logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

6. Calon Mantu

Tadi, Zian melewatkan waktu sarapannya. Ia bosan terus-menerus makan sandwich, walaupun papanya berdalih, kalau rasa roti lapis yang beliau buat pagi tadi, berbeda dari biasanya. Uh, memangnya sejak kapan sih, rasa roti tawar berubah menjadi rasa yang pernah ada—maksudnya berubah menjadi rasa yang lain? Setahu Zian, rasanya selalu sama. Papa saja yang berniat membohonginya.
Zian bilang, ia akan membeli makanan di kantin untuk sarapan, tetapi kenyataannya ... cowok itu tidak melakukannya. Ia baru ingat, kalau di jam pertama ada tugas yang dibawa pulang ke rumah—PR—itu pun setelah Devta memberitahunya. Alhasil, Zian segera mungkin mengerjakan PR-nya sebelum jam masuk tiba.
Omong-omong ini hari senin, makanya Zian sedikit lebih was-was dari pada biasanya. Ia memang sering tidak mengerjakan PR di rumah dan memilih untuk mengerjakannya di sekolah. Tentu saja karena ingin mendapatkan sontekan dari Devta. Berhubung hari ini akan diadakan apel pagi, alhasil Zian menggunakan sistem kebut se-menit untuk segera menyalin jawaban dari buku Devta, kepada miliknya.
"Zi, buruan. Udah bel, disuruh kumpul." Devta memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku celana. Persis seperti anak gaul yang biasanya ada di novel-novel remaja. Sok cool, kalau Zian bilang.
"Sebentar lagi," ujar Zian. Tangannya semakin ia kebut, untuk menyelesaikan salinannya. Bibirnya bahkan komat-kamit membaca isi buku Devta kemudian menuliskan jawabannya. "Udah, ayok!"
Keduanya segera menuju lapangan, di mana upacara bendera yang diadakan setiap Senin pagi, dilaksanakan.
"Yah, kebagian yang panas," keluh Zian sambil cemberut.
Devta yang berdiri di belakang cowok itu tertawa pelan menanggapi. "Kalo nggak kuat, bilang ya, Zi."
"Jangan doain gitu, dong." Zian bersungut-sungut.
"Bukan doain, Zi. Cuma ngasih tau aja."
Upacara pagi ini, berjalan khidmat. Pembina upacara di depan sana, masih menyampaikan amanat-amanatnya yang membuat Zian auto pusing.
Pagi ini, cuaca sedang terik-teriknya. Bisa ditebak jika cuaca seperti ini bakal awet hingga sore nanti. Zian tidak tahu, apakah sekarang sudah masuk musim panas atau bagaimana, yang jelas dia tidak kuat lagi. Suara pembina upacara di depan sana, hanya terdengar berupa dengungan yang menyakitkan telinga. Membuat Zian beberapa kali menggelengkan kepalanya, sembari mengusap peluh yang menetes dari dahinya.
"Devta," panggil Zian dengan suara pelan—tepatnya berbisik—agar tidak ditegur karena berisik nantinya.
"Kenapa?" tanya Devta.
"Zi nggak kuat," jawab Zian membuat Devta langsung memegang bahu sahabatnya itu, membuat Zian menoleh.
"Anjir, pucat amat lo." Devta menempelkan tangannya di dahi Zian, dan merasakan panas di sana. "Demam nih."
"Masa, sih?" tanya Zian. Ia menyentuh dahinya sendiri, seraya meringis pelan. "Ini ceramah kapan udahannya, sih? Zi beneran nggak—"
Belum sempat Zian menyelesaikan kalimatnya, tubuh cowok itu langsung oleng. Membuat barisan di sebelahnya, seketika ricuh karena Zian yang tumbang ke samping. Pun juga dengan Devta yang seketika diselimuti panik kala melihat sahabatnya itu tumbang.
"Zian!" panggil Devta, yang tidak menerima tanggapan berarti dari si pemilik nama.
Zian pingsan.
*****
Berhubung sekarang masih jam belajar efektif, alhasil, Devta tidak bisa menemani Zian yang belum juga sadar di UKS. Padahal, cowok itu ingin menemani Zian di dalam sana, sekaligus menghindar dari pelajaran Bahasa Indonesia. Bukan masalah pelajarannya, tetapi gurunya yang membuat Devta bosan dan malah mengantuk. Pak Banu namanya, guru Bahasa Indonesia yang super mendayu-dayu suaranya jika ia sedang menjelaskan.
Terlepas dari bagaimana kesalnya Devta yang tidak bisa menemani Zian di UKS, Bu Felly yang kali ini sedang tidak ada jam mengajar, secara suka rela menemani Zian di UKS. Anak PMR yang biasanya bertugas menjaga UKS, sedang belajar sekarang. Membuatnya mau tak mau, harus menemani salah satu muridnya yang tengah sakit.
Sambil menunggu Zian sadar, guru muda itu sesekali mencelupkan kembali kain yang digunakan untuk mengompres Zian, ke air dingin. Muridnya itu demam, sementara wajahnya terlihat begitu pucat. Membuat Bu Felly tidak tega melihatnya.
Ia sudah menghubungi orang tua dari Zian, beberapa menit yang lalu. Sekarang, ia hanya perlu menunggu hingga orang tua Zian datang dan muridnya itu sadar, sambil membaca buku.
Asyik dengan kegiatannya, Bu Felly hingga tidak menyadari jika Zian sudah sadar sejak beberapa menit yang lalu. Hal yang Zian lakukan adalah memperhatikan Ibu Guru cantiknya itu. Senyum terpatri di bibirnya, sementara hatinya menghangat.
"Bu Felly," panggil Zian dengan suara pelan, membuat Bu Felly yang tengah fokus dengan bukunya itu dibuat kaget.
"Lho, Zian?" Bu Felly segera meletakkan bukunya di atas meja yang berada di sebelah ranjang. "Kamu sudah sadar? Bilang sama ibu, apa yang sakit?"
Bukannya menjawab, Zian malah tersenyum tipis. Hatinya benar-benar terasa hangat. Bu Felly bahkan bingung, kenapa muridnya itu senyum-senyum. Apa ada yang salah pada dirinya, sehingga membuat Zian menjadi seperti itu?
"Zian," panggilnya lagi. "Kamu nggak apa-apa?"
Zian masih mempertahankan senyumnya seraya menggeleng, "Nggak apa-apa, Bu," jawabnya. Cowok itu memperhatikan apa-apa saja yang Bu Felly lakukan, seraya tersenyum. Membuat Bu Felly jadi bingung dan bertanya-tanya. Apakah Zian memang benar menyukainya atau bagaimana sih? Diperhatikan begitu oleh Zian, membuatnya sedikit risi.
"Ah-um, syukurlah kalau kamu baik-baik saja," ujar Bu Felly akhirnya sembari tersenyum tipis. "Kamu mau ibu buatkan teh? Biar ibu bikinkan, ya?"
Padahal Zian belum menjawab ia mau atau tidak, tetapi Bu Felly sudah bergerak ke arah dispenser dan membuatkan Zian teh hangat.
"Bu Felly," panggil Zian membuat Bu Felly menoleh, sambil menjawab 'ya'.
"Maaf buat beberapa hari yang lalu."
Bu Felly mengernyitkan dahinya, "Maaf buat apa, Zian?"
"Maaf karena udah bikin Bu Felly berpikir kalau Zian nakal," ucap Zian, membuat Bu Felly semakin bingung. "Gara-gara Zian, Bu Felly jadi mikirnya macam-macam."
Bu Felly membawa segelas teh hangat yang telah ia buat dan menyerahkannya kepada Zian yang sudah mendudukkan tubuhnya sembari bersandar di tembok. "Diminum dulu tehnya, ya ...."
Zian menerima teh pemberian Bu Felly, lalu menyesapnya perlahan. "Bu Felly ... sebenarnya maksud Zian deketin ibu selama ini itu karena ...."
Bu Felly diam mendengarkan apa kira-kira yang akan Zian katakan, dengan perasaan was-was.
"Zian cuma suka liat Bu Felly. Zian suka perhatiin Bu Felly karena Zian pengin ngerasain aja, gimana rasanya punya mama. Zian anggap Bu Felly itu mamanya Zian, jadi ... maafin Zian ya, Bu, karena Zian udah bikin Bu Felly jadi risi."
Bu Felly tersenyum melihat bagaimana cara Zian menjelaskan. Padahal, usia muridnya itu baru menginjak 14 tahun, tetapi cara bicaranya sudah sangat baik, kala ia mencoba menyelesaikan masalahnya. "Nggak apa-apa, Zian." Bu Felly semakin melebarkan senyumnya. "Justru saya yang minta maaf, karena sudah berpikiran aneh-aneh."
*****
Sepanjang perjalanan, yang ada di dalam pikiran Fabian hanyalah Zian, Zian dan Zian. Hatinya dilanda cemas sejak berpuluh-puluh menit yang lalu, kala mendengar putranya itu pingsan di sekolah, dari salah seorang guru Zian. Dengan segera, Fabian meminta izin kepada atasannya untuk melihat putranya itu. Ia bahkan sampai izin untuk tak lagi kembali ke kantor. Atasannya maklum, karena paham bagaimana seluk beluk keluarga Fabian.
Entah sudah kali ke berapa, Fabian mengembuskan napas panjang. Kepalanya pusing sekali, apalagi kala mengingat Zian yang akhir-akhir ini susah sekali disuruh sarapan. Fabian sebenarnya sadar, jika dirinya bukanlah seorang ayah yang baik. Setiap pagi saja, ia hanya bisa menyajikan roti lapis untuk putranya itu. Sebenarnya, ia bisa saja membelikan putranya itu sarapan di luar. Hanya saja ... terkadang ia bangun kesiangan, hingga membuatnya tidak sempat pergi ke luar, untuk membelikan Zian sarapan.
Ah, sudahlah. Di saat-saat seperti ini, Fabian seketika teringat dengan mantan istrinya yang entah sekarang ada di mana. Mungkin wanita itu sudah bahagia dengan kehidupannya yang baru. Ingatan tentang mantan istrinya itu, hanya akan membuatnya sesak. Fabian mengusap wajahnya frustrasi. Ia tidak boleh memikirkan masa lalunya yang pahit itu.
Sesampainya di sekolah Zian, Fabian segera berlari kecil menuju ke UKS. Ia sudah hafal, di mana letak UKS di sekolah ini. Suasana sekolah terlihat kondusif, karena masih jam efektif belajar mengajar.
Langkah kaki Fabian seketika terhenti kala ia sampai di depan pintu. Melihat Zian—putranya, tengah bercengkerama dengan seorang perempuan yang membelakanginya. Seketika, Fabian meneguk ludah. Apa Zian benar-benar sedang dekat dengan ... tante-tante? Membayangkannya, membuatnya merinding seketika.
"Papa."
Fabian tersadar dari pemikiran gilanya, seraya menyunggingkan senyum tipis menatap Zian. Ia berjalan mendekat ke arah Zian. Panggilan dari Zian kepadanya, membuat perempuan yang sejak tadi duduk membelakanginya, segera berdiri dan kini menatap Fabian dengan senyum ramahnya.
"Kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Fabian, sembari mengecek kondisi Zian. Putranya itu menggeleng, sambil tersenyum. "Benar nggak apa-apa?"
"Iya, Papa," jawab Zian gemas. "Zian benar nggak apa-apa, kok."
Jawaban dari Zian, membuat Fabian menghela napas lega. Ia sudah dibuat takut setengah mati, tetapi syukurlah jika Zian tidak apa-apa.
"Oh iya, Pa." Zian segera menginterupsi. "Kenalin, ini Bu Felly, Pa. Guru kesayangannya Zian. Cantik 'kan, Pa?"
Fabian lagi-lagi meneguk ludahnya, susah payah. Ia memaksakan senyumnya yang mungkin akan terlihat aneh dan menyeramkan. Ini ceritanya aku lagi dikenalin sama calon mantu, gitu? batinnya. Ini anakku serius, ya, suka sama ... gurunya sendiri?
*****

Komento sa Aklat (67)

  • avatar
    Wayu Tedo

    saya suka

    6d

      0
  • avatar
    FebyFeby

    saya ingin dm

    8d

      0
  • avatar
    alialdi

    anu

    18d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata