logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

SERPIH 5

Mahreem.
Siapa yang tak mengenal nama itu. Salah satu dari jajaran kabinet menteri yang bertugas hingga lima tahun ke depan. Sosok yang dihormati juga disegani baik lawan maupun kawan. Sebelum menjadi seorang menteri, Gumilar Adi Mahreem, pebisnis sukses yang merajai bidang property.
Dan aku ... kenal betul siapa seorang Gumilar. Masa usia dua puluhan, aku banyak menghabiskan waktu dengan Kakek Willy. Beberapa kali bertemu dengannya, terlibat obrolan santai mengenai naik turunnya profit, juga sesekali membanggakan masakan Nyonya Mahreem di rumah mewahnya. Sejak lama memang aku disusupi banyak ilmu bisnis yang tanpa kusadari, aku memang sudah disetir untuk dimahkotai saat usiaku cukup mumpuni.
Tapi sungguh, aku tak mengenal putra tunggalnya hingga kami dipertemukan kala meeting dengan pejabat teras Lazade. Aku pun belum terlalu menyadari karena Andrew, menyembunyikan nama belakangnya. Entah karena alasan apa, aku tak ingin tahu. Tapi seringnya aku bertemu—ini jelas karena keterpaksaan, aku akhirnya tahu dirinya siapa.
Putra tunggal Gumilar Adi, yang selalu disisip bangga tiap kali pria paruh baya itu berbincang hangat dengan Kakek Willy. Aku tim penyimak kala itu. Dimintai pendapat, aku hanya mengulum senyum. Kupikir, hubungan mereka berdua hanya sebatas itu. Aku pun sudah lama tak bersua sejak sibuk mengurus kantor.
Dan di sini lah aku kini. Tanpa ragu segera meminta supir mengantar ke rumah Kakek. Meninggalkan Andrew tanpa menyentuh satu pun makanan yang tersaji. Pikiranku penuh atas kata-katanya yang melekat sempurna di kepala. Merutuki kenapa Kakek bisa seperti ini terhadapku.
“What a surprise?” katanya menyambutku. Sebuah peluk hangat aku terima. Tak pelak, marah yang tadinya ingin kusembur, perlahan meredup. Habis total saat mata kami bertemu.
“Enggak suka kalau tiba-tiba Inggrid berkunjung?”
Kakek Willy terkekeh. Ia membawaku masuk ke dalam rumah mewahnya. Ingatanku selalu merekam jelas bagaimana semua penempatan perabot serta koleksinya selalu pas dan terawat. Foto-foto mulai dari yang usang hingga yang tercetak jelas, tersusun apik di almari kaca besar. Pun banyak fotoku serta Rendra di sana. Paling terbaru tentu saja, foto pernikahan Rendra dan Sayana.
Awal perkenalan Kakek Willy dengan Sayana, dirinya hanya berpesan, jangan mau kalah usil dari Rendra. Aku mendengarnya sendiri Kakek mengatakan hal itu pada Yaya. Tadinya sempat ada khawatir, takut Kakek tak menyukai Yaya. Ternyata ... Kakek dan Papa sama saja. Malah sepertinya sepakat menjadikan Yaya, cucu ketiga mereka.
Aroma citrus menyapaku saat menuruni tangga menuju area samping rumahnya ini. Sesekali aku menimpali ucapannya, menjawab dengan setengah tertawa pertanyaannya mengenai pekerjaan. Juga kesehatannya tentu saja.
Beberapa kali, Kakek mendapat perawatan intensif tapi sepertinya beliau ini anti rumah sakit. Sejak Nenek berpulang, beliau hanya tinggal bersama para pelayan setianya. Tadinya baik Papa atau Ibu menginginkan dirinya tinggal bersama.
“Dan aku meninggalkan rumah tempat di mana semua kenangan hidupku berada?” katanya begitu tegas. Menyiratkan keberatan yang amat karena kami tahu, rumah itu sungguh penuh dengan memorinya akan Nenek.
Keras kepala dan tak terbantahkan. Kakek Willy-ku.
“Nah, cucuku tersayang.” Dirinya sudah duduk di salah satu kursi yang tepat menghadap taman. Aku pun sama. Duduk tepat di sampingnya setelah memastikan Kakek mengenakan selimut. Udara cukup dingin di sini. “Ada apa?” tanyanya pelan tapi penuh penekanan.
Aku tahu, Kakek Willy mengetahui maksud kedatanganku bukan sekadar beramah-tamah biasa. Kuselipkan rambut pada selipan telinga. Mulai dengan gestur serius tapi tetap menjaga intonasi, tak ingin berspekulasi apa-apa terkait apa yang terjadi padaku seminggu belakangan ini.
“Tentang Mahreem.”
“Ah ... sudah bertemu rupanya?”
Aku memejam sebentar. “Jadi ... Kakek memang merencanakan ini?”
Kakek Willy terkekeh. Matanya menerawang jauh. Aku ingat, wajahnya belum banyak keriput sejak kali terakhir bertemu tapi sekarang? Hatiku mendadak diselimuti sedih.
“Sudah lama, Nak. Lama sekali.”
Aku menunggu beliau meneruskan ucapannya. Meresapi semilir angin yang menyapa wajah.
“Mau sampai kapan kamu menghindari pernikahan, Nak?”
Mataku mulai digenangi air mata. “Aku bahagia seperti ini, Kek.”
“Kamu kesepian, Nak.” Tangan keriput itu menyentuh pipiku denga pelan. Membuat diriku terkesiap dan menoleh ke arahnya. Tatapan Kakek masih sama. Menatapku dengan penuh iba. “Suatu saat, akan datang hari di mana Kakek, Papa, Ibu, serta adikmu pergi. Dan kamu sendirian, Nak. Dengan siapa kamu bertopang kecuali teman hidup?”
“Dengan Allah, Kek.”
Gurat senyumnya hadir penuh bijak. “Itu pasti. Enggak boleh terlupa barang sesaat.” Tangan itu masih mengusap pelan pipiku. “Teman hidup yang bisa membuat hari kamu lebih berwarna.”
“Sudah berwarna, Kek. Ada Zain. Aku jadi sering pulang, kok.”
“Mau sampai kapan?”
Jelas ini bukan pertanyaan mengenai rotasi hidup baruku. Rutinitas baruku bukan tujuannya tapi ... sampai kapan aku betah sendirian. Menantang serta menikmati hidup tanpa perlu pendamping.
“Aku bahagia seperti ini, Kek,” ulangku tapi kali ini nada yang kugunakan jauh lebih tegas.
“Apa ada yang kurang dari Andrew?”
Alih-alih menambah suasana menjadi sendu, malah kobar yang tadinya padam, kembali menyala di benakku kini. Aku mendengkus tak suka.
“Kenapa?” tanya Kakek dengan kerutan di wajahnya.
“Dia itu arogan. Nyebelin banget. Baru kali ini bertemu klien yang terlalu mendongak kepalanya.”
Anehnya, Kakek tertawa. “Interesting.”
“Apanya yang interesting, Kek. He is a trouble!” Tanpa sadar aku mengerucutkan bibir. Memang seorang Andrew Mahreem itu segitu menyebalkannya.
“Besok, jangan lupa Andrew dibawa. Kenalkan secara resmi sebagai calon suami kamu.”
Mataku hampir loncat keluar mendengar perkataan Kakek. “WHAT?”
***
Tak ada yang lebih sial dari ini, kah?
Satu mobil dengan Bule Sinting? Dari sudut netraku ia seperti menahan senyum penuh kemenangan. Aku benci mengakui kalau hari ini, aku dibuat tanpa daya.
“Senyum Bu Inggrid hilang, ya?”
Aku diam tanpa respon. Mataku lurus ke depan memperhatikan jalan tanpa peduli kalau dirinya mengeluarkan tawa kecil yang terkesan meremehkanku.
“Padahal ini acara keluarga Bu Inggrid, lho. Senyumnya dipasang ... biarpun palsu.”
Refleks, aku menoleh. “Pak Andrew benar.” Sudut bibirku tertarik sedikit. “Terima kasih sudah diingatkan. Dan satu hal yang perlu Pak Andrew pahami, saya enggak pernah menyetujui proposal Bapak.”
Kulihat ia mengangguk kecil.
“Jangan buat saya memberi penilaian, betapa murahan diri Anda jika urusan ini dilibatkan menjadi urusan bisnis.”
“Padahal tawarannya menarik sekali.”
Aku tak bersuara lagi. Membiarkan audio terputar menemani perjalanan menuju rumah Kakek yang kemarin malam kusambangi.
“Menikah dengan saya enggak ada ruginya, Bu Inggrid. Secara materi, saya mapan. Secara tampang, banyak yang bilang saya tampan. Secara fisik, enggak sedikit yang bicara kalau saya menawan.”
Kapan kami sampai tujuan, ya Allah!!!

Komento sa Aklat (85)

  • avatar
    Asepmuh.zakwan

    mantap ini sih

    11d

      0
  • avatar
    Muhammad Khairun Nizam Bin Hashim

    ✌🏻 ⭐️⭐️⭐️⭐️

    28d

      0
  • avatar
    Wn07Ardian

    mantap

    21/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata