logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Permintaan Terakhir Papa

Permintaan Terakhir Papa

Queeny


Awal Mula

Seorang gadis kecil berlari menuju ke depan, saat melihat sesosok orang yang dia sayang datang berkunjung. Sudah lama mereka tak bertemu. Itu membuatnya rindu.
"Om Nerooo ..." Tania nama gadis kecil itu. Dengan hati riang gembira menyambut dan memeluk lelaki yang dia sebut Nero tadi.
"Tania sayang." Dia balas memeluk dan menggendong gadis kecil itu, lalu erputar-putar sebentar. Mereka sama-sama tertawa dan merasa senang.
"Om lama enggak datang." Dia merajuk. Bibirnya ditekuk, tapi setelah itu tersenyum senang. Tangannya masih erat memeluk.
"Ini kan lagi tugas keluar kota," jawab Nero. Dia kemudian menurunkan gadis itu dari gendongan.
"Tania kan sendirian. Papa sibuk terus," Gadis itu mencibirkan bibir.
Sikapnya yang seperti itu malah tampak lucu dan membuat Nero tertawa terbahak-bahak. Diusapnya kepala gadis kecil itu dengan penuh kasih sayang. "Ini udah pulang. Ayo nanti kita jalan-jalan," bujuknya.
Gadis itu mengangguk senang. Matanya berbinar-binar. "Mana oleh-oleh buat Tania?" Tangannya terulur meminta.
"Ini, om bawain." Nero mengeluarkan sebuah tas kertas dan menyerahkannya.
Tangan gadis kecil berusia sepuluh tahun itu dengan cepat mengambilnya. Dengan tak sabar dia segera membuka bungkus. Tampaklah sebuah boneka Barbie original keluaran terbaru.
"Asyik! Boneka baru." Dia bersorak kegirangan. Tubuh kecilnya melompat-lompat, membuat Nero semakin keras tertawa.
Tak lama, tampak seorang pria keluar dari dalam, berjalan menuju ke arah mereka.
"Papa. Om Nero udah datang, tuh." Tania berjalan menuju papanya. Lelaki itu tersenyum melihat kelakuan putrinya.
"Tania, om baru datang kok enggak disuruh duduk. Malah dimintain oleh-oleh." Si papa yang bernama Bram menyambut kedatangan sahabatnya itu.
"Halo, Mas. Apa kabar?" Dua orang lelaki itu berpelukan, saling melepas rindu.
"Papa, aku ke kamar dulu, ya. Mau main boneka baru," celetuknya dengan gaya centil khas anak-anak. Bram mengangguk.
"Dadah Papa. Dadah Om Nero." Tania berlari masuk ke dalam kamar. Samar-samar terdengar suaranya yang sedang asyik bermain sendirian.
Bram menoleh ke arah sang tamu, dan mengajaknya berbicara. "Betah kamu di Sidney? Sampai lupa pulang." Dia menepuk bahu Nero.
"Yah, memang training-nya lama, Mas. Mau gimana lagi. Tapi, masih lebih enak di kampung sendiri. Di sana aku gak cocok makanan." Nero menjelaskan.
Bram tertawa geli mendengarnya. Beberapa kali sahabtanya memang menelepon untuk meminta pulang. Dia lebih suka sambal cobek daripada roti dan kawan-kawannya. Lagi pula cuaca dan kebiasaan penduduk di sana berbeda, jadi dia harus cepat beradaptasi.
Bram menahan dan melarangnya pulang sebelum training selesai. Nero harus banyak belajar mengenai pengelolaan perusahaan dengan baik. Jika sewaktu-waktu dia berhalangan, maka lelaki itu yang akan menggantikan posisinya.
"Ayo duduk dulu." Bram mempersilakan. Sedari tadi mereka berbicara sambil berdiri. Nero mengambil tempat duduk di tengah.
"Ehem!" Terdengar suara seorang wanita memutus percakapan mereka. Bram menoleh. Dia baru sadar setelah wanita itu memberi kode dengan suara batuknya. Ternyata sedari tadi bersembunyi di belakang. Tubuh kecilnya, terlindung di balik kokohnya punggung Nero.
"Nah, siapa yang dibawa ini? Belum kamu kenalin sama mas," tanya Bram penasaran.
"Eh, lupa. Ini Saskia. Pacarku, Mas." Nero mengenalkan kekasihnya.
Wanita cantik itu menyambut uluran tangan Bram. "Saskia." Dia menyebutkan nama.
"Cantik, ya." Bram sengaja menggoda. Melihat ekspresi Nero yang berubah saat kekasihnya digoda, membuat Bram menahan senyum.
Raut wajah Nero terlihat tidak senang saat Bram mengucapkan kata-kata itu. "Kita udah tunangan, nih," jawabnya pelan.
"Wah, wah. Tiga bulan ninggalin tanah air, pulang-pulang udah tunangan aja. Selamat, ya," ucap Bram.
"Thanks, Mas. Aku langsung lamar aja dia. Takut keduluan orang lain," ucapnya.
Jawaban jujur Nero tadi membuat mereka tergelak. Saskia yang sedari tadi memilih diam pun akhirnya ikut tertawa. Semakin tampak cantiklah dia.
"Hebat kamu. Mas enggak nyangka. Akhirnya laku juga."
"Yah, dari pada gigit jari. Mending langsung ditandain saja," cengir Nero, yang membuat Bram semakin geli.
Saskia tersenyum memandang calon suaminya. Menatap wajah tampan lelaki yang duduk di sebelahnya.
"Eh, sebentar dibawakan minuman." Bram berteriak memanggil pembantunya, meminta dibuatkan suguhan. "Ayo ceritain lagi, kapan kamu kenalan sama si cantik ini?" Dia kembali bertanya.
"Ah, mas ini godain terus." Lelaki itu tertunduk malu.
"Kami ketemu di pantai. Waktu itu aku lagi ada gathering sama temen-temen kantor. Nero ngajak kenalan," jawab Saskia. Akhirnya bicara juga dia.
"Nah, Nero memang seneng tuh kalau ke pantai. Seneng liat bikini dia," bisik Bram, sengaja mengompori.
"Mas ini, jangan buka rahasia. Nanti dia ngambek, gimana?" Serius sekali nada bicaranya, seperti takut akan kehilangan wanita di sampingnya.
"Kita jalan bareng, ngerasa cocok aja. Terus, jadian." Wanita itu melanjutkan pembicaraan.
"Kamu pasti wanita spesial sampai si player ini akhirnya bertekuk lutut, dan mau menikah. Iya, kan?" tanya Bram sambil menggali informasi lebih banyak.
Memang benar dia sangat penasaran. Secara Nero ini adalah pemain wanita. Entah sudah berapa kali dia menasehati, dan mempertemukan lelaki ini dengan beberapa wanita kenalannya dan ditolak. Sepertinya, Saskia ini punya sesuatu yang berbeda sehingga Nero bisa takluk.
"Player? Hem, pasti pacarnya banyak." Saskia mengerling ke arah kekasihnya.
Nero sendiri tersenyum kecut.
"Kamu belum tau, ya? Dia ini salah satu idaman wanita di sini. Tapi hatinya batu, susah ditembus kalau disinggung soal pernikahan." Bram ikut mengerling Nero yang sejak tadi hanya tertunduk. Sungguh kuat pesona Saskia sampai si palyboy itu diam saja.
"Oh, ya?" Saskia mengamit lengan calon suaminya.
"Kamu wanita beruntung. Dari sekian banyak pacarnya, dia memilihmu." Bram tersenyum menatap gadis itu.
"Mungkin memang sudah jodohnya, Mas," jawab Nero menimpali.
"Ya, syukurlah. Memang sudah waktunya kamu menikah. Nggak baik kalau lama-lama sendiri." Bram kembali menasehati.
"Ini, Mas." Nero membuka tasnya. Menyerahkan sebuah undangan.
Bram mengambilnya. Membuka dan mulai membaca. "Wah, selamat. Bulan depan, ini. Cepat banget."
"Kita percepat soalnya Saskia mau balik ke sini ikut aku. Beresin dulu yang ada di sana." Lelaki itu menjelaskan.
"Oh, ya? Bagus, dong! Jangan LDR, enggak enak. Berat di ongkos."
Tawa bergema di ruangan itu.
"Mas Bram wajib datang." Saskia melanjutkan pembicaraan.
"Pasti. Kami pasti datang. Tania pasti seneng omnya mau nikahan." Dia mengangguk untuk menyakinkan.
"Aku mau mas jadi saksi di pernikahan kami nanti. Inilah maksud kedatangan kami ke sini." Nero menarik napas kemudian berkata. "Mau, ya?"
Bram tak menyangka, ternyata sahabatnya ini meminta dia menjadi saksi untuk momen penting dalam hidup lelaki itu.
"Saksi? Boleh. Mas mau sekali." Bram merasa senang. Suatu kehormatan baginya, bisa mendampingi dan menyaksikan langsung acara itu.
"Aku udah anggap mas seperti kakak sendiri. Sudah sepakat kalau mas yang jadi saksi nanti di pernikahan kami." Nero menoleh ke arah calon istrinya.
Bram tersenyum. "Pasti. Apa pun mas akan lakukan untukmu, Nero. Asal kamu bahagia. Kamu juga sudah mas anggap seperti adik sendiri." Bram menepuk bahunya.
"Terima kasih, Mas."
"Selamat, Nero. Akhirnya, kamu menemukan pelabuhan hatimu."
Lama mereka berbincang, hingga akhirnya Nero dan Saskia berpamitan pulang. Mereka berpelukan lama sebelum berpisah.

Komento sa Aklat (307)

  • avatar
    FriyatanJeffrey

    god

    18d

      0
  • avatar
    WahyudinBayu

    yes

    21d

      0
  • avatar
    Ayunie jmAtiqah

    love it

    20/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata