logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Rahasia

Seharian di rumah sakit membuat mereka kelelahan. Akhirnya, ketika jarum jam menunjukkan angka tiga sore, mereka memutuskan untuk pulang. Bram belum boleh dikunjungi siapapun termasuk keluarganya, sehingga menunggu di sana seperti melakukan sesuatu hal yang sia-sia. 
Hilir mudik karyawan kantor dan relasi yang berdatangan ke rumah sakit ingin membesuk, membuat mereka benar-benar kewalahan.
Bram sendiri masih dalam koma walaupun masa kritisnya sudah lewat. Berbagai macam selang dan alat-alat medis menempel di tubuhnya.
"Tolong jelaskan semuanya."
Tania menatap Nero dan Ovi bergantian. Saat ini mereka berkumpul di kamar setelah tiba di rumah. Wajahnya tampak lemah dan lelah. Ovi sedari tadi membantu memijit pundaknya yang pegal.
Dia sudah kehilangan rasa, semua bercampur aduk jadi satu. Melihat kondisi papanya yang lemah, tangisan tak berujung henti sejak pagi hingga air matanya kering.
"Tania, sebenarnya ini berat kalau kita sampaikan ke kamu. Ini permintaan papamu sendiri agar kami semua merahasiakannya." 
Ovi menarik napas panjang saat memulai pembicaraan. Ini sudah tidak bisa di rahasiakan lagi. Bram sendiri dalam keadaan koma. Jadi sudah saatnya dia menceritakan semuanya.
"Tapi kalu aku tau sejak awal paling enggak papa bisa ditangani dengan baik."
"Papamu ditangani dengan baik, sayang. Kami semua memantau kesehatannya," sela Nero.
"Hanya aku yang enggak tau, ya kan?" Tatapannya tajam. Tuduhannya membuat ada yang berdenyut di dalam hati Nero. 
"Ini semua keinginan papamu, Nak. Waktu itu kamu lagi ujian naik kelas. Papa nggak mau pelajaranmu keganggu. Jadi dia merahasiakannya." Ovi menjawab.
"Tapi bukan berarti aku nggak boleh tau, ya kan?" Dia terisak lagi. Kedua tangannya menutupi wajah.
"Sayang. Kami juga baru tau beberapa bulan ini. Selama ini Mas Bram juga merahasiakan penyakitnya." Nero membela diri.
"Kalian jahat. Kalian semua bohong sama aku!" Nada suaranya mulai meninggi.
"Tania dengarkan, Mas." Nero berusaha meraih istrinya. Ingin memeluk dan memberikan kekuatan agar bisa berbagi.
"Pergi!" Tania menatap suaminya tajam. Rengkuhan Nero di bahu, ditepisnya dengan kasar. Tak sudi dia melihat orang yang telah membohonginya.
Ovi memberi kode agar Nero keluar. Lelaki itu mengangguk patuh. Dengan langkah gontai dia meninggalkan kamar istrinya. Entah ke mana dia akan pergi untuk menghibur hati. Sejak awal ada banyak tuduhan yang membuat hatinya tidak nyaman. Rasanya, dia ingin mengakhiri pernikahan ini.
***
"Tania. Kamu nggak boleh begitu sama Nero," tegur Ovi setelah lelaki itu meninggalkan kamar. 
Bukan ranahnya untuk mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Untuk beberapa hal, keponakannya ini memang harus dinasihati. Usianya yang masih muda, memang banyak hal tentang pernikahan yang belum diketahui. 
"Dia bohong tante. Tadi malam dia bilang papa sehat-sehat aja. Aku udah curiga terus tanya, apa papa sakit? Dia bilang sehat. Dia yang paling dekat sama papa, kan?"
"Tania. Nero begitu atas permintaan papa kamu. Dia melakukannya karena terpaksa." Ovi mencoba menenangkan.
"Termasuk nikahin aku?" Matanya mendelik, tak percaya dengan apa yang tantenya sampaikan. Ini ada apa lagi? Banyak sekali yang dia tidak tahu.
"Tania dengarkan tante!" Ovi menghela napas panjang sebelum bicara. "Setelah tau dirinya sakit, papa kamu melakukan terapi tanpa sepengetahuan kami. Waktu kankernya nyebar, papa kamu ngambil sebuah keputusan besar yang kami sendiri pun nggak bisa bantah."
"Tapi kenapa dirahasiakan?" Air matanya berlinang. 
"Karena papamu enggak mau kamu ngerasa kehilangan untuk yang kedua kalinya, Nak." Ovi ikut terisak. "Tante dikasih tau dua bulan sebelum pernikahan kamu lewat telepon. Terus tante hubungi Nero."
"Maksud tante?"
"Nero juga awalnya nolak dijodohkan sama kamu. Dia masih cinta sama Saskia. Tapi papa kamu minta tolong sama dia. Dia mau sebelum pergi, kamu dilindungi sama orang yang dia percaya." Ovi meraihnya dalam pelukan.
Tania semakin erat memeluk Ovi. Tangisnya sudah tak terbendung, tumpah ruah. 
"Mas Bram mau kamu jadi penerus usahanya. Makanya dia minta Nero buat ngajarin kamu. Dia juga minta kami rahasiakan semuanya, karna nggak mau bikin kamu sedih."
"Mungkin saat ini kamu anggap papa  egois karena harus nurutin kemauannya. Tapi yakinlah, nanti kamu bakalan ngerti kalau menikah dengan Nero adalah pilihan yang tepat. Dia udah janji di makam Andrea kalau bakal jagain kamu sampai akhir hayatnya."
Tania menatap bingung ke arah Ovi. “Janji? Sama mama? Aku nggak ngerti apa yang tante omongin." Dia mengusap air matan. Rasa sedihnya tiba-tiba berubah menjadi rasa penasaran. 
"Mama kamu, Andrea itu dulu kekasihnya Nero. Dia merelakan menikahi papamu karena utang budi." Kali ini, Ovi yang meneteskan air mata. Dadanya tiba-tiba saja menjadi sesak. Menceritakan ini sama dengan membuka cerita lama keluarga mereka.
"Apa?" Tania terbelalak mendengarnya. 
Ada banyak rahasia yang selama ini tidak dia ketahui. Nero, tak pernah menceritakan apapun kepadanya. Dia ditinggalkan mama di usia yang masih kecil. Ada banyak memori yang terlupakan. Untuk yang satu ini, dia baru tahu sekarang. 
"Itu sebabnya Nero lama membujang, sampai dia ketemu Saskia. Dia sayang sama kamu dari kecil karena kamu mirip sama Andrea."
***
Nero, dua puluh tahun yang lalu.
Dua insan yang saling mencintai itu duduk berdampingan di sebuah taman di dekat kampus mereka. Mereka saling menyayangi tapi saling mematahkan hati. Bukan karena ego masing-masing, tapi karena keadaan yang memaksa.
"Maafin aku, Mas. Aku dipaksa ayah. Aku dijodohkan." Andrea menangis. Nero memeluknya.
"Aku akan ngelamar kamu." Nero berusaha meyakinkan, jemari mereka saling bertautan, saling menguatkan.
"Ayah tetap nggak setuju. Dia tetap mau aku nikah sama anak relasinya." 
"Tapi, Rea. Aku mencintaimu."
"Aku juga, Mas. Aku juga belum mau nikah, apalagi sama orang yang enggak aku kenal." 
Nero tertunduk lemah. Begitu berat cobaan yang harus dia lalui. Baru saja kehilangan orang tua akibat kecelakaan, kini kekasihnya juga diminta menikah dengan orang lain. 
Dia terpaksa harus mengambil cuti kuliah karena tidak ada yang membiayai. Keluarganya bukan orang berada. Ayahnya hanya seorang tukang jahit dan ibu yang berjualan sayur di pasar. Tidak ada apapun yang ditinggalkan oleh mereka, hanya sebuah rumah kontrakan beserta isinya. Sedangkan kekasihnya anak seorang pengusaha. Mereka bertemu di kampus. Rea adik tingkatnya, setahun dibawahnya.
Awalnya Rea yang mendekati, meminta Nero mengajari beberapa mata kuliah yang dianggapnya sulit. Sebagai kakak kelas yang baik, dia menyambutnya. Benih-benih cinta muncul di antara mereka. Namun dia sadar diri, tidak berani mengungkapkan perasaannya. Sampai akhirnya, Rea yang lebih dulu mengatakannya.
Nero hanya bisa menerima takdir. Andrea kekasihnya akan menikah dengan orang lain. Pilihan orang tuanya. 
Walaupun hatinya sakit. Dia harus menerima kenyataan, dan berjanji dalam hati, suatu saat kelak dia harus sukses agar tidak ada lagi orang yang meremehkan atau menganggapnya sebelah mata.
Untunglah saat ini dia sudah bekerja. Ada seorang baik hati yang menerimanya di sebuah perusahaan. Bramantyo namanya. Sebenarmya dia bukan pemilik, tapi ayahnya. Lelaki itu diminta untuk membantu mengelola perusahaan walaupun masih kuliah. Usia Bram sendiri berusia tiga tahun di atas Nero. 
Waktu itu secara tak sengaja mereka bertemu. Nero yang sedang duduk di taman kota sehabis pulang kuliah, membantu Bram mengejar pencopet yang mengincar tas ibunya sewaktu mereka berjalan-jalan.
Singkat kata mereka berkenalan. Awalnya, Nero yang menolak diberikan uang tunai sebagai tanda terima kasih. Lalu Bram memberikannya pekerjaan. 
Office Boy, itulah pekerkaan yang ditawarkan. Tugasnya mengantar dan menyiapkan makanan minuman jika ada tamu dan meeting di kantor.  
Usianya sembilan belas tahun saat itu. Nero menerima dengan ikhlas karena hanya memiliki ijazah sekolah menengah atas. Gajinya di tabung sedikit demi sedikit untuk melanjutkan kuliah. 
Hingga suatu hari, kantor ramai dengan pemberitaan bahwa anaknya owner akan menikah. Itu berarti Bram akan menikah.
Semuda itu? Ya tentu saja bisa. Keluarganya kaya, tidak mempermasalakan materi. Lagi pula Bram juga yang akan mewarisi perusahaan ayahnya. Kuliah baginya hanya untuk mendapatkan gelar.
Semua karyawan sibuk membantu mempersiapkan segala sesuatu. Mereka sudah berjanji akan menghadiri acara pernikahan itu, bahkan sudah mengumpulkan uang untuk membeli kado. 
Nero tentu saja harus ikut. Walaupun cuma pegawai rendahan. Semua karyawan wajib menghadiri, khusus untuk mereka, sudah disiapkan meja. Ayahnya Bram memang sangat baik.
Malam itu, mereka sangat senang datang beramai-ramai. Nero yang patah hati sedikit terhibur dengan canda tawa teman-temannya di mobil. Mereka memasuki ruang resepsi dengan semangat. Mengambil makan minuman yang banyak dan bercerita segala macam.
Sampai, ketika mereka akan pulang dan menyalami kedua mempelai. Nero baru sadar bahwa pengantin wanitanya adalah seseorang yang sangat dia kenal. 
Pantas sejak tadi rasanya dia tak asing dengan wajah itu, tapi lupa entah siapa. Riasan make-up dan panggung yang cukup jauh dari tempat duduk mereka, menyamarkan semuanya.
Jantungnya berdegup kencang. Wanita itu, yang mendampingi Bramantyo di pelaminan. Itu adalah Andrea kekasihnya. Nero menahan sesak di dada ketika menyalami keduanya. Bram terlihat bahagia, gelak tawa dan senyumnya menghiasi wajah sejak awal hingga akhir acara. Sedangkan sang mempelai wanita, meneteskan airmata sudah tak dapat dibendung.
Dia segera berlari meninggalkan gedung itu dan memilih naik kendaraan umum dari pada ikut pulang dengan teman-temannya.
Hatinya sakit. Hatinya patah. Dia mati rasa.

Komento sa Aklat (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    17d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    19d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata