logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Jika Aku Harus Meninggalkan Ibuku Sendiri

Darah. Tidak mungkin aku salah lihat dengan yang bercampur dengan feses di dalam toilet duduk. Apa mungkin penyakit ambeienku kambuh lagi. Dulu, terjadi saat seminggu tidak buang air besar. Kata Dokter, feses yang keras mungkin melukai sedikit anus dan usahaku utuk mengejan membuatnya muncul.
“Kamu minum obat apa?”
Mami muncul saat aku akan meminum pil. “Obat itu Mi. Ingatkan?” Aku menunjukkan bungkus obat. Mami membuka kulkas dan mengambil sesuatu dari dalam.
“Bukannya sudah sembuh.” Mami meletakkan tiga buah jeruk di atas meja dan berjalan ke arah rak piring dekat bak cuci piring.
“Iya tapi, kemarin waktu BAB keluar darah.” Aku bersandar di pintu kulkas, memperhatikan apa yang akan terjadi pada tiga jeruk di atas meja.
“Apa nggak sebaiknya kamu periksa saja?” saran Mami. Kini jeruk itu sudah dibelah dua semua menjadi enam bagian. Ia kemudian sibuk memeras menggunakan semacam cawan yang bagian tengahnya mencuat ke atas mirip bukit.
“Minum obat aja, Mi, nggak apa-apa. Nanti pasti sembuh.” Aku membuat garis lurus dengan mengatupkan kedua bibir. Kulihat jam tangan, sudah menunjukkan pukul tujuh lewat. “Aku berangkat, ya, Mi,” pamitku.
“Jangan terlalu capek.” Mami berteriak.
Aku hanya menjawab iya di dalam hati dan pergi, melewati ruangan demi ruangan dan kemudian mencapai pintu depan. Sebelum masuk ke dalam mobil, kucek notifikasi di telepon pintar. Ada beberapa pesan dari Nesya dan juga pelangan. Satu hari yang sibuk lagi.
“Bapak baik-baik saja?” Salah satu karyawan yang mengikutiku menunggu intruksi tugas hari ini bertanya setelah menangkapku yang hampir jatuh.
Mendadak pusing. Itu sering terjadi jika aku begadang hanya untuk mendengarkan suara Nesya pada malam hari. Pacarku—Nesya—bisa bicara hingga berjam-jam tentang yang dilakukannya hari ini. Biasanya tak begitu parah, hanya rasa mengantuk menyerang setelah jam makan siang. Pusing kali ini juga mungkin ditambah tekanan darah rendah juga. “Tidak apa-apa.” Aku berdiri tegap lagi, memperbaiki pakaian yang sedikit berkedut di bagian perut karena tertarik.
Aku berjalan beberapa langkah lagi dan tiba-tiba pandanganku menggelap. Samar-samar kudengar karyawan yang sama berteriak meminta bantuan. Lalu kemudian aku tidak mendengar apapun lagi.
***
“Jingga?” Aku tak percaya dengan nama yang disebutkan perawat di sampingku. Tidak mungkin ia gadis tomboy menyebalkan waktu SMP. Tidak mungkin.
“Kenapa terdengar heran?” Ia tertawa, sepertinya ekspresiku lucu sekali.
“Jingga … tidak mungkin.” Aku dengan jelas tidak mengakui perawat di sampingku sebagai kenalan yang menyebalkan.
Perawat itu terkekeh. “Syukurlah, kehadiranku bisa mengusir rona sedih di wajahmu. Kamu tahu, waktu melewati pintu itu.” Perawat di sampingku menunjuk pada pintu masuk rumah sakit yang tidak begitu ramai. “Kamu seolah berkata pada dunia jika semuanya sudah musnah.”
Ingatan tentang penyakit yang sedang kuderita kembali muncul. “Memang belum musnah, tapi sebentar lagi pasti musnah.” Aku memandangi ujung sepatu di bawah, tidak lagi pada perawat di sampingku.
“Apa yang terjadi?” Jingga—atau begitulah ia mengaku—terdengar penasaran.
Aku menggeleng. Siapa dia memang harus kuceritakan apa yang sedang terjadi padaku. “Aku tidak apa-apa.”
Tidak kudengar lagi suara Jingga. Saat aku menoleh, Jingga sedang menunduk, entah apa yang dipikirkan. Mungkin tentang betapa sombong mantan pacarnya semasa SMP atau ia memikirkan hal lain. “Semua tidak berakhir begitu saja saat kamu didiagnosis penyakit, Sur.”
Aku tersentak. Apa dia sebelum berada di sampingku sudah mencari tahu apa yang terjadi. Lalu kenapa ia bertanya? Supaya aku mengakui kelemahanku? Omong kosong, hal tersebut tidak akan terjadi. “Jangan mengurusi hidup orang lain.” Mendadak aku marah dengan apa yang dilakukan Jingga.
“Tidak … tidak. Aku hanya ingin membantu.” Sebuah senyum kulihat merekah di bibir Jingga.
Sayang sekali itu tidak mampu meredam amarahku. Aku sudah cukup dikagetkan dengan berita penyakitku. Aku butuh waktu merenungi kesialanku. Memberitahu semua orang jika waktuku tinggal sedikit lagi. Lalu aku akan pasrah, menanti malaikat maut datang. Mungkin sebelumnya aku akan menyediakan cukup banyak uang untuk Mami. “Aku tidak butuh bantuan siapapun.” Aku berdiri. Tidak ingin lagi duduk di dekat Jingga.
“Sur … Surya! Dengarkan aku. Surya!”
Aku mendengar ia memanggil namaku beberapa kali. Tidak akan pernah aku berhenti untuk panggilan dari perawat bernama Jingga. Ia hanya bermimpi.
***
Langit-langit kantor yang pertama kali kulihat saat membuka mata. Bagaimana aku lupa pada warna yang kupilih sendiri. Barulah kemudian suara Nesya terdengar bertanya.
“Kamu sudah sadar, Sur?” Suaranya lembut dan menentramkan hati, tapi tidak jantungku.
Perlahan aku paksa diri untuk duduk. Tubuhku terasa amat lelah. Seluruh persendianku serasa mau lepas. Seolah aku berhari-hari melakukan pekerjaan berat tanpa henti, jeda, dan akhirnya pingsan. “Mungkin aku mengalami tekanan darah rendah,” dugaku atas apa yang terjadi.
“Istirahat, Sayang.” Nesya duduk di sampingku. Ia mengosok-gosok dadaku beberapa kali sebelum mengambilkan gelas berisi teh hangat yang ada di meja kaca di depan kami.
“Lihat kamu ada di sini, semua penyakitku hilang.” Aku tersenyum menggoda. Aku melihat ia tersipu malu. Ia memukul dadaku pelan dan dengan sengaja aku berteriak untuk mendramatisir.
“Sebaiknya kamu ke Dokter untuk periksa sayang,” pintanya.
“Aku baik-baik saja,” jawabku lekas. Pergi ke Dokter itu membuang waktu. Sementara waktuku adalah uang.
“Aku nggak mau kamu sakit,” renggek Nesya sambil cemberut.
“Aku nggak akan sakit, ada kamu yang jaga aku.” Masih sempat aku menggombal padahal pusing kembali mendera. Aku hanya butuh waktu istirahat sebentar.
Aku melihat Nesya cemberut seketika menerima penolakan. Pipinya yang merona terlihat manis, serasa ingin kugigit. Aku mencolek dengan jari telunjuk dan mencoba duduk. “Kenapa?”
“Kamu tidak sayang padaku,” tuduhnya.
Hampir saja aku tergelak. Aku tidur hanya enam jam sehari karena begitu cinta pada uang, Mami, dan Nesya. Ia menuduhku tidak sayang padanya? Kadang-kadang wanita memang terlalu picik. “Bagaimana caranya supaya kamu kembali menoleh padaku dan tersenyum?” Baiklah, aku akan lakukan apapun maumu.
“Pergi denganku hari ini. Kita ke dokter, oke?” Ada senyuman yang merekah di bibir Nesya setelah mengatakan permintaannya.
Berapa lama pemeriksaan itu kira-kira? Satu atau dua jam? Lebih dari itu aku akan melarikan diri dengan segera. “Baiklah. Setelah ini jangan minta aku melakukan hal yang membuang waktu ini?” Aku menunggu jawaban darinya.
Ia mengangguk, memelukku dari samping dan membisikan betapa sayang dirinya padaku.

Komento sa Aklat (73)

  • avatar
    Suati

    bagus dan seru enak nanti aku sebarkan ke tiktok seru

    17/08

      0
  • avatar
    C_21_088_WanDheryD

    keren banget

    19/07

      0
  • avatar
    RefaFerdiansyah

    mantap

    16/07

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata