logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

SERPIH 3

“Pa, bisa bujuk Kakek untuk hal-hal aneh yang nantinya beliau suarakan?” tanyaku dengan nada sedikit mendesak. Ruang kerja Papa tak banyak berubah, hanya bertambah koleksi buku tebalnya saja. Ini pun salah satu ruang favorit yang selalu kusambangi jika pulang ke rumah, selain kamarku tentu saja.
Pria yang kukagumi dan kujadikan panutan nomor satu, duduk di meja kerjanya. Membaca salah satu buku yang kurasa menjadi bacaannya kini. Kacamatanya sedikit turun di tulang hidungnya. Dalam netraku, tampak jelas kerut di sekitar matanya. Mendadak dadaku nyeri.
“Salam, Inggrid.”
Setua apa pun umurku, kalau Papa sudah berkata begitu, tetap saja aku mencibir manja. “Maaf, Pa. Habisan ini issue enggak bisa ditunda untuk dibicarakan.”
Papa menurunkan kacamatanya. Tersenyum hangat ke arahku yang dengan senang hati, menghambur dalam peluknya. Meresapi dalam-dalam aroma pengharum pakaian yang selalu beliau sukai.
“Gimana kantor?”
Aku membenahi duduk agar nyaman karena tau, pembicaraan ini akan berlangsung lama. “Sejauh ini, alhamdulillah fine dan aman.”
Papa mengangguk pelan. “Jadi ... apa yang membawa putri cantik Papa pulang?”
“Mahreem.”
Kulihat kening Papa berkerut.
“Putra tunggalnya ngajak aku nikah.”
Hal yang sangat wajar kalau Papa terbatuk entah karena apa, mungkin udara.
“Kalau Papa saja kaget, gimana aku? Orang sinting.”
“Jangan asal mencacat seseorang, Nak. Nanti kalau jatuh sayang kamu repot.”
Aku berdecak tak suka kentara sekali.
“Lantas, bantuan apa yang bisa Papa beri?” Sorot mata tua itu merasuk tepat dalam sanubariku. Begitu banyak hal yang tak terkatakan ada di sana. Terbaca demikian jelas olehku hingga tanpa sadar, mataku berkaca-kaca.
“Inggrid enggak mau nikah, Pa. Papa tau itu dengan jelas.” Kugunting segera tatapan kami. Terlalu lama menantang mata tuanya, sudah bisa kupastikan hanya tangis di ujungnya nanti.
Terdengar helaan napas panjang dari Papa. “Oke. Nanti Papa bicara sama Kakek.”
“Papa sudah tau?”
Pria paruh baya panutanku itu, tersenyum mafhum. “Mahreem berhubungan baik dengan Kakek. Berita ini membuat Kakek kegirangan sebenarnya.”
Aku sudah bisa memprediksi hal ini.
Lama kami saling terdiam, meresapi jalannya waktu yang ada. Hening menemani tenggelamnya kami dalam pemikiran masing-masing. “Inggrid ... pamit, Pa.”
“Tidur di sini?”’
Aku tersenyum dan mengangguk kecil sebagai jawaban. “Mau culik Zain ke apartement, nanti aku dimaki-maki Rendra.”
Kulihat garis tipis di sudut bibir Papa. Setidaknya, ada hal yang bisa membuat Papa kembali tersenyum. Pembicaraan mengenai Zain, cucu kesayangannya itu. Belum genap langkahku tiba di pintu ruang kerja Papa, ucapannya membuat pertahananku ambrol seketika.
“Apa kamu masih mencintai Neil, Nak?”
Percuma berbohong. Percuma juga ditutupi. Saat aku menoleh pada Papa, pipiku sudah basah air mata.
“Selalu, Pa. Selalu.”
***
Tiap kali kudengar namanya disebut, sesak yang mengimpit dada sama sekali tak berkurang barang satu persen. Rasanya aku seperti dikembalikan pada enam belas tahun lalu. Berdiri kaku, dengan mata nyalang pada satu tempat yang disebut peristirahatan terakhir. Suaraku habis meneriaki namanya agar bangun. Jantungku rasa terhenti saat dokter mengatakan, sudah tak ada lagi harap.
Kejadian itu mengikis habis cinta yang pernah aku miliki. Rasa yang kupunya ini, pada akhirnya ikut dibenam dan dikubur bersamanya yang tak pernah mau kembali. Dan tak ada sedikit pun keinginan untukku mengambilnya lagi. Agar cinta ini terus abadi, walau sudah berbeda dunia.
Aku berusaha dengan amat agar isak ini terhenti barang sejenak. Padahal aku sudah berjanji tak ingin menangisinya lagi. Namun, dalam tiap sujud yang kulakukan, tangis serta lirih doaku masih setia menemani. Berharap sekali saja, cukup bagiku satu kali saja. Dirinya hadir dalam mimpi setelah sekian belas tahun, aku merindunya dengan amat.
Kehilangan orang yang kita cintai, tak pernah ada sederhana yang bisa menjabarkannya.
Suara pintu diketuk membuatku buru-buru menghapus jejak air mata menggunakan mukena yang masih kukenakan. “Ya? Siapa?” kataku sembari menormalkan laju tangis.
“Ibu.”
Ah, wanita cantik yang begitu kusayangi ada di depan kamarku. “Sebentar, Inggrid baru selesai shalat Isya.”
Kurapikan rambut juga berharap Ibu tak mengetahu jejak di pipi. Menepuk pelan dan memastikan aku sudah siap menyambutnya walau ragu.
“Papa bilang kamu nginap?” tanyanya ketika aku membuka pintu. Kuraih tubuhnya yang sudah mulai menua. Menghidu dalam-dalam aroma tubuhnya yang selalu kurindu. Merasakan tiap inchi usapan yang diberi pada punggungku.
“Iya. Inggrid kangen Ibu.”
Ibu malah berdecak. Menjawil hidungku dengan gemas. Di depannya, aku hanya lah Inggrid yang manja. Inggrid yang selalu haus pelukannya. Juga Inggrid yang tak pernah mau menegakkan kepala menantang dunia. Karena di rumah ini adalah duniaku. Sumber waras yang kugenggam hingga kini.
“Sudah makan?”
Aku menggeleng.
“Sudah hampir jam sepuluh kamu belum makan?” tanya Ibu dengan mata yang melotot tajam ke arahku.
“Tadi lembur sebentar.” Aku setengah bergelayut manja padanya. Menggiringnya masuk ke dalam kamar dan duduk di tepi ranjang bersama.
“Iya, Ibu tau. Yaya beritahu Ibu.” Ia memberi satu usapan lembut di rambutku yang menghalangi wajah. “Coba datangnya lebih cepat. Bisa makan bersama tadi.”
Aku tersenyum kecil. “Besok bisa sarapan bersama, kan?”
“Kamu habis nangis, Nak?”
Rasanya, di depan wanita yang agung kulantun panggilan ibu ini aku tak bisa berbohong lebih banyak. “Iya.”
“Sudah sekian lama, Nak.”
Kepalaku disandarkan pada bahunya. Usapan lembut lagi-lagi kuterima. Bagaimana aku bisa lupa, kalau di sini, di dalam kamarku semua jejaknya masih ada. Bahkan foto-foto kami dulu masih setia menghias dinding kamar.
Tak ada niatku barang secuil menyingkirkan dirinya dari hidupku. Cintaku abadi untuknya karena aku tau, sesuai pesan terakhirnya, kalau dia ... mencintaiku dengan segenap jiwa.
“Sekian lama waktu enggak sanggup membuat Inggrid lupa, Bu.”
“Sama sekali enggak bisa membuka hati, Nak?”
Sebagai jawaban aku menggeleng. “Egois rasanya, kalau Abang Neil cinta sama Inggrid, tapi Inggrid lupa sama Abang hanya karena orang baru.”
Ibu tak lagi bersuara. Pun aku.
Lama kami saling terdiam, seperti saat jeda terbentuk pada sebuah pemikiran. Agar sama-sama bisa diresapi lebih dalam, sampai di mana semuanya bermuara.
“Ibu dengar... mengenai Mahreem.”
“Hanya orang sinting yang berani bertindak seperti itu ke aku, Bu.”
“Mahreem enggak tau apa-apa tentang masa lalu kamu, Nak.”
Aku meringis kecil. “Karena itu lah, aku enggak mau. Toh ... aku enggak bisa mencintai orang lain.”
Ibu menatapku lekat-lekat.
“Enggak fair rasanya kalau dia punya perasaan sama aku sementara aku tetap ada di tempat yang sama tanpa berniat beranjak.
Lagi pula ... kurasa dia punya tujuan. Bukan karena cinta, Bu. Aku tau itu dengan pasti.” Kututup pembicaraan malam ini dengan senyum penuh yakin.
***
“Bu,” panggil Anna tiba-tiba. Aku belum genap memasuki koridor tapi sudah mendengar suaranya dari arah lain. Saat aku menoleh, gadis itu tampak terengah.
“Dari mana kamu?”
Sepertinya untuk berbicara, Anna harus banyak mengisi paru-parunya dengan udara. Agak tergesa, Anna akhirnya bisa menyuarakan hal yang membuatku ingin mengumpat.
“Di bawah, ada banyak buket bunga. Dan rasanya ... Anna tau dari siapa. Tadi Anna dipanggil karena terlalu banyak jadi harus minta bantu—”
“Suruh sekuriti gedung untuk membuang,” selaku penuh tegas tanpa menoleh lagi. Kali ini, aku harus benar-benar mengonfrontasi dirinya. Aku mengabaikan bukan berarti malah semakin jadi dirinya berbuat. Seenaknya sekali!
Sampai tanpa sadar aku membanting pintu ruangan yang kuyakin menyisakan Anna yang berjengit kaget karena ulahku. Agak kasar aku meletakkan tas tenteng yang kubawa. Sepagian ini, mood-ku yang dalam kadar happy luar biasa.
Sarapan pagi ini aku bersama keluargaku. Lengkap dengan Zain yang sudah heboh dengan buburnya. Semua yang tercipta di meja makan tadi, kurekam dengan amat betapa kami semua saling mencintai satu sama lain. Dan karena cinta ini pula, aku masih bisa bertahan tanpa tenggelam dan larut terlalu lama pada kesedihan tanpa ujung.
Aku bersyukur sekali mendapati hal ini dalam hidupku yang sepi. Bahkan sepanjang jalan, kami bercerita banyak mengenai Zain. Yaya semringah sekali saat berceloteh ini dan itu mengenai anaknya itu. Sesekali Rendra dengan jokes recehnya yang mampu membuat rona di pipi Yaya makin bersemu.
Dasar tukang gombal! Tapi kuakui, Rendra memang bukan pria yang hobi macam-macam dengan perkataan manisnya. Malah kurasa, kadar manis mendekati menjijikan itu hanya dibuat untuk Sayana. Kalau istilah Anna bilang. “Pak Rendra bucin banget sama Mbak Yaya.”
Dan semua hal menyenangkan itu dihancurkan oleh Andrew dengan sempurna! Mood-ku hancur total.
“Bu.”
Kali ini yang memasuki ruanganku, Yaya. Di tangannya, secangkir teh yang kurasa itu buatan Anna, ia bawakan.
“Pasti Ibu tau ini buatan siapa.”
Tebakanku benar. “Duduk, Ya.” Walau kuyakin dirinya mau bertanya lebih jauh mengenai tingkahku barusan, aku berusaha mengabaikan. Rendra pasti sudah bercerita mengenai proposal gila yang diajukan seorang Andrew Baharu Mahreem.
“Apa yang mau Kak Inggrid lakukan?” tanyanya pelan. Matanya menatapku penuh simpati.
“Menghantam Andrew pakai tas berisi batu bata, aku rasa itu cukup adil.”
Yaya sepertinya ingin tertawa tapi ditahan. Mungkin takut menyinggung perasaanku. Mencairkan suasana, aku terkekeh saja. Dan benar. Yaya menghela napas pelan dan seperti terbebas dari hal yang mencekik, ia mengulum senyum. “Nanti tambah sinting Pak Andrew-nya.”
Aku setuju dengan Yaya kali ini.
“Kosongkan jadwal aku hari ini, Ya. Sepertinya benar. Aku harus mencuci kepala Andrew sendiri. Syukur untung kalau ada dokter yang mau membantu. Biar cepat selesai dan dirinya enggak terlalu sinting lagi.” Aku berpikir sejenak, apa hari ini ada case urgent yang mesti kuselesaikan dengan segera?
“Buat janji temu hari ini, Ya. Reversasi di mana saja asal private,” imbuhku sembari mengutak atik ponsel. Menekan nomor telepon yang rasanya kini aku sesali pernah menyimpannya.
Begitu terhubung, tanpa perlu mengucap salam aku berkata dengan nada setenang mungkin tapi ketahui lah, itu menyeramkan. Bahkan bulu kudukku sendiri sudah mulai bangkit saking takutnya.
“Saya ingin bicara berdua dengan ... siapa kalau boleh saya berucap? Calon Suami?”

Komento sa Aklat (85)

  • avatar
    Asepmuh.zakwan

    mantap ini sih

    11d

      0
  • avatar
    Muhammad Khairun Nizam Bin Hashim

    ✌🏻 ⭐️⭐️⭐️⭐️

    28d

      0
  • avatar
    Wn07Ardian

    mantap

    21/08

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata