logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Ragu

Ovi menyodorkan sesendok nasi ke mulut keponakannya. Sejak pagi gadis itu tidak mau makan. Padahal acara padat. Bisa gawat kalau sampai dia sakit. "Ayo, Tania. Makan dulu." Dia membujuk.
"Tania gak lapar, Tante." Gadis itu menggeleng.
"Nanti kamu lemes, loh. Malam mau lanjut acara lagi. Nanti malah repot. Masa pengantin baru sakit sehabis nikahan," bujuknya lembut. Membuat gadis ini mengerti memang gampang-gampang susah ternyata.
Tania akhirnya menurut. Menghabiskan sesuap demi sesuap makanan yang di ada di depannya. Dia sama sekali tidak berselera melihat menu apapun. Hatinya hampa. Semua rasa bercampur menjadi satu. Sedih, marah, kecewa, juga benci.
Kecewa kepada semua orang. Papanya, keluarganya. Pada Nero apalagi, rasa sayangnya berubah menjadi rasa benci.
"Habis makan kamu istirahat bentar. Tadi tante udah bilang sama yang lain, kamu gak boleh digangguin dulu." Ovi dengan sabar menyuapkannya. Tangannya juga mengusap bekas tangis di mata gadis itu.
"Iya, Tante," jawab Tania lemah.
"Nah, sesuap lagi. Habis ini kamu istirahat. Nanti sore tante bangunin, siap-siap buat resepsi. Sekarang kamu tidur aja dulu." Ovi membereskan piring, sendok dan gelas. Meletakkannya di nakas samping tempat tidur. Biar nanti diambil pelayan hotel.
Dia juga membantu Tania berganti pakaian dan membersihkan make-up. Kemudian, menuntunnya ke ranjang. Menyuruh gadis itu tidur. Biarlah Tania beristirahat sebentar. Hari ini pasti berat baginya.
Pukul dua siang. Masih ada waktu. Selesai akad tadi, Ovi sengaja membawa Tania ke kamar. Dia tidak mau keponakannya dicecar banyak pertanyaan mengingat kondisi mental yang belum siap.
Mereka akan melanjutkan acara resepsi nanti malam. Bram tetap mengadakan pesta besar-besaran. Mem-booking hotel ini untuk acara pernikahan dan tempat menginap keluarga beserta koleganya dari luar kota.
Ovi menghela napas. Seandainya dia tidak tinggal di luar negeri bersama keluarganya, mungkin dia bisa menjaga dan melindungi Tania. Mengasihi dan menyayangi gadis itu seperti anaknya sendiri.
Bram bersikeras tidak mengijinkan Tania ikut dengannya, dengan alasan tidak mau berpisah jauh dengan putrinya. Kakaknya itu memilih merawat sendiri putrinya dengan dibantu pengasuh dan Nero.
Sekarang gadis itu harus menikah dengan Nero. Ovi tidak bisa membayangkan jika dia menjadi Tania. Mungkin sikapnya akan sama, menolah mentah-mentah perjodohan. Gadis itu masih muda sekali. Baru lulus sekolah menengah umum. Belum mengerti apa itu pernikahan. Dia dipaksa untuk mengikat janji sehidup semati, dengan orang yang tidak diinginkan pula.
Andaikan Bram menyerahkan Tania kepadanya untuk dirawat, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Ovi merasa kakaknya tidak mempercayainya. Setitik air matanya menetes.
* * *
Ovi keluar menuju ruangan tempat akad tadi berlangsung. Beberapa tamu keluarga masih berkumpul, berbincang-bincang sambil makan. Ada juga yang kembali ke kamar untuk beristirahat.
Sedangkan wedding organizer yang mereka percayakan masih sibuk mengubah panggung tempat akad tadi, menjadi tempat resepsi. Berbagai macam bunga-bunga yang cantik mengiasi ruangan dari pintu masuk sampai ke dalam. Segala jenis hidangan silih berganti dipersiapkan untuk menjamu para tamu. Hilir mudik orang-orang tidak mengurangi kesakralan acara tadi.
Bram memang pintar menyusun semuanya, sampai banyak yang tidak tahu bahwa sebenarnya pernikahan ini dilakukan terpaksa oleh kedua pengantinya.
Jika dia menjadi Tania mungkin memilih akan lari meninggalkan acara. Walaupun terpaksa dia tetap menjalaninya. Untunglah dia menurut saja, tidak berbuat aneh-aneh.
Dia jadi teringat akan pernikahan dulu dengan Mike, suaminya. Sama, penuh dengan bunga-bunga. Hanya saja dulu mereka sangat bahagia.
"Hai, Darl. Duduk sini." Mike menarik kursi untuk istrinya. Ovi ikut bergabung di meja dan mengambil makanan.
"Tania mana?" tanya Bram.
"Istirahat di kamar. Semalaman dia gak tidur. Kasian kalau dia capek. Bentar lagi, kan, lanjut resepsi," jawab Ovi.
"Dia udah makan?" tanya Mike dengan bahasa yang agak janggal. Bule' yang satu ini cukup lancar berbahasa Indonesia, tapi pengucapannya memang kadang aneh terdengar.
"Udah, tadi aku suapin. Masih manja, padahal sudah jadi istri." Ovi tersenyum mengerling Nero.
Nero yang dilirik hanya diam sedari tadi. Wajahnya memerah. Tapi dia berusaha memasang ekpresi biasa saja di depan semua orang, walaupun hatinya tak karuan.
"Nero sana ke kamar. Temani Tania. Kamu juga butuh istirahat. Acara nanti malam padat. Undangan rame." Bram menyuruh menantunya masuk.
"Nanti saja, Mas. Masih mau di sini ngobrol," tolaknya halus.
"Loh kok panggil mas. Panggil papa, dong." Mike menggodanya. Mereka semua tertawa. Nero hanya tersipu malu.
"Sudah sana istirahat. Lagian kan di kamar sama istri sendiri." Bram mengedipkan mata.
"Mas ini." Wajahnya memerah.
"Kamu gak usah malu-malu, Nero. Kayak belum pernah nikah aja." Ovi menggodanya lagi. Lalu mereka kembali tergelak.
"Yaudah, aku pamit dulu." Dia meninggalkan meja dan berjalan menuju lift. Menekan tombol menuju kamarnya. Kamar pengantinnya.
* * *
Lelaki itu berdiri lama di depan pintu. Dia bimbang mau masuk atau tidak. Kunci kamar hotel sedari tadi hanya digenggamnya. Tangannya gemetar setiap kali hendak membuka pintu.
Ada Tania di dalam. Sekarang dia sudah bukan gadis kecil lagi. Tania sudah tumbuh menjadi wanita yang cantik. Bahkan, saat ini sudah sah menjadi istrinya.
"Ayolah Nero, masuk saja. Tania pasti juga pasti ketiduran karena kelelahan," Batinnya berbisik. Keringatnya bercucuran. Padahal di sini tidak panas sama sekali.
"Kamu hanya perlu masuk kamar. Berganti pakaian dan beristirahat. Ini juga kamarmu," bisikan itu terus bergaung di kepalanya.
"Bagaimana kalau Tania marah dan mengusirnya?"
Gadis itu tidak mungkin mengusirnya. Kamu sangat dekat dengannya. Itu dulu. Setelah tahu mereka dijodohkan dan harus menikah, Tania menghindari bahkan membencinya. Gadis itu marah, mengatakan bahwa dia sengaja menjebak dan ingin menghancurkan masa depannya. Tania berpikir Nero sengaja ingin menguasai perusahaan papanya dengan cara menikahinya.
Dia hanya bisa terdiam menerima semua tuduhan gadis itu. Janji kepada kepada Bram untuk merahasiakan semuanya masih dipegang teguh. Sampai saatnya tiba, lelaki itu sendiri yang akan bicara kepada putrinya.
Nero termenung. "Masuk saja, tidak apa-apa. Jika dia marah, kamu hanya perlu diam. Bahkan kamu bisa menenangkan atau memeluknya." Suara-suara itu bergaung kembali.
Memeluk? Dia sudah biasa memeluk gadis itu sejak kecil. Menggendong, mencium, bahkan beberapa kali ikut tertidur di kamarnya saat membacakan buku cerita. Sekarang sudah berbeda. Tania istrinya, bukan gadis kecilnya lagi. Menyentuhnya sudah tak sama lagi seperti dulu.
Ah, benar-benar bikin pusing!
Dengan mengumpulkan sedikit keberanian, akhirnya dia masuk juga. Dilihatnya Tania sedang tertidur lelap. Suara dengkur halusnya terdengar. Perlahan dia menutup pintu, mengganti pakaian dan mencuci wajah.
Nero meragu. Apa sebaiknya dia tidur di sofa saja? Tapi tubuh besarnya pasti tidak cukup untuk sofa yang begitu kecil. Kakinya pasti akan menekuk dan pinggang akan sakit jika dipaksakan.
Biar sajalah dia tidur di sebelah Tania, sudah biasa juga. Lagi pula, dia tidak akan melakukan hal yang tidak senonoh walaupun mereka sudah sah menjadi suami istri. Lama menimbang, akhirnya dia memutuskan naik ke tempat tidur.
Tubuhnya lelah. Hati dan pikirannya juga. Sejak awal Bram memintanya menikah, hari-hari dirasakannya begitu berat dan panjang, juga penuh dengan konflik, tuduhan, penolakan yang tiada henti.
Dia pasrah menerima semuanya. Sudah resiko, bukan?
Diantara rasa bimbang yang berkecamuk di benaknya, tak lama dia ikut terlelap.

Komento sa Aklat (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    18d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    21d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata