logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

SERPIH 6

Ini merupakan kesialan tersendiri bagiku. Sejak awal kedatangannya di rumah orang tuaku, aku tau, tak mampu bibir ini menolaknya. Tetapi jangan harap, kata ‘iya’ akan meluncur sempurna sebagai penutup malam ini. Aku bukan wanita dua-lima yang masih bisa disetir dengan ini dan itu. Atau terpesona dengan gayanya yang ... malam ini aku beri aplause walau setengah; Andrew tampan.
Mengenakan kemeja hitam yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, belum lagi penampilannya yang selalu rapi. Mungkin bagi sebagian wanita, tak berpikir dua kali menerima ajakannya. Lain denganku.
Akan kubuat mereka mundur teratur dengan kekeraskepalaan yang kupunya. Aku bersikap biasa saja meski rasanya ingin sekali berdecak kesal; dibukakan pintu begitu kami tiba di pekarangan rumah Kakek, meminta agar tanganku ia genggam—ini aku tolak keras. Tak ada yang boleh menyentuhku sembarangan. Dan menerima tatapan penuh usil dari beberapa kerabat dekat.
Untuk kali pertama, setelah belasan tahun lamanya, aku berjalan beiring dengan seorang pria. Dan kurasa, dalam hati mereka juga disertai cibiran. Mana ada wanita jelang empat puluh melangkah dengan pria yang lebih muda ini. Gosip terpanas yang sudah beredar luas, kupastikan menjadi santapan mereka hingga detik ini. Kasak kusuk itu cukup mendominasi saat aku berada dalam jangkauan mereka.
“Saya bilang juga apa. Ibu beruntung memiliki calon suami seperti saya.”
Kalau saja memukul seseorang dengan tas di tengah kerumunan keluarga seperti ini adalah hal lumrah, maka sudah kulakukan sejak tadi.
“Lihat. Mata mereka menatap kita lapar banget,” katanya sembari berbisik. Aku terkesiap karena wajah Andrew agak membungkuk—aku tinggi, tapi Andrew lebih tinggi lagi. Saat beriris jalan, aku hanya sebahunya. Apa yang pria sinting itu perbuat, mengesankan seolah sedang mengecup sisi kepalaku.
Aku mendelik marah ke arahnya tapi malah ditanggapi dengan kekehan!
“Slow down, Bu Inggrid. Keep calm. Nanti cantiknya hilang.”
Tanpa basa basi, tanpa peduli kalau banyak yang memperhatikan kami, aku menginjak kakinya dengan ujung belakang wedges yang kukenakan. Ringisan lolos darinya. Aku? Santai meninggalkannya.
Langkahku pasti menuju tempat si empunya acara. Kakek Willy. Setiap tahun kami semua, kerabat dekat Wijaya memang mengadakan acara kumpul bersama. Prakarsa utama; jelas Kakek Willy dan tanpa ada yang sanggup membantahnya. Dan kurasa semua keluarga intiku sudah ada di sana. Dugaanku benar. Kakek tampak bermain dengan Zain yang digendong Ibu. Tergelak bersama sembari mengeluarkan mimik lucu, meledek Zain agar mau kembali tertawa. Beruntung bocah itu hobi sekali diajak bermain. Suasana tambah riuh karenanya.
Bukan kah itu sudah cukup bagiku? Iya. Sangat. Dan sungguh, aku tak ingin ada yang mengusik bahagia yang kumiliki ini. Tak ingin ada tambahan orang baru, kecuali mungkin saja Yaya hamil lagi. Itu beda urusan. Bagiku, mereka bahagiaku. Tak kurang. Tak lebih.
“Ini dia. Cucu kesayangan Kakek.”
Aku tersenyum kecil. Melempar diri pada peluk yang ditawarkan Kakek padaku.
“Nah, ada Andrew juga.”
Aku memilih menyingkir setelah melepas peluk Kakek. Lebih baik menghampiri Yaya yang sibuk di table minum.
“Kayaknya air dingin bisa meredakan amarah, Kak,” kata Yaya sembari mengulum senyum kecil. Aku mencebik karena ucapannya. Kami dekat, tapi sejak dirinya menjadi bagian keluargaku, aku mulai memperlihatkan sisi lain yang kupunya. Wanita cantik ini orang yang dicintai adikku. Sudah sepatutnya ia pun mendapat cinta yang sama dariku.
“Lintah,” keluhku tanpa menolak saat Yaya mengulurkan air dingin. Cukup ampuh membasahi tenggorokan tapi tak serta merta membuat hatiku dingin. “Kakak ke toilet dulu.”
Yaya mengangguk. Mungkin membasuh muka sedikit bisa mengurangi emosiku. Perawatan wajahku cukup mahal. Tak ingin karena hal ini, menimbulkan satu titik kerut. Enak saja. Dia bisa kuartikan pengganggu tapi bukan berarti benar-benar bisa menggangguku. Tak akan kuberi barang setitik celah.
Yang tak pernah aku persiapkan, saat kembali ke tengah kumpulan keluargaku, orang tua Andrew turut hadir di sana. Dan segera ... semua mata yang ada di sana, menitik padaku.
***
Aku hanya menjawab sekadarnya. Suaraku mengisi perbincangan sekenanya. Makanan yang disajikan padaku tak ada yang menggugah selera.
Kesalku semakin memuncak tapi tak bisa kukeluarkan sembarangan. Kalau aku gegabah, Papa dan Ibu turut menanggung ulahku. Mirip seperti seorang gadis yang dipaksa menuruti titah orang paling diseganinya dalam hidup. Aku hanya mampu diam, sesekali tersenyum tanpa ada ketulusan, dan berusaha meredam gemuruh di hati.
“Inggrid masih secantik dulu, ya. Jadi ingat saat menemani golf sama Pak Willy.” Ini suara seorang Gumilar Adi.
“Semalam kami nostalgia saat-saat dulu, Gu. Makin tua lah saya ini dimakan usia apalagi melihat Inggrid tumbuh dan jaya seperti keinginan saya.”
Aku menoleh pada Kakek yang duduk di ujung meja makan. Senyumnya menyiratkan sekali akan sesuatu. Matanya sontak menatap ke arahku dan lagi-lagi, senyum tua itu demikian berharap.
“Kita menua, Pak Willy.”
“Itu lah.” Kulihat Kakek menyuap sajiannya. Membuatku mulai kembali menikmati apa yang tersaji walau tanpa rasa.
“Saya enggak sangka, kalau Andrew merespon baik perkenalan dengan Inggrid.”
Dress-ku menjadi saksi tangan ini demikian mengepal kuat. Mau melarikan diri ke mana pun, arah pembicaraan kali ini sangat jelas. Aku dan Andrew. Tak mungkin seorang Gumilar Adi meluangkan waktu berharganya sekadar pertemuan biasa.
“Untuk hal ini, saya sendiri aneh. Biasanya Andrew ini anti dengan perempuan.” Kali ini, Bu Puri Handayani bersuara. Istri Gumilar Adi ini masih memesona di usianya yang tak lagi muda. Aku sendiri tak heran, sih, uang bicara untuk perawatan. Sama sepertiku.
“Padahal bisa dibilang, Inggrid ini sepatutnya menjadi seorang kakak. Benar, kan?”
Aku mendengar telak Andrew tersedak. Sementara suara itu langsung menghantam ulu hatiku tanpa permisi. Kuangkat pandangan pada wanita yang diberitakan di media, santun bertutur juga hobi berderma. Nyatanya mata itu nyalang menatapku tak suka. Kebetulan, sosoknya tepat berada di depanku.
Aku takut? Tidak. Justeru ini kesempatan paling bagus yang kumiliki. “Ibu Puri benar. Sepatutnya Andrew menganggap saya seperti kakaknya. Usia kami terpaut. Kalau saya menerima ... apa kamu bilang kemarin, Ndrew? Proposal menikah?”
Tak peduli betapa tajam netra seorang Puri membalas tatapanku, aku masih bersedia angkat bicara.
“Iya. Andrew mengatakan proposal menikah. Tapi jelas ... saya menolak. Saya merasa nantinya,” Kujeda sejenak ucapanku. Netraku mengabsen satu per satu setiap orang yang ada di sekelilingku. “Saya seperti mengasuh adik kecil.” Aku tersenyum setelahnya. “Bukan kah seorang perempuan yang sudah menjadi istri dimanjakan suami? Bukan terbalik lantaran usia. Benar?”
Tak perlu menghitung detik, suasana mendadak canggung dan tegang. Dari sudut mataku, Andrew menatapku dengan pandangan sulit sekali kuartikan. Sejak awal aku memang tak ingin ide konyol ini terealisasi. Aku menjaga diri ini baik-baik. Menjaga hati ini agar terus merasa bahagia.
Nyatanya?
Satu kalimat yang sempurna meluncur hanya karena umur, sudah menambah goresan lagi di hatiku. Seolah, aku ini yang menggoda. Seolah juga, aku ini yang membuat seorang Andrew tak berdaya. Ya Allah. Menyebalkan sekali situasi ini dibuat.
“Sebenarnya ... ini usulan Om, Inggrid. Om yang meminta Pak Willy agar mau mengenalkan cucunya pada Andrew.”
Konspirasi apa lagi yang sedang mereka mainkan di depanku ini, sih? Aku mengetuk meja makan dengan irama beriring. Tak sopan, tapi rasanya aku memang harus melakukannya.
“Tolong ... tolong sekali ini, jelaskan sama saya apa yang sebenarnya kalian sembunyikan?” Sorot mataku tajam menatap satu per satu orang yang ada di depanku. Mendesak. “Kesepakatan model apa yang kalian mainkan di belakang saya?”
Tak pernah aku sangka kalau Papa juga turut dalam menyembunyikan hal ini? Terlihat dari arah matanya yang tak lagi menatapku lurus. Ya Allah.
“Inggrid bukan perempuan dua puluh tahunan. Inggrid masih bisa diajak bicara dengan logika.”
Mereka saling menatap satu sama lain. Membenarkan hatiku, kalau ada sesuatu yang besar tengah terjadi.
“Tolong ... bicara.”

Komento sa Aklat (85)

  • avatar
    Asepmuh.zakwan

    mantap ini sih

    11d

      0
  • avatar
    Muhammad Khairun Nizam Bin Hashim

    ✌🏻 ⭐️⭐️⭐️⭐️

    28d

      0
  • avatar
    Wn07Ardian

    mantap

    21/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata