logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

1. Ikuti Saja Alurnya

"Ca, kuliah dimana?"
"Enggak kuliah. Aku kerja,"
"Kerja dimana?"
"Belum dapat sih. Doakan ya, semoga dapat kerjaan secepatnya," Dan aku mengaminkan dalam hati atas apa yang aku ucapkan. Nyatanya selalu kujawab seperti itu kalo ada orang yang bertanya. Jujur sebenarnya aku benci kalo ditanya tentang masalah itu. Rasanya susah banget menjadi pengangguran habis lulus sekolah.
Mereka yang kedepannya punya niat untuk kuliah tidak pernah merasakan hal ini. Tinggal ongkang-ongkang saja menunggu ospek dimulai. Sementara yang berniat kerja, sibuk keluyuran mencari pekerjaan. Senang bukan main kalo cepat dapat kerja, apalagi yang sesuai dengan keinginan.
"Teman-temanmu banyak yang sudah kerja Ca?" tanya Ibu saat aku sedang mengambil makanan di dapur. Wanita itu sibuk dengan kegiatan potong memotong sayur.
"Banyak Bu," kataku lesu. Mood baikku mendadak berubah. Lagi lagi rasa nggak sukaku muncul setiap kali membicarakan tentang pekerjaan. Ditambah lagi ini yang bicara adalah Ibu, rasa bersalah campur rasa sedih mengerumuni perasaanku saat ini.
"Dimana aja Ca?" tanya Ibu lagi tanpa melihat ke arahku.
"Macam-macam Bu. Ada yang di konter HP, diller, toko. Paling banyak kerja di diller sih Bu," Itu yang kutau tentang pekerjaan teman-temanku sekarang hasil dari membaca laporan dimana mereka kerja yang pernah ditanyakan guru di grup alumni sekolah.
Sedih banget rasanya teringat kalo aku dengan terpaksa menjawab belum dapat kerja sementara temanku yang lain sudah gajian. Ada rasa malu juga, membuktikan kalo belum ada pihak yang mau mengajakku bergabung di usahanya.
"Susah Bu, zaman sekarang kerja tuh dari pagi sampai malam. Kalo nyari yang shift pun mesti ada jam malamnya," Salah satu alasan kenapa aku sulit mendapatkan kerja yaitu sulitnya menemukan kerja yang jam pulangnya sesuai dengan keinginan Ibu.
Dari sini aku tau, kalo Ibu adalah orang yang protektif kepadaku. Dia nggak mau kalo aku kerja berangkat pagi pulang malam. Maunya, aku berangkat pagi pulang sore. Mencari kerja dengan aturan jam kerja seperti itu hanya dengan bermodal ijazah SMK sama saja halnya dengan mencari jodoh untuk menikah denganku sekarang. Mustahil dan sulit. Kalo pun ada pasti tidak di dalam kota. Dan itu akan menjadi alasan kedua kenapa sampai sekarang aku sulit mendapatkan kerja.
Ibu melarangku kerja di kota orang. Memaksaku untuk tinggal saja disini, dan mencari kerja di kota sendiri.
"Gak usah kerja Ca," Bapak tiba-tiba datang dan ikut dalam obrolan.
"Bapak nggak nyuruh kamu kerja. Kamu mondok saja, gak usah cari uang. Ilmu yang kamu pelajari masih sedikit, apa gunanya hidup di dunia kalo cuma didedikasikan bukan mencari bekal akhirat,"
Aku ingin mewujudkan apa yang Bapak inginkan, tapi aku juga memikirkan kalo masuk pesantren itu tidak gratis.
"Pak, kita berdua udah tua. Biaya mondok itu gak sedikit, siapa yang bakal biayain kalo tenaga kita udah loyo kayak gini," Ibu menyerukan pendapatnya.
Alasan kenapa aku memilih kerja, karena keinginanku untuk kuliah tidak akan pernah terlaksana kalo terkendala biaya. Andai saja aku terlahir dari keluarga berada, aku pasti sudah ikutan ongkang-ongkang menunggu ospek an.
"Uang bisa dicari Bu. Allah udah ngatur rezeki kita, ngapain susah sih. Yang penting mau berusaha pasti ada jalannya,"
Kalo sudah begitu, aku memilih untuk pergi karena nggak kuat menyaksikan kejadian selanjutnya yang akan terjadi. Sekarang, aku merasa menjadi anak yang nggak berguna bagi orangtua. Yang cita-citanya ingin membahagiakan orangtua, tapi nyatanya malah menjadi beban keluarga.
Mengunci diri di dalam kamar, aku menangis tersedu, mecurahkan semua rasa yang kupendam agar ikut luruh bersama air mata. Sepiring makan siangku teronggok di atas meja rias, kuacuhkan. Mungkin saja nasi-nasi di piring itu ikut menangis sepertiku.
Andai saja, Ibu ada tapi tidak dengan sifat protektifnya, sudah pasti dari dulu aku merantau mengarungi pulau Jawa untuk mencari kerja. Kalo Ibu ada tanpa banyak aturan kerja, aku sudah ikut keja di diller motor bersama temanku. Menjadi SPG cantik berpakaian seksi tanpa memperdulikan dosa yang penting setiap bulan mengalir uang gajian.
Kalo sudah begitu, aku hanya bisa merutuki diri sendiri kenapa ditakdirkan terlahir di keluarga seperti ini. Banyak berandai-andai kalo saja aku terlahir dari keluarga yang netral tanpa haus agama, ataupun bahkan sama sekali nggak peduli agama. Nggak ada larangan, gak ada dosa, hanya ada kebebasan.
Dulu, waktu masih sekolah, ingin banget untuk segera lulus dan kerja. Sekarang, setelah lulus dan belum kerja, ingin rasanya kembali bersekolah. Setelah tau rasanya dunia kerja itu seperti ini, aku jadi setuju dengan perkataan kakak kelas, "Nikmati masa sekolahmu dek, enakan sekolah sumpah."
Sekarang menyesal karena sadar kalo masa itu gak bisa terulang.
"Caca"
"Ping,"
"Ping,"
Menghapus air mataku yang mengalir gak berguna, aku melirik notifikasi pesan Facebook yang tertera di layar handphone.
"Besok ikut ke sekolah kan? Ngambil ijazah."
©©©
Jiwa 'ngaret' ku ternyata masih berlaku meskipun sudah tidak lagi kugunakan saat masih sekolah. Janjian ketemu jam sembilan, nyatanya jam sepuluh masih ada di jalan. Yang jelas aku terlambat dan sialnya aku sendirian.
Teman temanku pasti sudah berkumpul di aula sekolah bersama anak-anak jurusan lain. Menginjakkan kaki di sekolah yang kutinggalkan beberapa bulan lalu, rasanya seperti kembali mengarungi memori masa putih abu-abu. Teringat tempat-tempat dimana dulu pernah terjadi peristiwa yang hingga kini membekas di kepala.
"Mas, mau ngambil ijazah juga?" tanyaku pada dua cowok yang berdiri di samping gedung aula. Mereka tidak mengenakan seragam sekolah, itu yang menjadi alasan kenapa aku bisa langsung menebak.
"Iya Mbak," jawab salah satu dari keduanya.
"Ikut masuk ya Mas, barengan," kataku.
Cukup lama tidak bertemu teman-teman rasanya rindu, tapi juga ada rasa malu. Malu kalo ditanya kerja dimana sementara yang menanyai memakai seragam kerjanya. Malu kalo aku yang ditanyai datang kesini karena menghabiskan waktu pengangguran, sementara mereka menyempatkan izin sebentar dari kerjaan.
"Caca," Panggil Ratna saat aku masuk ke aula yang ternyata sudah dipenuhi para alumni. Aku langsung memisahkan diri dari dua cowok tadi, dan menghampiri Ratna yang ternyata bergabung dibarisan teman kelasku yang lain.
"Hai gais...." sapaku kepada teman-temanku yang aktivitasnya terganggu akibat kedatanganku.
"Makin kurus aja lo. Tambah putihan juga, luluran pake apa?" Celetuk Ratna saat aku berhasil menghenyakkan pantatku di kursi sebelahnya.
"Pake bayklin,"
"Hah? Yang serius Ca? Pake bayklin bisa bikin kulit putih?" Lalin, temanku cewek yang duduk di depan kami mendadak menoleh kebelakang hanya untuk melontarkan pertanyaan yang sepertinya gak dibutuhkan jawaban.
"Janjian jam 9, setengah sebelas baru nyampe. Kemana aja lo,"
"Jiwa ngaret gue masih tertanam di tubuh yang suka rebahan ini Na,"
Ratna ini yang kemarin menggantikan tugas setan untuk merayuku agar datang hari ini. Kalo saja rayuannya gak maut, aku juga lebih memilih mendekam di kamar sembari scroll beranda Facebook.
"Udah dapat kerja apa belum Lo" tanya Ratna lagi. Aku merespon dengan gelengan lemah, lalu bersuara, "Lo ada info loker? Gue butuh kerja,"
"Lo kira gue koran?"
Menanggapi pertanyaanku yang serius dengan pertanyaan balik, membuatku mengerucutkan bibir. Cewek itu gak pernah bisa merasakan menjadi aku yang galau karena gak kunjung dapat kerja. Dia enak ongkang-ongkang menunggu ospek an.
"Capek gue Na, pengangguran di rumah mulu."
"Udahlah, nikmatin aja. Kalo nanti lo udah kerja, lo gak bakal bisa enak-enak rebahan santai di rumah. Santai bro, ikutin aja alurnya,"
Aku manggut-manggut setuju dengan perkataan Ratna. Perkataannya bisa diterima nalar. Melihat-lihat para teman kelasku yang hadir dengan berbagai macam penampilan, mengubah raut wajahku menjadi masam. Ada yang memakai seragam kerja dengan merk handphone terkenal, ada yang memakai seragam kerja warna merah merk kendaraan, ada juga yang berpakaian lusuh seadanya sepertiku karena kutau mereka juga masih pengangguran.
"Mau gue isiin apa lo isi sendiri?" tanya Ratna sembari mengangkat berkas di tangannya.
"Isi sendiri," jawabku sambil meraih berkas yang entah apa isinya.
Keningku berkernyit saat tau kalo ini adalah berkas laporan alumni yang berisi kolom-kolom berstatus apa mereka sekarang. Kolom bekerja, belum bekerja, kuliah, dan yang terakhir adalah kolom 'masuk ponpes'. Memilih jalan aman, satu centang kuberikan pada kolom terakhir.
Aku menghela nafas lega.
"Hah? Lo serius masuk pesantren Ca?" tanya Tata yang duduk di sampingku, setelah kuserahkan berkas yang sudah kuisi kepadanya.
"Iya, tapi gak sekarang," kataku santai.
"Serius? Modelan kayak lo masuk pesantren?" tanya Tata lagi. Temanku itu menggeleng tak percaya. Matanya menyusuri tubuhku, dari kaki hingga ujung kepala.
"Kenapa sih Ta, gue kan alim sebenarnya, cuma gara-gara temenan sama orang modelan kayak Lo, gue jadi amburadul,"
"Btw, tumben lo pake celana," katanya lagi sambil melirik ke kakiku yang terbalut celana jins biru pudar.
Aku meringis. "Iya dong. Aman, baju gue panjang soalnya,"

Komento sa Aklat (854)

  • avatar
    Puspita SariAlisa

    cerita ini sangat ser

    10d

      0
  • avatar
    Ivan Vandex

    ok ok ok ok ok ok ok

    11/08

      0
  • avatar
    RhmdtyScy

    menurut ku ini bagus tapi lebih ke terlalu panjang karna susah untuk di ikuti

    31/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata