logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 7

Ucapan Mas Wawan kala itu, masih terngiang jelas di ingatanku. Seakan aku tak percaya dibuatnya. Aku mencoba membiarkannya berlalu, namun tetap saja aku mengingatnya.
Malam ini setelah Hawa terlelap di pangkuanku. Aku tak langsung bisa memejamkan mata.
Pikiranku menerawang jauh. Mengingat setiap detik awal aku menginjakan kaki di rumah ini.
Saat itu usiaku baru 21 tahun, bapakku sendiri sudah meninggal, sejak aku masih di bangku SMA. Tinggal Emak saja, aku tiga bersaudara. Anak perempuan satu-satunya. Kebetulan sekali aku adalah anak bungsu. Menjadi perempuan satu-satunya adalah beban tersendiri untukku. Aku diharuskan tetap di rumah, mencari pekerjaan di dekat rumah saja.
Hati ini menginginkan merantau ke kota, mencari pengalaman dan juga mencari teman. Namun lain di kata, kedua kakak ku tak mengizinkan, apa lagi Emak. Dia takut sendirian tinggal di rumah. Aku menurut saja dengan mereka.
Akhirnya aku bekerja di salah satu pabrik tekstil cukup terkenal di kota sebelah. Di sana lah aku mengenal sosok Mas Wawan. Teman pabrik yang mengenalkan kami.
Jatuh hati pada parasnya yang manis, hingga kami sepakat berpacaran. Cinta buta? Entah apa itu namanya hingga kami melewati batas. Dua bulan berlalu hingga aku khawatir. Karena datang bulan yang rutin, menjadi terlambat beberapa Minggu.
Gelisah dan juga takut. Sosok yang aku anggap belahan hati malah merampas mahkotaku, meskipun kini dia telah menjadi pendamping hidupku.
Penyesalan? Iyaa ada rasa sesal terselip di hati. Jiwa yang masih muda, masih ingin berkelana, harus berhenti karena berbadan dua.
Gunjingan dan juga cemooh selalu saja tertuju padaku, sempat ingin mengakhiri hidup namun masih takut dengan Tuhan.
Terasa berat, menjalani kehidupan akibat terlalu bebas dalam berpacaran.
Lamunanku buyar, ketika Hawa merengek minta susu. Segera aku buatkan dan segera dia tertidur pulas.
Aku melihat jam dinding di atas nakas. Tepat menunjukan jam sepuluh malam, dimana suamiku pulang jika dia masuk sore. Segera aku membuatkan teh dan juga menyiapkan makan.
Berpapasan dengan ibu mertuaku yang pergi ke kamar mandi.
Tak menyapaku, dia diam langsung pergi menuju kamar setelah selesai buang air kecil.
Tatapannya seolah dia tak menganggapku ada.
Jikalau dulu aku tidak hamil terlebih dahulu, apakah ibu mertuaku akan sama memperlakukanku seperti ini?
Jika saja aku tak terbawa nafsu sesaat. Mungkinkah kehidupanku akan berubah?
Usia Mas Wawan masihlah cukup muda, ego yang masih tinggi tak mampu mengontrol emosi.
Umur tidak menjamin kedewasaan seseorang untuk menghadapi pernikahan dini seperti ku.
Kesiapan mental dan juga materi itu amat sangat penting. Agar kelak tak ada ketidaksiapan menghadapi semuanya.
Nasi sudah menjadi bubur. Kehidupan ini hanya bisa aku jalani sekarang, tanpa berharap waktu bisa kembali aku putar.
Terdengar suara motor berhenti di depan rumah. Aku segera melihatnya dari balik gorden jendela. Ya, Mas Wawan benar adanya. Ada guratan lelah terlihat jelas di wajahnya. Kini tubuhnya semakin kurus tak berisi. Semakin dia bekerja membanting tulang, semenjak Hawa minum susu sambung. Aku yang banyak waktu untuk menjaganya, tak mampu berbuat banyak untuk sekedar mengurangi bebannya.
Mungkin selama ini kerap dia marah, karena desakan ekonomi. Pendapatan yang tak seberapa, namun pengeluaran terlalu banyak. Belum lagi aku mengeluh soal ibunya, belum lagi aku merengek ingin segera memiliki rumah.
Mas Wawan segera masuk ke dalam kamar, melepaskan jaket dan juga tas yang dibawanya.
Dia duduk di tikar dekat kasur bersandarkan tembok dan menatap langit-langit.
Aku diam melihatnya, bertanya dalam hati, apa yang sedang ia pikirkan.
Dengan memberanikan diri, aku bertanya dengan sangat hati-hati.
"Mas, ini minumnya sudah aku siapkan. Mau sekalian diambilkan makan?" Aku bertanya dengan pelan, takut membangunkan Hawa.
"Tidak usah, nanti aku ambil sendiri! Kemarilah …." Mas Wawan menepuk samping tempat duduknya, agar aku menghampirinya.
"Ada apa, Mas? Kok sepertinya gelisah!"
"Seminggu lagi Mas akan menjalani pendidikan!"
"Alhamdulilah, akhirnya Mas. Kamu akan mempunyai ijazah pendidikan satpam, lha terus? Kamu gak ada duit?"
"Bukan itu!"
"Lantas?"
"Aku disana akan tinggal selama 3 Minggu, apakah kamu mau tinggal disini selama itu tanpaku?"
"Gak, Mas. Aku gak mau! Aku pokoknya ingin pulang ke rumah Emak, kalau kamu tidak ada di rumah."
"Lha terus rumah bagaimana? Nanti yang bantu ibu beberes rumah?"
"Kamu itu mikirnya kok kepanjangan kenapa mikir yang lain. Sesekali memikirkan aku!"
Selama tiga Minggu aku di tinggal Mas Wawan, tidak akan pernah mau aku tinggal di sini! Selama ada Mas Wawan saja, ibu mertuaku begitu berani menghina maupun membicarakanmu dari belakang. Apalagi tidak ada Mas Wawan.
Kali ini Mas Wawan menuruti permintaanku, aku pulang ke Klaten. Untuk sementara aku akan tinggal di sana. Kurang lebih satu bulan lamanya. Biarkan sedikit lebih lama dari pendidikan suamiku.
💮💮💮
Ada sedikit keraguan, ingin berpamitan kepada ibu mertua ataupun ayah mertua. Pasti pemikirannya terlalu jauh dengan ku.
Pagi ini aku memberanikan diri untuk berpamitan dengan mereka.
Sengaja aku berbicara soal kepergian Mas Wawan, dan berniat ingin berpamitan sekalian. Didepan banyak orang.
"Bu, Mas Wawan besok Minggu, akan pergi ke Semarang. Dia akan menjalani pendidikan disana!"
"Terus kenapa?
"Saya dan juga Hawa akan pergi ketempat Emak!"
"Kenapa kamu mesti pulang ke rumah ibumu? Kenapa? Apa disini aku tidak bisa memberimu dan Hawa makan?"
"Biarkan saja tho, Bu! Di sana juga punya Emaknya sendiri, juga nenek Hawa juga. Kenapa mesti dilarang?" tanya salah satu tetangga.
"Iya, Bu. Disana juga orang tuanya. Gak papa, pergi saja!" Tiba-tiba ibu mertuaku berubah 180 derajat, karena itulah aku berpamitan di depan banyak orang. Seperti biasa ibu tidak akan bicara aneh-aneh. Karena dia menjaga nama baiknya sendiri.
Ah … lagu lama.
Sudah kuduga dan Sudah seperti biasanya.
Sudah tiba saatnya Mas Wawan berangkat ke Semarang, namun sebelum dia berangkat dia mengantarku terlebih dahulu ke Klaten.
Baju Hawa maupun bajuku sudah ku tata dalam tas, tinggal berangkat menunggu mobil jemputan milik teman Mas Wawan.
Namun sebelum keberangkatan ku, ibu mertua kembali berbicara dingin denganku. Berbicara dingin jika Mas Wawan dan juga bapak mertuaku tidak sedang bersama kami. Itu sering terjadi, sehingga tak jarang Mas Wawan tak mempercayai ucapanku.
"Iya, pulang sana ke orang tuamu. Disini kamu gak terawat, gak di kasih makan. Bilang pada orangtuamu, kalau mertua mu disini, tidak sebaik mereka!"
"Lho, Ibu kok bicara seperti itu? Bukannya kemarin mengizinkan aku pergi, toh di Klaten adalah orang tuaku sendiri bukan orang lain. Kenapa aku pergi kepada orang tuaku sendiri, ibu bicara seperti itu? Maksud ibu apa?"
"Lha emang benar tho? Kamu bilang sama keluargamu disana bahwa Ibu mertua mu disini tidak sebaik yang mereka pikir?!"
Emosi ku sudah memuncak di ubun-ubun.
" Bagus, kalau Ibu sadar dengan perlakuan Ibu padaku!" Aku pergi meninggalkannya sendiri.
"Wo … menantu kurang ajar, kalau diajak bicara ngelawan terus!" gumam lirih Ibu mertua yang masih bisa ku dengar.
Tak aku hiraukan lagi ucapan ibu mertuaku. Dia selalu saja menyebut ku, menantu kurang ajar.
Ketika badan ini letih terkuras habis tenaga untuk menjaga Hawa. Seringkali mendengar ucapan ibu yang tak mengenakan. Dan sesering itu pula, aku menjawab semua ucapan ibu yang kurasa tak enak di dengar. Apa aku salah? Sudah aku habiskan tenagaku untuk menjaga Hawa maupun untuk beberes rumah. Tidak istirahat yang ku dapat, malah cacian.
Tak lama mobil yang ditunggu telah tiba. Aku segera menggendong Hawa.
Menaikan beberapa barang bawaan.
Segera ku masuk ke dalam mobil, agar segera aku meninggalkan rumah ini. Rumah yang seperti neraka, yang membuatku enggan kembali.
"Mas, ibumu tadi bicara dingin padaku! Dia bilang aku suruh pulang kerumah ibuku, dan bilang kalau mertuaku tak merawatku dan juga Hawa. Dia tidak baik! Seperti itu ucapan ibumu padaku, pantaskah?" Aku bicara pada Mas Wawan dibangku mobil belakang.
"Dia bicara seperti itu?"
"Iya, kenapa? Mas Wawan gak percaya seperti biasa padaku? Mas, kamu itu kenal aku, kamu juga kenal ibu! Seharusnya kamu tahu siapa yang semestinya bisa kamu percaya bukan?"
Mas Wawan tak bergeming, dia melihat pemandangan jauh keluar jendela yang ada di sampingnya.
Entah apa yang ada di dalam pikirannya? Aku masih saja Tak mengerti!
"Kalau kamu gak percaya sama istrimu, kamu mau percaya sama siapa, Wan?" tanya teman suamiku dari bangku mengemudi.
Baru kali ini ada orang yang membelaku, meskipun dia tak melihat langsung. Tapi setidaknya dia percaya padaku.
"Apa aku harus mempercayainya sepenuhnya? Bukankah jika aku percaya dengannya, hubungan ku dengan ibu akan menjadi renggang?"
"Kamu memikirkan hubunganmu dengan ibumu, tapi tak memikirkan hubungan mu dengan istrimu? Dia ibu dari anak-anakmu, dia yang merawatmu dan juga anakmu jika sedang sakit. Aku tak pernah menyalahkanku jika baik dengan ibumu. Itu bagus, karena surga ada di telapak kaki ibu! Apakah kamu tidak berfikir? Bersama siapa kamu akan menua? Dan kamu tidak berfikir, untuk mencari kebenarannya sendiri? Kamu menasehati istri yang salah jalan, tapi kamu enggan menegur ibumu yang salah bicara?" Teman Mas Wawan ini sebenarnya tahu betul siapa ibu Mas Wawan. Karena mereka masih satu RT.
"Aku bukan tidak mempercayai istri, Mas. Kamu tahu betul siapa ibuku? Jika aku terus membela istriku di depannya, kamu pasti tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Aku hanya menjaga semuanya! Agar tak berkepanjangan, agar semua tetap baik-baik saja!"
"Kalau seperti itu, adil tidak untuk Nanda, istrimu?"
Mas Wawan tak bergeming, dia sejenak berfikir dalam diam.
Aku ada perasaan sedikit lega, karena ada yang mengerti posisiku.

Komento sa Aklat (353)

  • avatar
    NfzFauzan

    Cerita yg sangat bagus

    2d

      0
  • avatar
    letcoinnorma

    lumayan menghibur

    5d

      0
  • avatar
    JatimulyoPaijo

    bagus

    8d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata