logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Kasmaran

Tania tampak ragu-ragu. Sedari tadi dia bolak-balik, ingin mendekat tetapi sungkan.
Nero nampak serius sekali mengerjakan laporannya. Entah kenapa kali ini dia membawa semua alat kerja di ruang keluarga. Biasanya juga di dalam kamar.
"Om." Tania mendekati Nero yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya.
"Apa?" Nero menaikkan kacamatanya. Matanya masih terfokus di layar. Jika sudah banyak kerjaan begini, dia bisa lupa waktu.
"Om," rengeknya. Merasa dicuekkan, Tania berkali-kali mencolek bahu bahu Suaminya, meminta perhatian.
"Apa?! Ngomong aja, gak usah manja!" Nero masih mengetikkan sesuatu di keyboard. Dia sebenarnya tidak suka diganggu saat bekerja, bisa hilang konsentrasi. Apalagi kalau pengganggunya cantik begini, bisa buyar semuanya.
Wajah Tania langsung berubah. Bibirnya cemberut. Dia memilih diam saja, sambil menunggu selesai.
Nero tersadar. Dia sudah bersikap kasar. "Kamu mau apa?" Dia melepas kacamata, berbalik menghadap gadis itu.
"Ini." Tania menyodorkan sebuah brosur. Penerimaan calon mahasiswa baru sebuah perguruan tinggi negeri. Dia sudah melingkari kolom pada tulisan fakultas kedokteran.
"Kamu mau kuliah?" Lelaki itu menutup laptop, kemudian meletakkan kacamata di meja.
"Iya. Boleh, kan om?" Senyumnya terukir indah. Semoga saja Nero setuju. Dia akan merayunya sekuat tenaga.
"Om sih gak masalah. Tapi kamu harus ngomong ke papa dulu, ya."
"Kok izin papa? Kan kalau udah jadi istri harusnya izin sama suami aja." Tania menutup mulutnya. Dia keceplosan bicara.
Suami? Sejak kapan ini bocah sadar kalau dia suaminya? Lagipula dia belum menjadi suami yang sebenarnya. Dia belum mendapatkan haknya.
"Kalau papa pasti gak boleh." Tania mulai merajuk. Dia mengeluarkan jurus andalannya.
Nero tahu betul. Jika Bram tidak setuju atas kemauannya, Tania pasti akan merayunya untuk mempengaruhi papanya.
"Kamu udah bilang sama papa, belum?"
"Belum."
"Nah, kan, belum dicoba. Kok sudah langsung bilang gak boleh." Nero mengulum senyum. Sebenarnya dia juga sudah menduga, tidak ditanya pun, Bram pasti keberatan. Bukannya tidak mau putrinya menempuh pendidikan, tapi ada misi terselubung.
"Tapi nanti om temenin ketemu papa, ya. Aku malu." Gadis itu memilin baju. Matanya mencuri pandang ke arah suaminya.
"Malu kenapa?" tanya Nero bingung.
"Kan aku masih ngambek sama papa."
Bibirnya yang mengerucut itu membuat Nero gemas. Kenapa sekarang kamu jadi semakin cantik?
"Makanya kalau di telepon papa diangkat. Masa begitu sama orang tua sendiri." Dia menasehati. Anak seumuran Tania memang masih labil. Mereka belum tahu mana yang baik dan buruk, memang harus diarahkan. Kadang mereka berbuat semaunya, asalkan senang.
"Habisnya papa jahat. Papa maksa-maksa aku ni--" Hampir saja dia keceplosan lagi. Jangan sampai suaminya marah. Bisa gagal dia.
Nero tersenyum mendengar itu. "Yaudah nanti om temenin. Tapi kamu ngomong sendiri. Kalau papa setuju, om setuju aja. Asal kamu belajar yang rajin." Tangannya mengusap kepala istrinya. Sayang.
"Asyik. Kalau gitu, besok kita kerumah papa, ya?"
"Iya."
"Makasih, Om." Dia bersorak kegirangan. Sebuah kecupan mendarat di pipi Nero.
Lelaki itu tersentak. Jantungnya berdebar kencang. Padahal Tania hanya mencium pipinya, dan itu bahkan sudah biasa.
Nero tersenyum geli. Cium. Kata-kata yang dua tahun ini sudah tidak akrab lagi di telinganya. Bahkan aktifitas itu sudah tidak pernah dia lakukan. Dia telah berjanji di makam Saskia tidak akan nakal lagi setelah kepergiannya. Dia akan menjadi pria baik-baik. Dulu, sebelum menikahi Saskia dia memang suka berganti-ganti wanita. Tapi cintanya yang dalam pada almarhumah sang istri, membuat dia berubah.
Kecupan tadi cukup menyentaknya. Baru sadar bahwa dua tahun ini sebenarnya dia kesepian. Tidak pernah ada wanita yang singgah di hatinya sampai pernikahan dengan Tania terjadi. Beberapa wanita sempat menggoda. Tapi dia mengalihkan pikiranya dengan sibuk bekerja. Dan entah kenapa, sejak hubungannya membaik dengan Tania, dia merasa berbeda. Dia mulai memikirkan gadis itu. Membayangkannya. Memimpikannya. Hatinya mulai menghangat. Apalagi gadis itu sudah bertahun-tahun mengisi harinya, sejak dia masih kecil.
Apakah dia sedang kasmaran?
Tidak Nero. Kamu tidak boleh menyentuh Tania. Dia pasti akan membencimu lagi, batinnya berkata. Biarlah pernikahan kalian hanya status belaka. Sampai Tania benar-benar matang dan siap mengambil alih perusahaan papanya. Kamu cukup tahu diri. Kamu hanya diminta untuk menjaganya hingga masa itu tiba.
***
"Ehem." Suara batuk Bram memecah kesunyian.
Tiga orang itu duduk berhadapan. Tania memandang wajah papanya dengan sedikit segan.
"Jadi?" Bram memandang dua orang itu bergantian. Melihat raut wajah Tania yang kektakutan, dia ingin tertawa. Putri kecilnya ini, memang menggemaskan siapa saja.
"Paaa ... maafin aku." Suaranya memelas.
"Oh!" kata Bram singkat. Sengaja dia memasang tampang galak, ingin mengerjai anaknya.
"Mas, gini." Nero mulai menjelaskan. Kalau menunggu Tania bicara, sepertinya akan lama. Jadi dia berinisiatif mengambil alih. "Kami datang karena Tania ada yang mau dibicarakan sama papanya."
"Oh, ya? Masih butuh papa rupanya?" tanya Bram.
"Paaa ..." Gadis itu mulai merengek. Dia melirik suaminya berkali-kali, meminta bantuan, tapi lelaki itu menolak. Tania harus menyampaikan sendiri keinginannya.
"Sudah ngomong aja." Nero memberikan dukungan. Melihat wajah istrinya yang memelas begitu, dia tidak tega juga rasanya.
Tania membuka tasnya, mengeluarkan brosur tadi dan menyerahkan kertas itu kepada Bram. "Aku pengen kuliah, Pa."
Bram mengambilnya, membaca, kemudian tersenyum geli saat memandang Nero. "Beneran pengen kuliah?"
"Iya. Boleh kan, Pa?" Dia menggeser duduknya semakin mendekat. Tangannya kini melingkari pinggang Bram. Memeluk papanya.
"Kok, tanya papa. Harusnya tanya suami. Boleh apa enggak. Kan udah jadi istri." Bram mengedipkan mata ke arah Nero.
"Tapi om Nero bilang setuju, kalau papa juga setuju," jawab Tania.
Mata Bram mendelik. "Om? Suami dipanggil om?"
"Loh, terus di panggil apa?" kata gadis itu polos.
"Mamas, dong. Gak sopan kalau bilang om. Status kan udah berubah." Bram mulai lagi.
Nero hanya bisa tersenyum melihat kelakuan dua orang ini. Anak dan bapaknya sama saja.
"Mamas? Gak pantes. Udah tua." Tania mengernyitkan dahi.
"Hah? Tua? Ya, aku memang sudah tua, tiga puluh sembilan tahun." Rutuk Nero dalam hati. Wajahnya berubah masam mendengar ucapan istrinya tadi.
"Jadi, gimana, Pa? Boleh kan, ya?" Dia merengek lagi.
"Hem ... kedokteran, ya?" Bram menimbang. "Kenapa gak bisnis aja? Nanti kan selesainya bisa bantu Nero di kantor." Dia mencoba bernegosiasi. Biasanya sih, putrinya akan menurut.
"Aku gak suka. Aku mau jadi dokter aja," tolaknya.
"Sekolah dokter itu lama. Sibuk. Banyak praktek, nanti gak ngurus suami. Papa kurang setuju." Nada suaranya tegas kali ini.
Mendengar kata-kata tidak setuju dari papanya, mata Tania melotot. Kepala yang disandarkannya ke bahu papanya, terangkat. "Kan om Nero udah gede. Masa mau di urusin aku juga?"
Memang masih masih anak-anak, belum mengerti kewajiban istri.
"Ya jangan boleh gitu kalau udah jadi istri. Tetap harus ngurusin. Ngelayanin suami." Bram menekankan kalimat terakhir.
Nero yang sedari tadi hanya mendenrakan mereka bicara, mulai mengerti nih ke mana arah ucapan Bram.
"Ngelayanin apa?" Tania kembali bertanya.
"Ya semua. Bikin sarapan, mijit kalau suami capek, siapin baju kerja, yang dibutuhkan suami apa kan bisa tanya. Termasuk ..." Bram kembali mengedipkan matanya ke arah Nero.
Lelaki itu membuang muka dan mengulum senyum saat melihat ekspresi nakal di wajah sahabatnya itu.
"Termasuk?" Tania bertanya lagi. Ucapan papanya ini benar-benar sukar dipahami.
"Di kamar," jawab Bram lugas.
Tania terdiam. Bukannya selama ini dia pisah kamar sama Nero. Lagipula, kalau mereka tidur sekamar, Nero mau ngapain coba? Apa itu? Dia tidak mau.
Wajahnya berubah masam, lalu menatap Nero dengan pandangan tajam.
Melihat tatapan Istrinya, dia jadi serba salah. "Mas, aku gak apa-apa kalau Tania mau kuliah. Lagian aku juga sibuk jarang di rumah. Intinya nih, boleh gak Tania kuliah dulu?" Dia mengambil alih pembicaraan. Nero menekankan kata-kata inti. Dia sudah tau Bram pasti mau menyinggung soal cucu. Hal yang bekum bisa mereka penuhi saat ini. Belum, bukan berarti tidak, ya kan?
"Papa sih oke aja kalau kamu mau lanjut kuliah. Tapi, ada syaratnya!" kata Bram tegas.
"Apa?" Wajah gadis itu berbinar. Ada harapan di sana, untuk masa depan dan cita-citanya.
"Papa mau dikasih cucu dulu."
Nah. Nero menyerah. Sudah seminggu ini, Bram setiap hari datang ke ruangannya, hanya untuk membahas soal cucu. Dari melihatkan foto bayi yang lucu menurutnya. Cara memandikan bayi. Nama-nama bayi, kalau perempuan yang ini, kalau laki-laki yang ini. Model baju bayi keluaran terbaru. Bram terlihat ngebet sekali. Nero sendiri memang tidak memiliki anak dengan Saskia. Penyakit yang dideritanya, tidak memungkinkan wanita itu mengandung.
"Maksud papa apa? Cucu?"
"Ya, kamu hamil. Kasih cucu buat papa. Kalian ..." Bram menyatukan dua tanganya membentuk dua orang berciuman.
"Hah?" Mulut Tania menganga.
"Kalian cup cup cup dulu." Bram menirukan sebuah lagu Thailand yang sedang fenomenal.
Nero tak kuasa menahan tawa. Bapak mertuanya ini memang sungguh keterlaluan.
"Om Nero!!" Tania membentaknya. Nero seketika menutup mulut. "Aku gak mau." Gadis itu mulai melawan.
"Ya gak usah kuliah kalau gitu. Di rumah aja. Sambil belajar-belajar sama Nero ngurus perusahaan."
"Tapi, Pa ..."
"Mas!" Nero menyela. "Maksud Tania begini. Kalau dia hamil, nanti gimana kuliahnya? Justru repot, dong." Dia ikut merayu. Kasihan juga istrinya.
"Ya, ditunda dulu kalau gitu. Hamil dulu. Kasih papa cucu. Tahun depan boleh kuliah. Kedokteran juga boleh," kata Bram tegas.
Ya ampun! Nero benar-benar pusing melihat dua orang ini, tidak ada yang mau mengalah.
"Yaudah kalau gak boleh, aku mau pulang." Tania mengambil tasnya segera berlari ke depan. Dia menyetop sebuah taksi dan kabur begitu saja.
Nero dan Bram gelagapan, tak menyangkan gadis itu akan berbuat nekat.
"Cepat-cepat, susul Tania." Bram mendorong Nero.
Dia mengambil kunci mobil dan mengejar taksi itu sebelum terlambat.
Di dalam taksi, Tania terisak-isak. Hingga beberapa menit kemudian, mereka hanya memutari jalanan ibu kota. Supirnya belum berani bertanya ke mana arah tujuan mereka, karena gadis itu masih terus saja menangis.

Komento sa Aklat (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    18d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    21d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata