logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bangkit

Tangis Mami pecah saat Jingga mengantarku sampai rumah. Wanita yang melahirkanku itu langsung menghambur untuk bisa memeluk dan mencium seluruh wajahku.
“Mi, ada apa?” tanyaku penasaran dengan reaksi Mami yang berlebihan. Saat berada dalam pelukan Mami, map hasil pemeriksaan terlihat di atas meja. Seluruh tubuhku bergetar ketakutan. Mami tahu semuanya. “Bisa kamu pergi sekarang?” Aku meminta pada Jingga.
Gadis itu mengernyit tak paham lalu pamit. Ia masih sempat melirik kami berdua dari balik kaca helm transparan.
Aku menunggu sampai tangisan Mami mereda sedikit. Kami berdua masih berangkulan duduk di kursi ruang tamu. “Ada apa?” tanyaku seolah tak tahu.
“Ke-kenapa?” Mami membersihkan hidungnya dahulu menggunakan tisu. “Kenapa kamu tidak beritahu Mami?” Suara Mami parau. Mungkin beliau sudah menangis bahkan sebelum aku sampai di rumah.
“Kalau aku beri tahu dari awal, Mami akan seperti ini.” Aku merentangkan kedua tanganku di sisi tubuh Mami. Aku ingin berkata jujur jika tak berencana memberitahu Mami. Mami pasti akan sangat marah dan menangis lagi kini. “Aku … akan sembuh.” Untuk diriku sendiri, nada suaraku terdengar tak yakin. Apa aku bisa menipu Mami?
“Kamu akan sembuh.” Mami menghapus air matanya. “Mami tidak rela kamu pergi sebelum Mami,” ungkapnya. Ia kembali menangis, memelukku erat-erat.
***
Kenapa aku berada di taman? Aku melihat sekeliling dan banyak anak-anak di sini sekarang.
Aku yakin sekali tadi berangkat tidur setelah memastikan Mami masuk ke kamar. Lelah karena berkeliling kota, membuat mataku dengan cepat terserang kantuk dan terpejam. Lalu, kenapa aku di sini sekarang?
“Jadi Surya ingin apa?”
Surya? Lantas aku segera menoleh. Almarhum Papi tersenyum padaku. Baru aku sadari sedari tadi berada dalam gendongannya. Tubuhku kini menyusut kembali ke usia 10 tahun. Aku memperhatikan sekeliling dengan saksama. Anak-anak yang bermain tak kukenali. Ini pertama hari pertama kepindahanku ke perumahan tempat kudiami bersama Mami sekarang.
Apakah …? Aku menggelengkan kepala dengan cepat hingga pusing. Aku harus segera bangun kini. Tidak mau melihat kembali kejadian naas yang menimpa Papi. Namun, usahaku untuk bangun sama sekali tak berhasil. Papi menurunkanku dari gendongan. Penjaja eskrim dengan sepeda berhenti di tepi jalan di seberang halte.
“Mau eskrim?”
Aku berkata pada diriku untuk jangan mengangguk. Hanya saja yang terjadi padaku adalah mimpi. Mimpi hari kematian Papi. Kepalaku dengan cepat berayun ke atas dan ke bawah. Hatiku berteriak mencegah Papi. Rambutku diacak Papi sebelum pergi ke halte dan menyeberang. “Tetap di sini jangan ke mana-mana,” pesan beliau.
Aku kembali berteriak di dalam hati untuk tidak melangkah melewati halte dan menyeberang. Akan tetapi, tidak ada satu kata pun keluar dari mulutku. Aku masih terperangkap di tubuh Surya yang berusia 10 tahun. Surya yang menunggu Papi datang dengan eskrim. Surya yang melihat tubuh Papi terpental ditabrak truk yang sopirnya mengaku kehilangan kendali.
***
“Mami tidak keluar kamar hampir seminggu. Ia tidak menyentuh makanannya dan aku mulai takut untuk kehilangan Mami.” Surya menatap motor bebek milik Jingga yang terparkir. Mereka duduk di teras alih-alih di dalam rumah. “Aku tidak ingin Mami menderita ketika dewasa. Ternyata, aku malah membuatnya menderita juga.”
Jingga selama lima belas menit lalu diam, mendengarkan, dan tak bicara. “Kamu tidak pernah bertanya pada Mami. Kenapa kamu pikir dia menderita?”
“Penyakit ini membuatnya kembali takut. Mami akan sendirian.” Aku menunduk, memandangi jari-jariku. Rasanya tubuhku lebih buruk dari sebelum pemeriksaan.
“Kamu akan sembuh Surya. Sudah berapa kali kukatakan padamu. Ya Tuhan.” Jingga kesal sekali denganku mungkin. Ia memegangi kepalanya dan melotot padaku.
Saat Jingga masih SMP, kupikir ia akan menjadi polisi wanita atau seorang pengacara. Melihat ia kini menjadi seorang perawat dan bersikap lembut, itu berbanding terbalik dengan sikapnya yang dulu. Ia pembela kaum terjajah, begitu teman-teman berkaca mata berkata padaku. Aku merasakan sendiri ia melindungiku. “Kemana kamu menghilang selama ini?” Aku sering ikut reuni dan tidak melihat Jingga di sana. Maksudku, hanya ada satu Jingga di SMP. Tak mungkin tidak dikenali jika datang.
Jingga menunduk, ia seperti berpikir untuk menjawab. “Kenapa kamu jadi ingin tahu tentangku?” Ia mengajukan pertanyaan.
“Aku penasaran.” Sekarang itu yang sedang kurasakan. Sebelumnya, aku kesal pada kedatangan sok heroiknya. Seperti hari ia berkata jika aku adalah pacarnya.
“Rasa penasaran tidak akan membantumu sekarang. Kita harus ke rumah sakit. Kali ini jangan kabur lagi sebelum mendengar semua keterangan dokter.” Telunjuknya tepat dihidungku, kembali menerbitkan kesal di hatiku.
“Kau masih saja menyebalkan,” sunggutku, tapi tetap kuikuti dia berdiri.
Aku memintanya untuk berangkat menggunakan mobilku. Duduk di atas motor dan diboncengannya membuatku malu. Apalagi setiap berhenti di lampu merah para pengendara kendaraan lain memandang ke arahku. Mungkin mereka berkata betapa lemah diriku yang diboncengi wanita. Kusampaikan seperti yang kupikir pada Jingga. Ia tertawa keras dan meletakkan helmnya di atas kursi tamu di dalam rumah.
“Sifat superioritasmu sepertinya harus disembuhkan,” ejeknya.
Jika tidak ingat bagaimana manisnya Jingga menggunakan jilbab dan pakaian perawat berwarna putih, sudah kutendang ia hingga terpental. Aku mengendari mobil perlahan menuju jalan utama. Jingga sibuk mengutak-atik radio mobil mencari siaran.
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah
Jangan menyerah oh
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugrah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Tuhan pastikan menunjukkan
Kebesaran dan kuasaNya
Bagi hambaNya yang sabar
Dan tak kenal putus asa
Dan tak kenal putus asa
(D’masiv-Jangan Menyerah)
Kulihat Jingga memejamkan mata dan ikut bernyanyi. Ia menikmati setiap syair dari lagu yang sedang disiarkan.
“Kamu akan sembuh.” Ia menoleh padaku.
“Sifat positifmu ini juga harus segera disembuhkan.” Aku membalas perkataannya tadi. Kulirik sedikit dan Jingga sama sekali tak terlihat kesal.
“Berpikir positif itu baik.” Ia membela diri.
“Bagaimana kalau aku melaporkanmu ke polisi hari itu? Perbuatan tak menyenangkan. Kamu mengikutiku seperti seperti hantu padahal sudah kutolak.” Lampu merah membuat aku bisa menoleh saat bicara padanya.
“Kamu tidak akan melakukannya.” Ia terdengar sangat yakin saat bicara. Bagiku sungguh aneh.
“Kenapa?” tanyaku penasaran. Aku bukan orang yang baik. Aku mudah kesal pada seseorang dan melakukan hampir semua hal untuk tidak terlalu dekat dengan orang-orang pembawa masalah.
“Kamu baik, Sur. Kamu hanya tidak ingin mengakuinya.” Ia menunjuk sebuah lahan parkir di depan rumah sakit yang belum di isi mobil.
Aku membelokkan kendaraan ke sana, memarkir dengaqn hati-hati supaya tak keluar dari garis batas parkir. “Aku bukan orang baik. Jika baik, tentu tidak akan seperti ini penyakitku.”
Mata Jingga menyipit padaku. “Kadang-kadang karena sayanglah Tuhan menegur kita. Jangan bicara hal yang tidak-tidak.” Ekspresi wajahnya mendadak jadi sedih.

Komento sa Aklat (73)

  • avatar
    Suati

    bagus dan seru enak nanti aku sebarkan ke tiktok seru

    17/08

      0
  • avatar
    C_21_088_WanDheryD

    keren banget

    19/07

      0
  • avatar
    RefaFerdiansyah

    mantap

    16/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata