logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

4. Papa Gay?

"Lo itu anak pungut, ya? Kok nggak ada mamanya, sih?"
Zian menoleh saat pertanyaan yang ditujukan kepadanya, terdengar. Cowok itu mengangkat bahu acuh. Walaupun kenyataannya, pertanyaan sesederhana itu lumayan menyayat bagian hatinya yang terdalam. "Nggak tahu," jawab Zian santai. "Memangnya kenapa kamu nanya begitu? Kamu mau kasih mama, buat Zian?"
Setelah mengatakan hal itu, Zian kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas. Ini memang bukan kali pertama bagi Zian. Ia sudah terlalu sering diberi pertanyaan seperti ini. Sejak lama, Zian terlalu apik berbohong. Ia bertingkah seolah-olah tidak pernah memikirkan pertanyaan mereka, tetapi lama kelamaan, Zian tidak tahan. Hei, dia juga manusia yang bisa saja merasa lelah terus-menerus bersabar.
"Kenapa, Zi?"
Zian hanya diam, kala suara Devta terdengar. Jujur, hatinya terasa tercubit. Ada sesuatu tak kasat mata yang menyakiti hatinya.
"Zi," panggil Devta. Ia meletakkan tangannya di atas bahu Zian, lalu menepuknya pelan. "Zian."
"Nggak usah ngomong sama Zi dulu," sahut cowok itu. Ia kemudian menungkupkan wajahnya di atas meja, beralaskan kedua tangan. Membuat Devta semakin bingung melihatnya. "Zi lagi malas ngomong soalnya."
Devta mengembuskan napas keras, lantas bangkit dari duduknya. "Kasih tau gue, siapa yang bikin lo kayak gini!" ucapnya membuat Zian menggeleng dengan kepala yang masih telungkup.
"Zi!" sentak Devta kepada sahabatnya itu. "Jawab buruan, gue nggak suka liat lo kayak gini."
Zian akhirnya mengangkat kepalanya, lantas menatap Devta dengan tatapan malas. Matanya memerah, pun juga dengan wajahnya. Devta menyadari satu hal, jika sahabatnya itu hendak menangis. Devta memilih kembali duduk, merangkul bahu Zian sembari menepuk-nepuk bahunya dengan lembut. "Jangan tahan kalo emang pengin nangis," ujar Devta, tepat sasaran.
"Devta," panggil Zian, membuat sahabatnya itu menoleh sembari bertanya 'kenapa'. Zian mengembuskan napas pendek. "Memangnya salah ya, kalau Zian nggak punya mama?"
Devta diam, sebab tak tahu harus menjawab apa. Ia memang tak paham bagaimana rasanya tidak memiliki ibu. Dia juga tidak mau berlaku sok tahu, dengan memberikan beragam nasihat juga pandangan untuk Zian. Devta hanya bisa menenangkan sahabatnya itu sebisa mungkin, dengan cara merangkulnya.
"Nggak masalah lo nggak punya mama," ujar Devta menenangkan. "Yang penting, lo punya gue dan papa lo. Lo nggak sendirian, Zi."
"Tapi kenapa mereka selalu aja ejek Zian yang nggak punya mama? Kenapa? Memangnya Zian nggak punya hati, apa? Zian capek diejekin terus." Zian meluapkan semua isi hatinya dengan mata merah. Ia tidak bisa menangis sekarang. Terlalu sakit menahan air matanya, tetapi air mata itu bahkan tidak mau keluar sama sekali.
Kelasnya sekarang mendadak sepi. Padahal, tadi beberapa siswa yang berada di dalamnya tampak asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Namun, setelah melihat Zian dan Devta, lalu menguping pembicaraan mereka, membuat semuanya diam. Tidak mau mengganggu apa yang dilakukan dua sahabat itu. Enggan ikut campur dalam urusan mereka.
"Iya, Zi. Gue ngerti, kok. Lo—"
"Kenapa mereka cuma bisa ngomong doang? Kenapa mereka cuma bisa ejekin Zian doang?" tanya Zian, memotong perkataan Devta. "Zian juga pengin kok, punya mama. Memangnya siapa yang nggak mau punya mama?"
Bisik-bisik di belakangnya, membuat Devta menoleh. Mendapati beberapa teman sekelasnya tampak berkumpul, memperhatikan keduanya sembari berbisik. Devta menatap teman sekelasnya itu dengan tatapan membunuh. Membuat mereka yang tengah berkumpul itu, langsung balik badan menuju kursi mereka masing-masing. Devta benar-benar tidak habis pikir, kira-kira apa isi kepala teman sekelasnya itu.
"Devta," panggil Zian. Devta menyahut dengan dehaman pelan. "Apa ada orang yang jualan mama? Kalau ada, kasih tahu Zian di mana? Zian pengin beli mama."
Devta mendengkus mendengarnya. Zian ini kadang-kadang menyebalkan sekali. Segera, ia mengacak pucuk kepala Zian, persis seperti yang dilakukan seorang kakak kepada adiknya. "Ada, Zi," sahutnya. "Mama lemon, tuh. Sabun cuci piring."
Garing, sih, tetapi berhasil mengembalikan binar di mata Zian.
*****
"Loh, Zi. Kamu kenapa, Nak?"
Pulang dari kantor, Fabian mendapati putranya yang menangis di ruang tengah. Duduk dengan kedua kaki dilipat, juga kepala yang menelungkup. Suaranya terdengar sesenggukan, membuat Fabian segera menghampiri Zian. "Zi, kenapa Nak?"
Zian yang mendengar suara Fabian, langsung mengangkat wajahnya. Membuat Fabian semakin merasa sesak, kala melihat wajah putranya yang dibasahi air mata. Zian langsung menghambur ke dalam pelukan Fabian, masih dengan sesenggukan. "Papa ...." Cowok itu merengek, membuat Fabian semakin tak tega mendengarnya.
"Kenapa, Nak? Kamu kenapa? Siapa yang nakalin kamu, hah? Bilang sama papa," ujar Fabian sembari mengusap punggung putranya dengan lembut.
"Zi diejekin di sekolah," ucap Zian. Persetan jika ia dibilang tukang ngadu, atau apa pun. Yang jelas, Zian benar-benar capek. Dia butuh papa untuk membuatnya tenang. Biar bagaimanapun, hanya papa yang mengerti dirinya lebih dari apa pun. Walaupun papa lebih sering bertingkah menyebalkan dan membuat Zian kesal, tetapi ia tetap butuh papa.
Fabian sendiri kaget, kala mendengar apa yang putranya katakan. Diejek? Bukankah itu adalah salah satu tindak perundungan? "Siapa, Zi? Bilang sama papa. Siapa yang ejekin kamu?"
"Temen-temen, Pa," jawab Zian. Cowok itu mengusap air mata yang mengalir dari wajahnya dengan kasar. "Mereka bilang Zian anak pungut." Terdengar suara tarikan ingus yang Zian buat karena terlalu lama menangis.
"Anak pungut gimana, sih?" Fabian mendadak meradang. Jelas-jelas, Zian adalah putranya. Putra kandungnya. Lalu dari mana anak-anak ingusan itu sembarang menyimpulkan sesuatu, semacam itu? Membuat geram saja. "Kamu itu anak papa. Anak kandung papa. Siapa yang ngomong gitu? Siapa namanya, biar papa pites satu-satu kepalanya sampai lepas dari leher!"
Zian menggeleng. Tidak mau mengatakan siapa yang telah membuatnya seperti ini secara spesifik. "Mereka bilang Zian anak pungut karena nggak punya mama," ujarnya. Masih dalam pelukan papa, Zian menumpahkan segala keluh kesahnya. Segala letih dan rindu mendalam kepada sosok yang seharusnya dipanggil 'mama'. "Memangnya salah ya, Pa, kalau Zian nggak punya mama?"
Fabian diam. Dia tak tahu harus menjawab bagaimana. Terlalu stres memikirkan segalanya. Ia hanya bisa mengusap punggung Zian dengan sayang. Mengingatkan kepada putranya itu, kalau dia tidak sendirian.
"Pa," panggil Zian. Kali ini, ia mendongakkan kepalanya menatap sang papa. Fabian juga balas menatap putranya itu dengan lembut, sembari menunggu kira-kira apa yang ingin Zian katakan. "Zian pengin punya mama."
Pusing. Fabian bingung sekarang, demi Tuhan. Di satu sisi, ia enggan menjalin hubungan apa pun lagi dengan yang namanya perempuan. Namun, di sisi lain, ia tidak mau membuat putranya sedih. Berat sekali rasanya, kala melihat betapa tulus permintaan Zian, dari mata putranya itu.
"Zi ...." Fabian meletakkan kedua tangannya, di bahu Zian. "Papa nggak bisa," jawabnya.
Zian tak mengerti, apa yang papanya maksud. Tidak bisa bagaimana? Cowok itu menatap papa semakin dalam. "Nggak bisa kenapa, Pa?"
Mengembuskan napas panjang, Fabian mencoba memilih kata-kata yang sekiranya pantas ia ucapkan. Tidak mau gegabah dan membuatnya malah berakhir dengan memalukan di hadapan putranya. "Papa belum bisa, Zi. Papa nggak bisa menjalin hubungan sama perempuan mana pun. Papa ...."
"Nggak bisa? Kenapa, Pa?"
"Papa ... papa juga nggak tahu kenapa, Zi. Tapi papa benar-benar nggak bisa. Papa bahkan nggak percaya lagi sama yang namanya perempuan. Mereka ...."
"Papa nggak suka sama perempuan?" tanya Zian membuat Fabian menatapnya dengan tatapan bersalah.
"Maaf, Zi. Papa ...."
"Papa beneran nggak suka sama perempuan, Pa?" tanya Zian lagi. Air mata di wajahnya sudah mengering, tetapi sisa-sisa tangisnya masih ada. Matanya merah dan sedikit bengkak.
Fabian menghela napas pendek, "Bukan nggak suka, Zi. Papa hanya ... pokoknya papa nggak bisa menjalin hubungan sama perempuan, Nak." Ia mengusap pucuk kepala putranya dengan lembut. "Maaf, bukannya papa nggak mau kasih kamu mama. Tapi papa memang nggak bisa."
Berbelit-belit. Membuat Zian pusing saja. Namun, cowok itu seketika teringat dengan salah satu teman di kelasnya—Sasha—yang senang sekali membaca cerita dengan tokoh laki-laki yang menyukai sesama jenis. Indikasinya persis seperti papa yang tidak mau menjalin hubungan dengan perempuan. Zian mulai memikirkan yang aneh-aneh. Ia menatap papa dengan tatapan tak percaya, "Papa ...." Zian ragu menyelesaikan kata-katanya. Bagaimana jika apa yang ada dalam pikirannya adalah sebuah kebenaran?
"Maafin papa, ya," ujar Fabian lagi, membuat Zian semakin yakin jika papanya memang seperti apa yang ia pikirkan. "Papa janji, papa bakal bikin kamu bahagia kok, Nak. Janji. Kamu nggak perlu mama, karena papa udah cukup buat kamu, heum?"
Zian mengerjap, lantas segera bangkit dari duduknya. Sedikit menjauh dari papa, membuat papa melihatnya dengan tatapan bingung. "Papa ... jangan bilang Papa gay, ya?" tanyanya langsung, membuat Fabian seketika terdiam.
Fabian auto shock. Bukan dengan tuduhan yang Zian berikan kepadanya, tetapi lebih kepada ... Zian tahu kata gay dari mana, ya Tuhan? batinnya bertanya-tanya.
*****

Komento sa Aklat (67)

  • avatar
    Wayu Tedo

    saya suka

    6d

      0
  • avatar
    FebyFeby

    saya ingin dm

    8d

      0
  • avatar
    alialdi

    anu

    19d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata