahagiaan harus diukur dengan materi ya kak ? Kalau uang yang menjadi tolak ukur bahagia, Sela punya tabungan yang lebih dari cukup kok dari gaji-gaji Sela sebelumnya."
" Memangnya berapa sih nafkah yang diberikan Yitno sebulan ?" tanya Kak Mayang.
" Memangnya harus ya kak aku bicara ini ?"
" Kita kakak-kakak kamu Sel. Kakak takut kalau kamu tidak bahagia,"
" Lima juta,"
Semua melongo. Tampak kaget. Tetapi berbeda dengan ayah. Pembawaanya tenang. Sepertinya beliau sudah tau.
" Itu untuk satu tahun Sel ?"
" Sehari juga boleh. Bang Yitno tidak menargetkan sih. Kalu habis ya disuruh minta," jawabku songong. Sekali-kali sombong untuk menampar keangkuhan mereka ya bolehlah. Mereka hanya melengos sembari sesekali mencibirkan bibirnya.
" Tapi jangan dsalahgunakan kepercayaan suami, Nak." wejangan ayah.
" Enggak ayah. Sudah dua minggu cuma berkurang tiga ratus ribu. Itupun aku sudah beli kebutuhan banyak,"
" Ah masak ? Memangnya kamu tidak makan Sel ?"
" Makanlah kak. Beras sudah ada, sayur dan bumbu juga sudah ada. Tinggal petik. Jadi tinggal beli kurangnya saja," jawabku bangga.
" Sudah seperti kambing saja kamu Sel. Makan rambanan," kata Kak Mayang disambut gelak tawa dari kakak kakak ku yang lain.
" Itulah enaknya hidup dengan petani. Ayah jadi ingin main ke rumah kamu Sel. Menghabiskan masa tua disana mungkin berasa damai," kata Ayah penuh antusias.
" Jangan," larang kakakku bersamaan.
Aku dan ayah menoleh ke arah ketiganya dengan penuh tanda tanya.
" Di desa itu jorok ayah. Banyak bakteri. Nanti ayah justru sakit,"
" Memangnya disana aku tinggal dibawah jembatan kak ? Memangnya dari dulu aku betah dengan hal kotor ? Bukanya kebalik ? Bukanya dulu aku yang paling rajin diantara kalian ? Coba kalau kalian tidak punya asisten rumah tangga, mungkin rumah kalian sudah seperti sarang tikus," ucapku sedikit pedas. Andai Bang Yitno tidak melarangku menceritakan ini semua, sudah pasti aku pameri mereka.
..
*
Saat akan makan siang, semua memberi oleh-oleh buat ayah. Mereka berlomba-lomba seakan-akan mereka lah yang memberi hadiah paling mewah. Kebetulan hari ini memang ulang tahun ayah.
" Yitno, diam saja ? Tidak sanggup memberi hadiah kepada ayah ?"
" Sanggup kok mbak. Memangnya harus disini ya ?"
" Harus dong biar kami semua tahu kalau kamu tidak bohong,"
Mas Yitno mengeluarkan sesuatu dari tas lusuh nya. Sebuah kado kotak kecil yang dibungkus koran.
" Yitno, tidak salah kamu ? Segitunya tidak punya uang hingga bungkus kado saja dari koran," hina Mas Damar, suami Mbak Dinda.
Bang Yitno lagi lagi hanya membalas dengan senyum. Sebal juga melihatnya, kenapa dia tidak bilang kalau di bungkus koran. Tau begitu aku saja yang membungkus. Aku mendengkus kesal.
" Sudahlah tidak perlu diributkan. Boleh ayah buka sekarang ?" tanya ayah.
Kakak-kakak ku semua setuju. Karena mereka measa sudah memberi hadiah yang terbaik untuk ayah.
Ada yang memberi ayah sebuah arloji, pakaian branded, dan juga mesin pijat elektrik.
Tiba giliran kado Bang Yitno yang dibuka. Aku bersiap menutup muka. Pasti Bang Yitno memberi kado yang aneh-aneh...

Komento sa Aklat (696)

  • avatar
    Al azzamiFatih

    baik

    6d

      0
  • avatar
    Edwar Syalom Sangka

    menarik

    7d

      0
  • avatar
    Izzah afkarinaIzzah afkarina

    baik

    10d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata