logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Terima Saja Uluran Tanganku

Aku bangun pukul 3 pagi lagi. Aneh, sungguh. Seolah alarm tubuhku sudah tidak lagi berfungsi dengan benar. Ah, memang tubuhku sudah tak benar. Aku lupa menanyakan pada Dokter itu berapa lagi sisa waktuku kini. Apa cukup banyak untuk menemani Mami atau terlampau sedikit untukku gunakan menyesali yang sudah kulakukan selama ini.
Aku melihat Al-quran peninggalan Papi di dalam lemari kaca. Dekat dengan berkas-berkas proyek penting yang kutangani dan masih berjalan. Sudah berapa lama berada di situ. Aku membuka lembar dari lembar kenanganku. Ah, sehari sebelum tesisku selesai, aku sempat membacanya. Lalu aku berusaha lupa jika apa yang kucapai semata-mata karena kuasa-Nya. Mungkin Tuhan marah padaku. Ya, pasti begitu. Makanya ia mencabut semua hal yang diberikan.
Akan tetapi, Mami tak bersalah. Mami orang yang taat beragama. Beliaulah yang membuat Papi sholat setelah menikah, begitu kata mendiang dulunya. Pukul 4.55, sayup-sayup azan subuh berkumandang. Hatiku berontak untuk sholat, tapi aku malu. Aku juga ragu apakah masih hapal dengan bacaan salat.
“Sur, sudah bangun. Ayo subuh.” Alarm yang kutunggu sudah berbunyi.
Mami selalu bangun sebelum azan Subuh lalu membangunkanku. Secara otomatis aku selalu sudah terjaga sebelum Mami bersuara. “Ya.”
Saat aku akan ke kamar mandi pesan masuk dari nomor tak di kenal. Itu dari Jingga, ia menuliskan namanya sebelum memberitahu akan datang pukul enam tepat. Terlalu rajin untuk orang yang bahkan sudah kumaki-maki. Selalu saja nama Jingga mengarahkanku pada pertanyaan, Kenapa gadis ini repot untuk meyakinkanku? Kenapa? Apa untungnya untuk Jingga?
“Kamu sudah janji bukan? Hari ini ke mana pun aku membawamu jangan protes.” Jingga mengingatkan saat Mami meninggalkan kembali mereka berdua di meja makan. Kali ini Jingga tak duduk seperti permintaan Mami. Ia berdiri saja di dekat meja makan dan memandangku.
Aku menunggu sampai Mami muncul kembali dengan piring lain untuk Jingga dan pamit. Mami memandang kami penuh arti.
“Kamu akan membawaku ke mana?” tanyaku saat duduk di belakang motor bebek milik Jingga. Ia tak bersedia pergi dengan mobilku saja, katanya nanti aku mungkin akan kabur. Padahal bahkan jika aku akan tetap kabur jika yang dilakukannya nanti membuang-buang waktu.
“Diam dan ikut saja,” katanya sambil berbelok ke kembali.
Aku melenguh sebagai reaksi. Aku tidak pernah pergi cukup jauh ke pinggir kota. Nesya suka dengan mall. Karena itu setiap kali libur dari pekerjaan, aku akan menemani Nesya berbelanja. Jalan itu mengingatkanku pada Papi.
“Apa kamu takut mati, Sur?” Pertanyaan Jingga terdengar sebelum akhirnya motornya berbelok ke tanah pemakaman.
Aku diam. Ia benar, aku takut mati. Mati sama dengan kehilangan. Orang yang mati akan menghadapi konsekuensi perbuatan semasa hidup. Karena itu aku takut mati. Aku bukanlah orang baik. Aku juga tidak bisa dikatakan jahat. Aku berada di tengah-tengah antara keduanya. Apa akan ada orang yang menangis setelah kepergianku? Siapa yang akan menggurus Mami nanti? Aku takut mati. Aku takut meninggalkan dunia ini dan membuat Mami menderita.
“Kenapa kamu tidak menjawab pertanyaanku, Sur?” Jingga parkir tepat di gerbang pemakaman.
“Kamu ingin aku menjawab apa?” Aku tidak akan memperlihatkan betapa takutnya aku kini.
“Aku selalu berpikir seperti apa itu mati? Aku tahu mati adalah ketika roh dan jasad berpisah. Saat Tuhan berkata kalau sudah habis waktu kita di dunia. Namun, banyak orang yang takut mati. Mereka mengatakan Mati itu buruk. Jika memang buruk kenapa Tuhan memberikan itu sebagai siklus kehidupan?”
“Jika kamu memang begitu penasaran, kenapa tidak mencobanya sendiri?” kataku kesal dengan semua perkataannya yang tak penting.
Jingga tertawa. Ia masih manis seperti hari pertama aku melihatnya di rumah sakit dengan pakaian perawat. “Mati membuat orang ingat kalau di dunia ini sementara saja. Mati hanya sebuah gerbang awal menuju tahap selanjutnya. Jika kamu tahu suatu saat mati, kamu akan berusaha membuat kehidupanmu lebih baik sebagai bekal. Mati adalah peringatan. Peringatan jika Tuhan lebih berkuasa dari kuasa manusia yang dibanggakan.”
“Untuk orang yang sangat sehat sepertimu, membicarakan mati adalah hal yang aneh.” Aku berjalan selangkah dan membalikkan tubuh.
“Kenapa aneh?” Jingga menaikkan alisnya saat bertanya padaku.
“Seharusnya kamu menikmati hidup.”
“Aku menikmati hidup Surya. Aku menikmatinya dengan menolong orang lain. Sepertimu.” Ia kembali naik ke motor dan menungguku.
Setelah aku mengatakan sudah padanya. Ia melanjutkan perjalanan. Kulihat banyak orang yang sedang berjalan keluar dari pemakaman ketika motor baru melaju. Saat beberapa meter, sebuah keranda kosong di atas ambulance memberitahuku kalau baru saja ada yang mati.
***
“Rumah sakit?”
Aku tertawa. Memutari hampir separuh kota hanya untk kembali ke rumah sakit yang sama tempat aku dijatuhi hukuman. “Diagnosis awal kami, kamu terkena kanker hati, Pak Surya.” Pemberitahun itu kembali terngiang di telinga. Aku turun dari boncengan Jingga dan berjalan melintasi lapangan parkir menuju jalan raya. Aku tidak ingin di sini dan mendengar putusan mati kembali.
Aku berbalik sebab tarikan keras Jingga. Napasnya ngos-ngosan karena menggejar. “Kamu sudah janji padaku,” katanya setelah napasnya sedikit lebih tenang.
“Aku tidak janji untuk kembali ke sini dan menemui dokter.” Aku menyentak lenganku hingga pegangan Jingga terlepas. Kupeluk diriku sendiri dengan kedua tangan. Lapangan parkir di pukul 11 siang sudah mulai panas.
“Aku tidak mengatakan kita ke sini menemui Dokter. Kenapa kamu selalu berpikiran buruk tentangku?” Jingga mulai kesal. Ketenangannya mungkin mulai terkikis karena sikap menyebalkanku. “Kumohon, ikut aku,” pintanya sambil memegang tanganku dan menarikku untuk mengikuti.
Aku membuang napas kasar. Dasar. Aku sendiri heran kenapa bisa dengan rela mengikutinya saat ini. Apakah aku sudah terpengaruh dengan perkataan Jingga yang tidak kupahami sepenuhnya. Atau dari dalam hati, sebenarnya aku ingin sembuh.
Jingga tidak melepaskan tanganku. Bukannya masuk melalui depan rumah sakit, kami masuk lewat samping. Sepertinya adalah akses khusus untuk para perawat dan Jingga sudah mendapat izin khusus untuk membawaku serta ke dalam. Ia membawaku melewati banyak blok rawat inap. Dari IGD, NICU, ICU. Kemudian ia melepaskan tanganku di depan pintu masuk blok. Letaknya di belakang sekali. Jika aku sendirian saja masuk ke dalam rumah sakit, pasti akan tersesat.
“Ayo masuk,” ajaknya seolah masuk ke dalam taman bermain.
Aku biarkan ia masuk terlebih dahulu. Lalu aku mengikuti. Ada beberapa ruangan di dalam blok, Jingga membawaku ke ruangan terakhir berisi beberapa orang, tiga anak-anak dan satu orang dewasa.
“Untuk apa aku kemari?” Aku mendekatkan mulut ke telinga Jingga. Ia tak menyahut dan malah berseru “halo” pada semua orang dalam ruangan.
“Cieee, Kak Jingga bawa pacarnya.” Salah satu anak yang bertubuh gemuk bersorak.
Jingga tertawa juga dan mengejar anak gemuk tersebut, setelah tertangkap ia meeluknya erat-erat. “Bukan … dia teman kakak. Ganteng, kan?”
Aku hanya terdiam melihat semuanya. Seperti seekor kambing yang tersesat di kawanan kerbau. Jingga kemudian meninggalkan mereka semua dan mendekatiku.
“Mereka semua terkena kanker, Sur.”
Aku lantas menoleh sebab tak percaya. Keadaan orang-orang ini lebih terlihat sehat daripada aku. Aku terlihat pucat sejak tadi pagi.
“Mereka tak takut mati, tapi juga ingin hidup. Sur, apa kamu percaya padaku?” Jingga bersandar di daun pintu, di dekat kuberdiri. “Kamu bisa sembuh, berhentilah berpikir sebentar lagi akan mati.” Suara terdengar seperti memohon pada orang yang tengah melukainya.
Air mataku menetes. “Aku ingin hidup. Bisakah aku sembuh?” Aku bertanya dan menangis. Air mata itu tanpa aba-aba keluar dan banjir. Itukah yang aku berusaha tolak selama beberapa hari ini. Keinginan alami untuk tetap bertahan. Keinginan untuk bertemu seseorang yang akan berkata aku akan baik-baik saja dan ternyata tak kutemukan. “Bisakah aku sembuh?” Aku bertanya lagi pada Jingga, memutar tubuhku untuk bisa menatap matanya.
Gadis bernama Jingga yang saat SMP berkata jika aku adalah pacarnya. Dia yang menyelamatkanku dari olok-olokan karena bertubuh kecil dan berkaca mata. Gadis yang kemudian diam-diamku suka dan menghilang. Gadis itu kini kembali menyelamatkanku. Namanya Jingga, seperti warna senja yang terbenar di ufuk barat yang berjanji akan ada kembali hari esok.

Komento sa Aklat (73)

  • avatar
    Suati

    bagus dan seru enak nanti aku sebarkan ke tiktok seru

    17/08

      0
  • avatar
    C_21_088_WanDheryD

    keren banget

    19/07

      0
  • avatar
    RefaFerdiansyah

    mantap

    16/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata