logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Sandwich & Kisah Cinta Papa

Sandwich & Kisah Cinta Papa

Winka Choi


1. Zian ingin Mama Baru

Fauzi Sakha Aubrian atau yang akrab disapa Zian, terlihat mengembuskan napas panjang, kala ia baru saja mendudukkan bokongnya di meja makan. Menatap apa yang berada di atasnya dengan tatapan tanpa minat, juga wajahnya yang ditekuk sebal.
Sandwich, lagi.
Kalau tidak salah ingat, papa selalu saja menyajikan roti lapis itu sejak Zian masih duduk di bangku sekolah dasar. Dulu, Zian masih biasa saja, tidak pernah protes sama sekali. Namanya juga anak-anak. Dia akan makan apa saja yang papanya siapkan. Namun, sekarang porsinya sudah berbeda tentu saja. Dia sudah besar dan pastinya memiliki rasa bosan tersendiri jika hanya itu-itu saja yang selalu dimakan. Bukannya tidak bersyukur, tetapi bagaimana ya? Jika sejak sekolah dasar hingga ia kelas 3 SMP seperti ini, sarapan yang disiapkan papa selalu saja roti lapis, apa iya dia tidak akan bosan?
Papa tidak bisa memasak. Bahkan untuk memasak mi instan saja, papa tidak bisa. Kadangkala saat papa memasak mi, ada saja yang salah. Terlalu lembek atau bahkan tidak matang sama sekali. Airnya terlalu banyak dan segala kesalahan-kesalahan yang lain. Intinya, papa sangat-sangat buruk dalam urusan memasak. Pernah waktu itu, ayahnya memasak mi instan. Karena terlalu asyik berbalas pesan dengan teman-teman kantornya, mi yang tengah ia masak seketika berubah menghitam dengan kata lain, 'gosong'. Ya, papa memang seburuk itu dalam memasak.
Papa hanya bisa membuat telur mata sapi. Itu pun terkadang gosong di sebagian sisi, terlalu asin, bahkan tak ada rasa sama sekali. Sepertinya, papa tidak pernah belajar dari masa lalu, deh. Maka dari itu, hasilnya selalu saja buruk.
Terkadang, kalau papa tidak sempat membuat roti lapis, papa akan membeli sarapan di luar. Itu pun saat ia berangkat ke kantor, sekaligus mengantarkan Zian ke sekolah. Selebihnya, papa akan selalu membuatkan roti lapis, baik itu yang berisi selai aneka rasa, mesis, keju atau telur dan daging asap.
"Loh, kok sarapannya belum dimakan, Zi?"
Zian melirik papanya yang datang mendekat, lantas duduk di sampingnya setelah sempat mengacak rambut sang putra beberapa saat. "Bosan," jawab cowok itu dengan jujur.
Papa diam saja kala mendengar apa yang Zian katakan, tetapi lelaki itu bisa dengan cepat menguasai diri. "Bosan kenapa?" tanyanya. "Hari ini, papa bikin sandwich-nya pakai telur sama smoke beef, lho. Yakin, nggak mau?"
"Tiga hari lalu, Papa juga bikin sandwich yang isinya telur sama smoke beef," jawab Zian dengan cepat. "Terus, kemarin Papa bikin yang isinya selai cokelat, kemarinnya lagi, papa bikin pakai mesis."
Papa menggaruk dahinya yang tiba-tiba saja terasa gatal. Lelaki itu tertawa pelan, kala menyadari wajah anaknya yang ditekuk. "'Kan biar bervariasi, Zi," jawabnya. Ia sempatkan diri mengacak pucuk kepala Zian, untuk yang kesekian kalinya.
"Tapi Zian bosan Pa, masa setiap hari sarapannya sandwich, sih?" protes cowok itu. Ia melipat kedua tangan di atas meja, sementara wajahnya semakin ditekuk dalam-dalam. Bibirnya maju beberapa senti, membuat papa jadi gemas ingin mencubit pipi putranya itu.
"Ya sudah." Papa mencoba menenangkan Zian, agar putranya itu tidak lagi cemberut. "Besok papa belikan sarapan di luar, deh. Mau apa? Biar papa belikan. Tapi, sekarang habiskan dulu sarapan yang ini, ya?"
"Zian bosan, Papa." Cowok itu tetap teguh pada pendiriannya. "Nggak mau makan."
Papa menghela napas pendek, sembari menatap lekat wajah putranya itu. "Harus makan dong, Nak," ujarnya. "Nanti kamu sakit kalau nggak sarapan. Kalau asam lambungnya naik, bagaimana?"
"Tapi Zian nggak mau sarapan sandwich terus, Pa." Suara cowok itu sedikit naik, membuat Fabian—papanya, harus memupuk kesabaran yang lebih banyak lagi.
"Ya sudah, kita beli sarapannya di jalan saja, ya? Mau makan apa?" tanya Fabian dengan lembut.
"Nggak mau sarapan," jawab Zian, membuat papa semakin bingung dibuatnya.
"Lho, terus maunya apa?"
"Zian pengin mama baru."
Untuk sepersekian detik, Fabian terdiam mendengar apa yang putranya itu katakan. Jantungnya seolah lompat, lalu terjatuh dari tempatnya hingga ke lambung. Sungguh, ia tidak siap dengan permintaan putranya yang satu ini. Iya, benar. Sejauh ini, Fabian selalu berusaha menuruti segala permintaan Zian. Apa pun akan coba ia turuti, tetapi tidak dengan yang satu ini.
Lelaki 35 tahun dengan nama lengkap Fabiantara Aubrian itu, menghela napas panjang, sembari memijat pangkal hidungnya perlahan. "Zi, dengarkan Papa." Ia menatap putranya yang masih saja cemberut itu.
Bagaimanapun caranya, ia harus menjelaskan kepada Zian, kalau apa yang putranya minta itu, bukanlah hal mudah yang dapat direalisasikan secepat kilat. Butuh persiapan matang dan tentu saja niat yang kuat. Jika tidak ada niat, lalu bagaimana semuanya akan berjalan dengan semestinya sementara terbayang dalam pikiran saja, Fabian lupa, kapan terakhir kalinya.
"Kamu boleh minta apa saja sama Papa, tapi jangan yang aneh-aneh dong, Nak. Papa—"
"Zian nggak minta yang aneh-aneh kok, Pa." Cowok itu memotong kalimat papanya, dengan segera. "Memangnya salah ya, Pa, kalau misalnya Zian pengin punya mama?"
Sakit. Fabian dapat merasakan getar yang tercipta dari suara putranya. Ia jelas tahu, Zian pastinya membutuhkan kasih sayang seorang ibu. Namun, sayangnya Zian memiliki ayah yang salah. Fabian tidak bisa mewujudkan permintaan Zian dengan suatu alasan yang sangat sulit ia jelaskan. Dia memang bukan ayah yang terbaik bagi Zian. Dia tidak pantas menyandang status sebagai seorang ayah. Fabian malu mengakui itu.
"Zi, Papa—"
Zian tidak mau mendengarkan papa. Cowok itu bangkit dari duduknya, sembari meraih ransel yang sempat ia letakkan di atas meja makan. "Zian berangkat, Pa," ujarnya. Cowok itu langsung pergi meninggalkan papa yang masih diam di tempatnya dengan perasaan bersalah.
Dia memang terlalu bodoh dan tidak sepantasnya menjadi seorang ayah. Fabian benar-benar merasa malu dengan dirinya sendiri. Apa yang harus ia lakukan, agar putranya bisa mengerti posisinya?
*****
Fabian terus saja teringat permintaan Zian. Bahkan, saat pekerjaan di hadapannya sudah menumpuk sedemikian rupa, lelaki itu masih tetap memikirkan apa yang Zian katakan. Ia pusing memikirkannya, tetapi tidak bisa berhenti mengingatnya begitu saja.
"Fab, Fabian!"
Fabian tersentak, kala bahunya tiba-tiba ditepuk dari sisi samping. Membuat lelaki itu segera mengusap wajahnya dengan telapak tangan, menyadari dirinya yang bengong sejak tadi. "Y-ya, kenapa, Mas?" tanya Fabian, kepada rekan kerjanya yang berdiri tepat di samping kirim.
"Kamu yang kenapa?" tanya lelaki itu—Fajar namanya. "Dari tadi bengong, aja. Mikirin apa?"
Fabian menghela napas panjang, lantas menggeleng pelan. "Nggak mikirin apa-apa kok, Mas," ujarnya. "Cuma ... ini lho, kerjaan numpuk banget. Pusing jadinya," alibi lelaki itu.
Fajar menggelengkan kepala saat melihat gelagat aneh dari rekan satu direksinya itu. Ia mencoba mencairkan suasana, "Kalau numpuk, ya dijejerin ajalah, Fab. Biar nggak numpuk lagi," candanya.
Fabian tertawa renyah, mendengar candaan Fajar yang sebenarnya tidak terlalu lucu itu. "Iya, Mas. Nanti tak jejerin, kok. Gampanglah."
"Gampang udelmu item," gerutu Fajar sembari menghela napas panjang. Lelaki itu menepuk-nepuk bahu Fabian beberapa kali. "Ada masalah apa, tho? Mbok ya cerita, kalo ada masalah. Biar bebannya nggak berat-berat amat."
"Nggak ada, Mas," jawab Fabian. "Cuma anu ... itu ...."
"Anu, itu, apa tho? Yang jelas kalo ngomong."
Fabian mengembuskan napas panjang. Ia sempat melirik kubikel yang berada di sisi kanan dan kirinya, kemudian berujar pelan kepada Fajar, "Anakku iki lho, minta mama baru, katanya."
Fajar tertawa pelan mendengar apa yang rekan kerjanya itu katakan. Ada-ada saja memang Fabian ini. Anaknya minta mama baru, tetapi dia sampai bingung seperti ini. "Ya tinggal dicarilah," katanya enteng. "Kamu sih, tak kasih tunjuk calon-calon sama anak-anak, nggak ada yang mau. Jual mahal, kamu!"
"Bukannya jual mahal, Mas." Fabian mendelikkan matanya sebal, kala dirinya dikira jual mahal. "Aku masih belum siap aja, masih trauma iki, aku."
"Ini sudah belasan tahun lho, Fab. Masa belum hilang juga traumamu itu?"
"Ya, masa bisa hilang begitu saja sih, Mas? Nggak mungkilah," sergah Fabian cepat.
"Nah, itu kamu tahu." Fajar kemudian berjalan kembali ke kubikelnya yang berada tepat di sisi kanan kubikel di mana Fabian berada. "Traumamu nggak bakal hilanglah, kalau kamunya sendiri nggak coba melawan. Trauma itu, ibarat peraturan, Fab. Peraturan ada untuk dilanggar. Terus, kamu mau apa lagi? Diam di tempat terus?"
Fabian diam, mendengarkan apa yang Fajar ucapkan. Memang ada benarnya juga, sih, tetapi dia benar-benar belum siap akan itu. Dia takut kalau apa yang ia usahakan, ujung-ujungnya akan bernasib sama. Sia-sia saja, lalu gagal.
"Kalo nggak sekarang, terus kapan lagi, Fab? Umurmu makin nambah, tapi jatah umurmu makin berkurang, lho, kalau kamu lupa," tambah Fajar lagi.
Fabian mengembuskan napas panjang. Ia benar-benar tak tahu, harus melakukan apa. Memangnya salah, ya, membesarkan anak seorang diri, tanpa bantuan seseorang yang berjenis kelamin 'wanita' itu, eh?
*****

Komento sa Aklat (67)

  • avatar
    Wayu Tedo

    saya suka

    6d

      0
  • avatar
    FebyFeby

    saya ingin dm

    8d

      0
  • avatar
    alialdi

    anu

    19d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata