logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

5. Salah Paham

Di jam makan siang, Fabian kali ini diajak oleh Budi dan beberapa rekan kantornya untuk makan di sebuah rumah makan yang baru saja buka seminggu lalu. Katanya, makanannya enak-enak dan murah tentu saja. Terlebih lagi, di saat-saat tanggal tua seperti ini, di mana isi dompet sedikit demi sedikit, semakin terkuras hingga menjadi sangat minim keberadaan—uang—nya.
Fajar dan Aji pun juga ikut kali ini. Total, mereka pergi berempat. Sudah seperti pasangan yang sedang melakukan kencan, tetapi tepatnya double date, karena mereka perginya berempat. Cih, sayangnya mereka lelaki semuanya. Sudah berkeluarga tentu saja, dengan anak dan istri yang menunggu di rumah. Ah, iya. Kecuali Fabian yang hanya memiliki putra yang menunggunya. Itu pun kalau Zian sedang tidak bad mood untuk menunggunya, sih.
Seperti biasa, sambil menikmati makanan pesanan mereka masing-masing, keempatnya berbincang santai. Mulai dari pekerjaan kantor yang tidak ada habisnya, para istri yang sudah sibuk bertanya: kapan gaji akan turun? dan anak-anak yang sibuk meminta mainan baru. Semuanya jadi bahan perbincangan keempatnya kali ini. Eh, tidak. Kecuali Fabian yang hanya mendengarnya dan merespons apa saja yang sekiranya bisa ia respons.
"Ini lagi, anak gadis abdi, udah sibuk minta jajan. Katanya persediaan make up-nya udah menipis," ujar Budi sembari memijat dahinya pening. "Entah kapan ini mah, bakal naik pangkat. Pusing abdi."
Ketiga teman satu divisinya itu, tertawa menanggapi. Di antara mereka, baru Fabian dan Budi saja yang sudah memiliki anak usia remaja. Fabian dengan anaknya yang berusia 14, sementara Budi dengan anak gadisnya yang berusia 16. Sedang senang-senangnya dengan make up dan sejenisnya.
Sementara Aji dan Fajar, keduanya masih menikmati masa di mana anak-anak mereka yang tengah gencar-gencarnya meminta mainan baru. Fajar dengan dua anaknya—perempuan dan laki-laki berusia dua dan empat tahun, lalu Aji dengan seorang putrinya yang baru berusia lima, juga istrinya yang tengah mengandung anak kedua.
Perbincangan mereka terus berlanjut hingga membahas ke mana-mana. Membuat Fabian yang sejak tadi ingin bertanya, malah semakin menjadi tak sabar dibuatnya. Sayangnya, ketiga lelaki beristri di hadapannya itu terlalu asyik dengan dunia mereka sendiri. Fabian mereka acuhkan di sini.
"Mas," panggil Fabian pada akhirnya. Ia sudah gemas sejak tadi, takut jam istirahat makan siang keburu habis dan dia yang tidak juga menuntaskan rasa penasaran dalam dirinya.
Panggilan dari Fabian, membuat ketiga lelaki di hadapannya segera menatapnya dengan tatapan bertanya, "Kenapa, Fab?" tanya Fajar, mewakili kedua temannya yang lain.
Fabian mengembuskan napas panjang, kala akhirnya atensi ketiga temannya itu, beralih kepadanya. "Dari tadi aku mau nanya," ujarnya. "Tapi kalian malah asik sendiri."
Bukannya prihatin, ketiga temannya malah tertawa terbahak-bahak, padahal tidak ada yang lucu sama sekali. Definisi teman tidak ada akhlak yang hanya bisa membuat pusing kepala saja.
"Mau nanya apa tho, Fab?" tanya Aji. "Mbok ya kalo mau nanya, langsung aja gitu lho."
"Iya," sambung Budi kemudian. "Kamu ini, kayak sama siapa aja."
Fabian mendengkus mendengarnya. Teman-temannya itu memang aneh.
"Cepet lho, Fab. Mau tanya apa, kamu?" Fajar jadi gemas sendiri dengan kelakuan temannya ini.
"Udah males aku," ucap Fabian, dengan nada kesal. Membuat ketiga temannya itu mendesah. Jauh lebih sebal kepada Fabian yang bertingkah kekanakan. Merajuk, persis seperti anak kecil saja.
"Nggak lucu, Fab." Aji memukul kepala Fabian, dengan tangannya. "Umur udah tua, ndak pantes kamu kayak anak kecil begitu."
Salah lagi, batin Fabian lelah. Mentang-mentang dia yang paling muda di sini, dia menjadi korban terus.
"Cepet ngomong. Keburu jam istirahatnya habis, ini." Budi menyesap kopi yang ia pesan.
Fabian mengambil napas panjang, lantas mengembuskannya. "Ini masalah anu lho ...." Kata-kata penuh ke-ambiguan yang Fabian ucapkan, membuat ketiga temannya semakin gemas. Ingin menguliti Fabian saja rasanya.
"Kamu ngomong dipotong-potong gitu, aku potong juga burungmu!" ancam Aji, membuat Fabian meneguk salivanya susah payah. Aji memang semenyeramkan itu, walau hanya bercanda. Didukung dengan tatapan matanya yang tajam, membuat Fabian semakin takut dibuatnya.
Fabian akhirnya pasrah. Bukankah memang niatnya bertanya tadi? Namun, kenapa sekarang malah susah sekali rasanya? "Begini lho," ujarnya. "Masalah hubungan sama perempuan ... tolong kasih aku pandangan dong, Mas. Mana tahu bisa ngilangin traumaku."
*****
"Bu Felly cantik," panggil Zian, membuat perempuan yang berjalan sembari membawa beberapa buku di tangannya itu, menoleh. Tersenyum kala melihat Zian, muridnya yang paling unik di antara semua yang ia kenal.
"Kenapa, Zian?" tanyanya. Ibu guru cantik itu mendekapkan buku di tangannya, ke depan dada.
Zian menyamakan posisinya dengan Bu Felly, sembari mempertahankan senyumnya. "Bu Felly cantik, deh," ujarnya untuk yang kesekian ratus kalinya. Bu Felly bahkan bosan mendengarnya karena Zian selalu saja mengatakan itu, saat berbicara dengannya.
"Kamu sudah sering bilang begitu, Zian," ujar Bu Felly. Ia kembali melanjutkan langkah menuju ruangannya, diikuti oleh Zian di sampingnya.
"Nggak apa-apa dong, Bu." Zian memberikan senyum terbaiknya, kepada Bu Felly. "Sebanyak apa pun, Zian nggak bakal bosen kok, bilangnya."
"Tapi ibu yang bosan, Zian." Bu Felly terkekeh setelahnya. "Kamu kenapa ikutin ibu? Kamu nggak ke kantin?"
Zian menggelengkan kepalanya. "Nggak mau," jawabnya. "Ke kantinnya nanti aja, soalnya belum lapar."
"Terus, kenapa ikutin ibu?"
"Pengin aja," jawab Zian lagi. "Memangnya nggak boleh ya, Bu?"
Bu Felly mengembuskan napas pendek, "Bukannya nggak boleh," ujarnya. "Tapi ... ini kan jam istirahat. Harusnya kamu pakai waktunya baik-baik, untuk makan. Perut kamu butuh asupan, Zian. Nanti kamu bisa sakit kalau nggak makan."
Entahlah mengapa, hati Zian seketika menghangat dibuatnya. "Bu Felly baik banget, deh," ujarnya membuat Bu Felly mengernyitkan dahinya bingung. "Ibu perhatian banget sama Zian. Jadi makin sayang, deh. Ibu udah punya pasangan atau belum, sih?"
Seketika, Bu Felly terdiam. Apa tadi kata Zian? Sayang? Lalu bertanya dirinya sudah punya pasangan atau belum? Astaga, apa anak muridnya itu sudah gila? "Zi-Zian," panggilnya dengan nada tergagap.
"Kenapa, Bu?" tanya Zian. Mata cowok itu berbinar, membuat Bu Felly semakin berdebar-debar.
"Kamu tadi bilang apa?" tanya Bu Felly memastikan.
Zian mengernyitkan dahinya bingung. "Bilang apa?" beonya. "Banyak, kok. Zian ngomong macam-macam tadi, sama Ibu."
Bu Felly menggeleng-gelengkan kepalanya, "Bukan, bukan semuanya," ucap ibu guru cantik yang satu itu. "Waktu kamu bilang kalau ibu perhatian tadi ... kamu bilang apa?"
Cowok 14 tahun itu, semakin bingung. "Memangnya kenapa, Bu?" tanya Zian akhirnya.
Bu Felly menghela napas panjang, "Tadi kamu bilang sayang sama saya."
Oh ... itu, batin Zian. "Iya dong, Bu. Zian sayang banget sama Bu Felly," ujarnya sambil terkekeh. Membuat bu Felly semakin sering meneguk salivanya. "Memangnya kenapa, Bu?"
"Ah, nggak apa-apa." Bu Felly menggelengkan kepala. Ia kemudian menarik napas dalam-dalam, sembari memperhatikan Zian. Suasana koridor yang sepi sebab para siswa yang tengah menuntaskan lapar dan dahaga mereka, membuat Bu Felly memantapkan niatnya, untuk bicara kepada Zian. Agar anak muridnya itu, bisa segera kembali ke jalan yang benar. "Zian," panggilnya.
"Iya Bu guru cantik?" sahut Zian dengan kedua mata berbinar.
"Boleh saya bicara serius denganmu?"
Serius? Wah, ada apa nih? Zian deg-degan deh, batin Zian lagi. "Boleh dong, Bu." Zian jadi semangat seketika.
Bu Felly menatap Zian lekat-lekat. "Zian," ucapnya dengan nada serius. "Kamu masih muda, jalanmu masih panjang. Kamu harus belajar baik-baik, supaya bisa membanggakan orang tuamu."
Zian bingung jadinya. Ini kenapa Bu Felly jadi bahas-bahas jalan yang masih panjang segala? Iya, dong. Kalau jalannya pendek, artinya itu jalan buntu, bukan jalan panjang lagi. Bu Felly ini suka aneh, deh. "Memangnya kenapa, Bu?" tanya Zian tak mengerti.
"Kamu jangan mikirin apa-apa dulu selain belajar, Zian. Kamu masih terlalu kecil untuk mengerti."
Bu Felly kenapa, sih? Tanya Zian semakin tak mengerti. "Maksud Bu Felly apa, sih? Zian nggak ngerti, Bu." Zian bahkan sampai menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.
Bu Felly menghela napas panjang. "Kamu suka sama saya, kan?" tanyanya langsung, membuat Zian terbelalak. "Kamu masih terlalu kecil, Zian. Fokus belajar saja, ya? Jangan mikirin apa-apa lagi selain itu."
Setelah mengatakan itu, Bu Felly segera melanjutkan langkah menuju ruangannya. Membuat Zian yang terdiam di tempatnya, merasa tidak percaya. Apa tadi Bu Felly bilang? Zian langsung cemberut seketika. Kenapa semua orang jadi salah paham begini, sih?
*****

Komento sa Aklat (67)

  • avatar
    Wayu Tedo

    saya suka

    6d

      0
  • avatar
    FebyFeby

    saya ingin dm

    8d

      0
  • avatar
    alialdi

    anu

    19d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata