logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

3. Bu Guru Cantik

"Pa. Papa tahu, nggak?"
Fabian yang tengah membuka karet bungkusan berisi nasi padang—dan memindahkan isinya ke atas piring—dibuat menoleh kepada putranya yang kini tampak asyik memainkan ponsel. "Nggak tahu, Zi," jawabnya. "Kan kamu belum kasih tahu, Nak."
Zian segera menyudahi permainan game online di ponselnya, lantas menghampiri papa, yang berdiri di samping meja makan. "Di sekolah, ada bu guru cantik lho, Pa," ujarnya semangat.
Papanya itu sempat mengernyitkan dahi kebingungan, tetapi ia tetap melanjutkan kegiatannya memindahkan makan malam yang baru saja ia beli di luar. "Terus, kenapa?" tanyanya. "Mending sekarang kita makan malam dulu. Udah hampir jam delapan."
"Tapi Zian mau cerita, Papa." Cowok itu bersikukuh ingin menceritakan tentang ibu guru cantik yang berada di sekolahnya. Akan tetapi, sepertinya papa tidak terlalu tertarik akan ceritanya itu, deh.
"Nanti saja ceritanya, ya? Keburu dingin ini lho, makanannya."
Zian akhirnya mengembuskan napas pasrah. Cowok itu kemudian mendudukkan bokongnya di atas kursi, lantas melipat kedua tangan di atas meja. "Zi makannya sambil cerita ya, Pa?"
"Kalau makan nggak boleh sambil ngomong, Zi," ucap papa, membuat Zian menggembungkan pipinya sebal.
"Terus, Zi ceritanya kapan dong, Pa?" tanya Zian tak sabar, membuat papa tertawa pelan. Lelaki itu menyerahkan sebungkus nasi padang yang telah ia alasi piring, pada Zian.
"Kan bisa nanti, Nak."
"Ya udah, deh." Zian akhirnya pasrah saja. Cowok itu segera menyuapkan nasi beserta lauknya, ke dalam mulut. Mengunyahnya dengan kunyahan lambat, menjurus ke arah malas. Melihatnya, papa jadi gemas sendiri. Zian memang sudah besar. 14 tahun, tetapi putranya itu selalu saja bertingkah manja layaknya anak kecil. Tidak apa-apalah, yang penting Zian tumbuh sehat dan bahagia. Itu saja.
*****
Setelah selesai makan malam, Zian makin tidak sabar untuk bercerita kepada papa. Ia kadang kesal melihat papa yang sengaja menghindar darinya. Mulai dari mencuci piring—yang sebenarnya tidak kotor—menyapu lantai, membersihkan sofa dan lain sebagainya. Jujur, deh. Zian jadi gemas sekali.
"Papa," panggil cowok itu dengan kedua pipi yang menggembung.
Papa sekarang baru saja selesai menyapu lantai. Lelaki itu, berdeham sembari mendekat ke arah putranya yang terlihat cemberut. "Kenapa, Zi? Kalau udah ngantuk, tidur gih," suruhnya.
"Kan Zian mau cerita, Papa," desah Zian sebal. Namun, bukannya merasa bersalah, papanya itu malah tertawa sambil mengacak-acak puncak kepalanya.
"Ya sudah, ayo cerita," katanya. "Duduk, sini."
Ayah dan anak itu segera menduduki sofa, sementara papa terlihat merangkul Zian dengan sayang. "Coba, anak papa mau cerita apa?"
Zian awalnya sudah malas. Ingin tidak jadi cerita saja kepada papa, tetapi sudah kepalang tanggung. Kalau ditunda-tunda, nanti dia malah lupa dan jadi tidak seru lagi, deh. "Itu, Pa." Zian memulai ceritanya.
Papa sebisa mungkin mendengarkan cerita Zian dengan baik. Lelaki itu merangkul, sambil sesekali mengusap pucuk kepala putranya sayang. "Itu apa?"
"Di sekolah, 'kan Zian—"
"Kenapa di sekolah? Kamu di-bully sama teman-teman kamu? Bilang sama papa, siapa yang bully kamu, hah?"
Zian mengembuskan napas kesal. Papa ini bagaimana sih? Dia saja belum menyelesaikan kalimatnya, tetapi papa dengan seenak hatinya memotong percakapan. Duh. Zian benar-benar kesal deh, kalau begini jadinya.
"Bukan gitu, Papa!" Zian ngegas. "Makanya, Papa dengerin Zi cerita dulu!"
Papa tertawa pelan, kala ia menyadari kebodohannya. "Ya sudah, maaf deh," katanya. "Lanjut ceritanya, gih."
"Jadi nggak mood," ucap Zian. "Papa sih, main potong-potong aja."
"Potong bebek angsa, Zi?" tanya papa tak nyambung. "Masak di kuali? Nona minta dansa, dansa empat kali?"
Sabar. Zian tidak boleh menghujat papanya. Biar bagaimanapun, papa adalah orang tua yang paling hebat baginya. Seberapa kuat pun hasrat Zian untuk menghujat papa, tetapi ia harus menahannya. Daripada nanti dia jadi anak durhaka, 'kan bahaya.
"Papa mah ... nggak asik," gerutu Zian. Cowok itu bangkit dari duduknya, membuat papa mengernyit bingung. "Zian mau tidur aja."
"Eh, jangan dong." Papa coba menahan Zian, supaya putranya itu tidak merajuk. Mungkin, candaan garing yang tadi ia lontarkan benar-benar tidak menarik di mata Zian. Iya, putranya itu sedang tidak bisa diajak bercanda rupanya. "Maaf ya, maafin papa. Papa cuma bercanda, kok. Ayo, lanjutin."
"Nggak ah. Nanti Papa potong lagi," ujarnya sembari melipat kedua tangan di depan dada.
"Kali ini enggak kok, Zi. Papa janji, deh. Ayo, duduk lagi. Lanjutin ceritanya," pinta papa, dengan nada sungguh-sungguh.
Lagi, Zian mengembuskan napasnya lelah. Padahal, ia hanya ingin bercerita saja pada papa. Namun, ujung-ujungnya malah jadi sangat-sangat panjang begini, durasinya. Terlalu banyak membuang-buang waktu dan terkesan bertele-tele. Ini kalau Zian sedang diwawancara kerja, pastinya ia tidak akan diterima dengan mudah, jika seperti ini caranya.
"Papa kenal gurunya Zian, nggak?" tanya cowok itu, memulai ceritanya.
Papa mengernyit, lantas menggeleng pelan. "Enggak, tuh. Siapa?" tanyanya. "Papa cuma kenal sama kepala sekolahmu aja, sama wali kelas 7 dan 8 kamu dulu. Selebihnya papa nggak kenal, tuh. Emangnya kenapa?"
"Papa belum kenal ya, sama wali kelasnya Zian yang sekarang?"
Papa menggeleng, "Belum kenalan, jadinya nggak kenal," kata papa, membuat Zian mengulum senyum. Ah, apa ini tandanya ... papa sedang memberi kode untuk diajak berkenalan dengan wali kelasnya itu, ya? Jika iya, maka dengan senang hati Zian akan melakukannya.
"Papa tahu nggak, Pa? Wali kelas Zi yang sekarang, cantik banget lho, Pa."
Papa mendengarkan Zian bercerita dengan dahi berkerut. Lelaki itu sibuk bercokol dengan pikirannya sendiri. Cantik banget? tanyanya dalam benak. Seperti ada kejanggalan dalam cerita anaknya itu. "Terus, gimana?"
"Iya, Pa. Namanya Bu Felly," tambah Zian. "Masih muda tahu, Pa. Cantik, baik, terus kalau ngomong tuh lembut banget, Pa. Zian suka deh, lihatnya."
Papa meneguk salivanya susah payah. "Kamu suka?" tanyanya. Jelas saja Zian mengangguk menjawabnya.
"Suka banget, Pa." Zian menceritakannya dengan semangat menggebu-gebu. "Bu Felly tuh sabar banget tahu, Pa. Zian 'kan sering nanya-nanya pelajaran sama Bu Felly, terus Bu Felly tuh jawabnya lembut, banget. Suaranya bikin tenang, kalo lagi jam pelajaran, bawaannya Zian senang terus liatin Bu Felly."
Papa menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia tidak mengerti dengan kalimat berbelit-belit yang Zian katakan. "Jadi, kesimpulannya apa?" tanyanya.
Zian menyunggingkan senyum manisnya, sementara kepalanya ia dongakkan, seolah-olah tengah menatap masa depan yang cerah. "Zi suka sama Bu Felly," ujarnya membuat papa semakin was-was. "Pengin deh, suatu hari nanti … Bu Felly jadi—"
"Jangan diteruskan," potong papa, membuat Zian mengernyitkan dahinya tak mengerti.
"Kenapa, Pa?" tanyanya. "Padahal, Zi belum selesai ngomong."
Papa menghela napas panjang, "Kamu masih kecil, Nak. Jangan mikir aneh-aneh dulu. Mending, kamu fokus sama sekolah aja, ya?"
"Ha?" Zian semakin tidak mengerti. Kira-kira, apa maksud papa bilang begitu? Perasaan sejak tadi, ia tidak bicara aneh-aneh, deh. Hanya sedikit berbelit di kalimatnya tadi, saking sulitnya mendeskripsikan seorang Bu Felly. Lalu, kenapa papa malah jadi seperti ini?
"Iya. Kamu 'kan masih kecil, masa depanmu masih panjang, Nak. Jangan mikirin yang aneh-aneh dulu, ya?"
"Zi nggak mikirin yang aneh-aneh, kok, Pa." Zian mengernyitkan dahinya dalam-dalam. "Zi cuma mengutarakan apa yang ada dalam pikiran Zi, kok, nggak lebih. Nggak aneh-aneh juga, seriusan deh."
Terdengar helaan napas panjang dari papa, membuat Zian semakin bingung. Memangnya ada apa sih dengan papa? "Kamu naksir 'kan, sama guru kamu itu?" tanya papa. "Jangan sekarang ya, Nak. Kamu—"
"Bukan gitu, Papa!" Zian ngegas akhirnya. Ya ... bagaimana tidak ngegas, kalau punya papa seperti ini?
"Terus, apa?" tanya papa. Lelaki itu tampak berpikir sejenak, seraya membulatkan matanya dramatis. "Jangan bilang, kamu mau langsung nikahin guru kamu itu, ya?" Wajahnya terlihat shock, berbanding terbalik dengan Zian yang ingin guling-guling di tanah, seketika. "Astagfirullah, Zian. Kamu masih kecil, Nak. Jangan begini dong, Sayang."
Sudah, deh. Zian mau ngambek saja kalau begini jadinya.
*****

Komento sa Aklat (67)

  • avatar
    Wayu Tedo

    saya suka

    6d

      0
  • avatar
    FebyFeby

    saya ingin dm

    8d

      0
  • avatar
    alialdi

    anu

    19d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata