logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Nine

"Kau mau ke mana?" tanya Anna sambil menatap Edwin.
"Itu bukan urusanmu!" sahut Edwin.
Edwin hendak keluar, tetapi Anna segera meraih tangannya.
"Apa kau hendak pergi menemui Karin?"
Edwin diam tidak menjawab. Anna berjalan masuk ke ruangan pria itu dan duduk di kursi.
"Kau mungkin lupa dengan yang terjadi. Karin pergi dari tempat ini bukan karena kau mengeluarkan dia. Seandainya dia ingin tetap di sini, dia bisa memohon untuk itu. Dia pergi karena ingin bersama aktor itu. Ia telah memilih aktor itu daripada dirimu," tutur Anna.
Edwin terdiam sejenak kemudian menggeleng.
"Aku yang mengeluarkan dia dari pekerjaan. Karin adalah orang yang keras. Ia tidak akan memohon padaku untuk pekerjaannya."
"Aku akan menemui dia sekarang dan meminta dia kembali," lanjut Edwin lagi sambil bergegas.
"Edwin!" panggil Anna.
"Apa kau tidak sadar Karin tidak mencintaimu? Dia mencintai aktor itu. Akulah ... aku orang yang mencintaimu."
Edwin berhenti melangkah. Ia menoleh dan menatap gadis itu kemudian menggeleng.
"Maaf, Anna, apa pun yang kaulakukan, aku tidak bisa mencintaimu. Aku tidak memiliki perasaan apa pun padamu."
Setelah mengatakan itu, Edwin kembali bergegas berlalu, meninggalkan Anna seorang diri. Gadis itu kemudian berderai air mata. Ia segera menghapus air mata tersebut dengan kasar.
'Tidak, tidak bisa seperti ini, aku tidak akan menyerah untuk mendapatkanmu, Edwin. Aku yakin kau akan bisa mencintaiku dan menjadi milikku,' ucapnya dalam hati.
***
Silvi melangkah membuka pintu setelah mendengar suara ketukan berulangkali. Ia tertegun saat melihat Edwin berdiri di ambang pintu. Senyumnya seketika lenyap. Ia tadi sempat menggoda Karin bahwa itu adalah Vian yang datang, tetapi ternyata malah Edwin yang datang ke rumah itu.
"Untuk apa kau datang kemari? Bukankah kau telah memecat Karin?" tanya Silvi dengan suara ketus.
"Aku minta maaf untuk itu, tapi aku sungguh tidak bermaksud memecat dia. Semua hanya salah paham," ujar Edwin. Raut pria itu tampak penuh penyesalan. Nada suaranya juga sama. Sejenak Silvi merasa tidak tega, tetapi ia kemudian menggeleng.
'Karin tidak boleh dengan Edwin. Lebih baik dia dengan Vian. Ia tampak begitu bahagia saat bersama Vian.'
"Bagaimanapun kau sudah memecat dia. Jadi tidak perlu untuk menemui dia lagi," ujar Silvi lugas.
'Benar, aku harus melindungi sahabatku itu. Melindungi agar dia dan Vian bisa bersama.'
"Silvi, siapa?" tanya Karin yang baru keluar dari kamar. Ia kemudian tertegun saat melihat Edwin.
"Edwin, ada apa kamu kemari?"
***
"Maafkan Silvi, dia memang seperti itu orangnya," ucap Karin. Ia tidak ingin bertemu Edwin, tetapi juga tidak tega untuk mengusir pria itu. Bagaimanapun Edwin pernah begitu baik padanya. Jika bukan karena Edwin yang percaya padanya dan memberi kesempatan, ia tidak akan bisa bekerja sesuai dengan cita-citanya. Pria itu pula yang selalu dengan telaten membimbing dia merancang dan menangani proyek-proyek yang ada. Utang budi semacam itu tidak mungkin dia abaikan begitu saja.
Silvi sendiri telah pergi ke kamar. Masuk dan menutup pintu. Kecewa karena Karin masih mau menemui Edwin, tetapi ia tahu bagaimanapun semua itu adalah keputusan Karin. Ia tidak berhak untuk terlalu ikut campur.
'Tapi bagaimana dengan Vian?' gumamnya dalam hati.
'Apa aku beritahu saja dia?'
***
"Aku kemari karena aku menyesal. Aku minta maaf telah memecatmu beberapa hari lalu. Karin, aku mau kau untuk kembali bekerja," pinta Edwin.
Karin terdiam sejenak kemudian menggeleng.
"Maaf, Edwin, tapi aku tidak akan kembali."
"Kenapa? Kenapa kau tidak mau kembali? Aku tidak akan lagi mengaturmu. Proyek manapun yang kau mau, kau bisa mengerjakan."
Karin hanya diam. Edwin segera meraih tangan gadis di depannya itu.
"Karin, kumohon, kembalilah bekerja padaku!"
"Edwin, aku tetap tidak bisa," ucap Karin.
"Perasaanmu padaku, perasaan Anna padamu, semua akan menjadi konflik jika aku tetap bekerja di sana. Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku tidak ingin mempersulitmu, Edwin."
"Karin, aku menyukaimu. Aku yang memilih untuk menyukaimu. Anna tidak bisa ikut campur untuk itu."
"Edwin, aku tahu, tapi saat masalah pekerjaan bercampur dengan perasaan pribadi, maka itu tidak akan bisa lagi berjalan baik."
Edwin diam mendengar ucapan Karin. Ia menggenggam erat tangan Karin seolah tidak ingin melepas.
"Edwin," tegur Karin pelan sambil menarik tangannya, tetapi pria itu tetap menggenggam erat.
"Karin, aku tidak mau kehilanganmu. Aku tidak bisa tidak melihatmu lagi di tempat kerja," pinta Edwin lagi.
"Edwin, aku tidak bisa."
"Kenapa? Kenapa kau tidak juga mengerti? Kenapa kau tidak juga menerima perasaanku? Aku tulus menyukaimu."
"Aku tahu kau tulus padaku, tapi aku tetap tidak bisa."
"Kenapa? Apa karena aktor itu? Apa kau begitu menyukai Vian?"
"Memang kenapa jika dia menyukai aku? Itu semua adalah hak dia. Karin berhak untuk memutuskan siapa yang dia sukai," ucap Vian yang datang dan langsung masuk ke rumah itu.
Vian kemudian melihat tangan Karin yang masih digenggam oleh Edwin.
"Lepaskan tangan dia sekarang!" gertaknya sambil melihat Edwin dengan tatapan mengancam.
Edwin perlahan melepas genggaman tangannya pada tangan Karin. Vian segera meraih tangan Karin dan menarik gadis itu pergi dari rumah. Edwin melihat semua itu dengan tatapan sedih.
***
"Kau ini mau bawa aku ke mana?" tanya Karin setelah Vian berkendara beberapa saat.
"Tidak ke mana-mana. Kita berputar-putar saja sampai kekasihmu itu pergi," sahut Vian.
"Edwin bukan kekasihku. Dia datang untuk meminta aku kembali bekerja, tapi aku tidak mau."
"Itu bukan urusanku, jadi kau tidak perlu memberitahuku."
"Baiklah, kita bicarakan hal lain. Kali ini untuk apa kau datang ke rumah?"
Vian diam sejenak. Ia tidak mungkin memberitahu Karin bahwa ia datang hanya karena mendengar kabar dari Silvi bahwa Edwin datang untuk menemui Karin. Ia yang sedang dalam perjalanan untuk mengurus urusan keluarga, langsung berbalik dan menuju rumah Karin secepatnya tanpa berpikir panjang.
"A-ku ...." Vian berdehem sesaat untuk meredakan kegugupan karena kebohongan yang dia buat.
"Aku kemari untuk proyek cafetaria itu. Proyek itu sekarang terbengkalai. Kau yang telah memulai, tentu kau harus menyelesaikannya."
"Aku tidak bisa. Proyek cafetaria-mu itu, kau harus mencari orang lain untuk mengerjakan."
"Tidak bisa!"
"Vian ...."
"Karin, aku serius dengan proyek itu. Karena itu, Karin, kau harus mengerjakan hingga selesai."
Karin hanya diam dengan tatapan lurus ke depan.
"Karin, aku janji tidak akan mempersulitmu lagi. Bangunan cafetaria itu terserah mau kau rancang seperti apa. Aku percaya padamu. Jadi kau bisa membuatnya, aku tidak akan lagi keberatan," ucap Vian lagi. Matanya menatap lekat manik mata Karin dengan penuh permohonan.
"Bagaimana dengan dendammu itu? Apa juga akan selesai jika aku selesai mengerjakan proyek itu?" tanya Karin setelah beberapa saat hanya diam.

Komento sa Aklat (85)

  • avatar
    Jung Jaehyun

    ceritanya bagus banget jadi ngebayangin apa idol juga begitu yaa di belakang layar punya kekasih dan bahkan punya anak ahhh lanjut dah thor kapan up nih ga sabar pengen tau kelanjutan nya

    26/01/2022

      5
  • avatar
    Feliya

    bagus banget . baru mulai udah suka . makin lama makin di buat penasaran dngn alur ceritanya ..

    14/07

      0
  • avatar
    Nenden Nur

    bagus bnget

    15/06

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata