logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Selamat Pagi

Tania berjalan terjingkat-jingkat menuju dapur. Ada bagian tubuhnya yang terasa perih. Nero memang nakal, dia sudah menyerah, tapi suaminya itu malah mengulangi sekali lagi. Bahkan sebelum tidur, Nero masih menciumnya mesra, seperti tidak puas saja. 
Ovi dan Ijah hanya tersenyum geli melihatnya. Mereka berbisik-bisik berdua karena merasa lucu melihat kelakuan Tania. 
"Hayoo kakinya kenapa?" tanya Ovi menggoda, saat Tania mendekati mereka. 
"Kaki-ku sa-kit ..." Dia membuang muka. 
Wajahnya merona. Sungguh memalukan, kenapa mereka malah melakukannya di saat banyak orang di rumah? Jadinya dia diledek terus. Ini gara-gara perbuatan Nero. Eh, tapi bukannya kemarin malam dia yang masuk ke kamar lelaki itu duluan dan menawarkan diri? Aduh, malunya.
"Kaki mana yang sakit?" Ovi menggoda. Ijah memilih untuk diam dan menyiapkan sarapan.
"Tanteee ..." rengeknya manja. 
Untung saja Nero tidak membuat tanda apa pun yang meninggalkan bekas di bagian tubuhnya yang terlihat. Rambut Tania yang basahlah yang sudah menjawab semuanya.
Mereka asyik berbincang ini itu sambil menunggu makanan siap, saat mendengar langkah kaki lain mendekat. 
"Pagi!" Nero menyapa semua orang dengan wajah berseri. 
Dia duduk di sebelah Tania dan memandang istrinya dengan penuh cinta. Senyum tak lekang dari bibir, juga mata yang berkali-kali melirik si cantik yang tertunduk malu. Ah, dia jadi teringat kemarin malam saat kebersamaan mereka. 
"Pagi Nero. Seger amat. Tadi malam olahraga, ya?" Ovi mengedipkan mata.
Nero tertawa terbahak-bahak, sedangkan Tania memasang wajah cemberut karena malu.
"Iya, dong. Makanya pagi ini fresh banget. Bener kan, sayang?" Nero menyenggol bahu Tania. Matanya mengedip manja, membuat istrinya itu menekuk bibirnya yang mungil. 
Lelaki itu mengaduh saat lengannya dipukul keras, tapi dia malah membalas dengan sebuah cubitan di pipi. Ovi tertawa melihat tingkah mereka berdua. Pengantin baru memang semesra ini. Dalam hati dia mengucap syukur, nasehat kemarin malah menyatukan dua orang di hadapannya ini. 
"Kamu apain tadi malem? Kok kakinya jadi sakit begitu." Ovi meng-kode Nero dengan alisnya.
Tania ingin berlari masuk kamar. Bisa tidak suami dan tantenya ini membicarakan hal lain? Kenapa malah membahas itu lagi? Kalau tidak lapar saja, mungkin sudah kabur dari tempat itu. Benar-benar mereka ini, senang sekali menggodanya. 
"Ada, deh. Yang pasti bentar lagi Mas Bram bakal dapet cucu,” jawab Nero santai sambil menyuap sarapannya. Makannya kali ini lebih banyak dari biasanya. Tenaganya terkuras habis tadi malam. 
Ovi menambahkan lauk ke piring Tania. Ijah pagi ini memasak banyak sekali karena kedatangan Ovi. Semuanya enak dan kesukaan mereka pastinya. 
"Makan yang banyak, sayang. Biar tenaganya pulih." Ovi ikut menambahkan beberapa makanan ke dalam piringnya sendiri. Selera kampungnya muncul setiap pulang ke sini. 
Tania mengganguk. Gadis itu melahap semuanya. Dia benar-benar lapar.
"Kamu kapan datangnya, Vi? Kok ga ngabarin kita?" tanya Nero.
"Kemaren. Mike udah ngasih izin. Lagian cuma sebentar, tiga hari. Mau lihat mas Bram juga," jawab Ovi.
Mereka saling berpandangan. Nero memberi kode. Rahasia ini masih harus tetap dijaga. Tania belum boleh tahu. 
"Ayo, kami antar. Hari ini aku off. Lagi enggak banyak kerjaan juga. Bisa handle dari rumah." Nero menawarkan tumpangan. Ovi sudah jauh-jauh datang, tidak mungkin mereka membiarkannya pergi sendirian. 
"Bilang aja mau berduaan terus." Lirik Ovi. 
Tania sedari tadi hanya terdiam. Wajahnya sudah memerah seperti kepiting rebus.
"Iya, nih. Rencana mau ambil cuti. Kita belum honeymoon. Iya, kan?" Nero mengusap lengan mungil di sampingnya. Sebenarnya dia ingin mengusap yang lain, tapi harus sabar menunggu hingga nanti malam. 
"Terserah mas, aja," jawabnya pendek. Serba salah kalau dia ikutan berbicara tentang ini, karena pasti mereka akan menggodanya lagi.
Ovi mengulum senyum saat Tania mengucapkan kata-kata mas. Ternyata apa yang dia nasehati tidak sia-sia. Keponakannya yang imut ini benar-benar penurut. 
"Abis sarapan kita ke rumah papa kamu," ajak Ovi. 
Tania yang mendengar itu langsung berbisik di telinga Nero. Bagaimana dia mau berjalan jauh, kalau kondisinya tidak nyaman begini. "Tapi ini sakit," lirih suaranya. Dia malu jika terdengar yang lain.
"Nanti jalannya pelan-pelan." Nero balas berbisik.
Lagi dan lagi, Ovi tersenyum geli. Dua orang ini memang lucu. Satu polos dan lugu, sedangkan yang lain blak-blakan. Serasi.
"Enggak usah bisik-bisik. Tante denger, kok," kata Ovi sengaja, senang melihat kemesraan mereka berdua.
"Kamu di rumah aja dulu. Istirahat. Biar mas anter Ovi ke rumah papa." Tanpa malu Nero menarik wajah istrinya dan mencium kening wanita itu di depan semua orang.
"Aku mau bobok lagi. Ngantuk." Dia menutup mulut saat menguap. Badannya benar-benar lemas. Sepertinya seharian ini, dia akan tidur saja. 
"Kamu istirahat aja dulu. Tante kan pulang besok juga. Nanti sore kita masih bisa jalan," kata Ovi bijak.
"Iya, tante. Gara-gara Nero ini." Dia mencibirkan bibir. Khas sekali dengan sifatnya yang manja. 
"Kamu juga seneng. Sampai teriak begitu." Nero balik menggoda istrinya. Matanya mengedip, bibirnya membentuk sebuah kecupan. 
Tania memukulnya lagi, tapi malah lengannya ditarik. Matanya melotot, kemudian dengan cepat melepaskan cekalan tangan suaminya. Kini giliran Ovi yang tertawa. 
Setelah selesai makan, mereka berjalan ke depan dan bersiap-siap berangkat.
"Mas pergi dulu." Nero memeluk istrinya, kemudian mengusap lembut pipi yang menggemaskan itu. Kasihan juga dia melihat Tania tadi malam. Si cantik ini berteriak kesakitan sepanjang malam, tapi dia malah melanjutkan aksinya sampai puas, bahkan mengulanginya lagi. 
"Sudah bobok lagi sana." Ovi memeluk keponakannya dengan sayang. 
"Hati-hati di jalan." Pesan Tania sebelum masuk ke dalam menuju kamarnya.
* * *
Bram benar-benar terkejut atas kedatangan adiknya. Tak menyangka Ovi datang tanpa berkabar sebelumnya. Untunglah dia ada di rumah.
"Mas Bram. Kangen." Wanita itu memeluk kakaknya.
"Enggak ngabarin. Tau-tau muncul." Mereka berpelukan lama. Rasa rindu tertumpahkan dari pertemuan ini. 
"Habis di telepon Tania waktu itu, aku izin sama Mike ke sini. Tapi cuma bentar, Bryan masih sekolah."
Mereka masuk ke dalam dan berbincang di sofa ruang tamu yang luas. Rumah ini besar dengan dua lantai. Desing-nya modern dengan warna dinding yang soft tapi elegan. 
"Gimana kabar? Mas makin lemes kayaknya." Ovi memperhatikan wajah kakaknya yang terlihat pucat.
"Sehat," jawab Bram meyakinkan, tidak mau orang lain tahu kesakitan yang dirasakannya. Jangan sampai membuat yang lain khawatir. 
"Terapinya lancar?" tanya Ovi.
"Lancar. Cuma bulan depan nggak boleh berangkat lagi. Harus terapi di sini. Dokternya yang datang," jawab Bram.
"Jangan capek, Mas. Jangan mikirin kerjaan. Dari dulu sibuk terus." Nada suara Ovi sedikit menggerutu. Kakaknya ini memang sulit di beri pemahaman. Sudah tahu sakit, malah ngotot bekerja. 
"Sekarang kan udah ada mantu yang ngurusin. Mas mau banyak istirahat di rumah." Bram menepuk bahu Nero yang sedari tadi hanya diam mendengarkan.
"Bulan depan kabarin tanggal terapinya. Aku datang. Aku mau dampingi." Mata Ovi berkata-kaca. Setititk air matanya jatuh. Andaikan dia dekat saja, mungkin dia yang akan mengurus kakaknya ini. 
Bram sendiri enggan menikah lagi sehingga tidak ada yang merawatnya. Sepertinya Tania memang tidak mau ada wanita lain di kehidupan papanya. 
"Loh kok mewek? Mas sehat ini. Lagian ada Nero sama Tania." Bram mengusap kepala adiknya.
"Jangan bohong. Itu rambut mulai rontok. Keliatan, kok," kata Ovi.
Bram memegang kepalanya. Sejak terapi yang ini rambutnya memang mulai berguguran. Dia sudah berkonsultasi dengan dokter dan memang itu efeknya. Tak lupa mencoba beberapa vitamin rambut, untuk menyamarkan dampaknya, supaya Tania tidak curiga. Putrinya belum boleh tahu. 
"Efek terapi memang begitu. Semoga masih dikasih kesempatan buat lihat cucu. Ya kan Nero?" Matanya melirik ke arah samping.
"Kami lagi usaha."
"Udah Nero?" tanya Bram bersemangat. 
Lelaki itu mengangguk. 
"Syukurlah. Usaha terus ya sampai Tania hamil." Kali ini Bram yang terisak sambil memeluk menantunya.
"Tapi mas harus kuat." Nero menggenggam tangan Bram.
"Tania mana? Apa ngambek lagi?" 
"Tadi diajak nggak mau. Pengen tidur lagi katanya," jawab Nero.
"Kecapean habis ngelayanin suaminya itu." Ovi tertawa geli.
Bram tergelak. "Bagus. Buktikan kamu laki-laki jantan."
Nero tersenyum malu. "Penuh perjuangan, Mas. Teriak mulu pake nangis segala," katanya blak-blakan.
Tawa kembali menggema di ruangan itu. Lucu membayangkan bagaimana reaksi Tania tadi malam.
"Tania malu-malu pas keluar kamar tadi pagi." kata Ovi.
"Untung kamu cepat bertindak. Kalau nggak, bisa lumutan si ganteng ini karena puasa berbulan-bulan."
"Pastilah. Udah aku nasehati di telepon. Tapi akhirnya nekat kes ini juga. Aku khawatir, terutama sama kamu mas. Ke Singapura diem-diem. Tau gitu aku temenin." Ovi menghela napas panjang. Kakaknya ini benar-benar keras kepala.
"Kamu tenang aja. Kalau enggak sanggup juga aku pasti minta bantuan kalian."
Mereka melanjutkan perbincangan sampai sore. Sedangkan di sana, Tania tidur nyenyak bergelung selimut di kamarnya. Badannya terasa sakit semua. Untung ada Ijah yang mau memijitnya. Paling tidak mengurangi rasa sakit akibat perbuatan Nero semalam.
Dia baru tahu ternyata begini rasanya pertama kali bermesraan dengan suami. Nero yang di awal pernikahan seperti menolak, malah justru menggilainya semalaman. Tania hanya bisa memasrahkan diri ketika tubuh besar suaminya bergerak sesuka hati. 
Lengkap sudah ibadah suami istri mereka. Semoga benih yang tertanam menjadi buah keturunan sesuai dengan yang diharapkan.

Komento sa Aklat (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    17d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    20d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata