logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bab 2

Pagi menjelang, tatkala tubuh ini malas untuk beranjak dari lelap. Namun niat harus tetap disatukan. Ya selama aku tinggal bersama mertua, bangun pagi sudah menjadi kewajiban. Mendahului dia yang punya rumah. Mas Wawan belum pulang kerja. Dia berangkat jam sepuluh malam, sekitar jam delapan pagi dia baru tiba dirumah.
Aku membawa pakaian kotor ke kamar mandi. Karena memang aku mencuci dengan tangan di kamar mandi. Dapur milik ibu mertuaku tidak lah luas, maka dari itu untuk mencuci baju aku sudah terbiasa di kamar mandi. Matahari yang masih malu-malu menampakkan sinarnya, aku yang masih hamil besar pun bersusah payah menyikat baju satu demi satu. Ibu mertuaku mulai memasukan kayu ke dalam tungku untuk memasak.
Ya, rumah suamiku masihlah sangat sederhana. Untuk memasak pun kami masih menggunakan kayu bakar. Tak ada angin tak ada hujan, aku mendengar di balik pintu kamar mandi. Ibu mertuaku berbicara kasar, aku mengerti itu dia tunjukan kepada ku. Entah apa yang membuat ibu, seakan benci padaku.
"Anji**, Jadi orang negur kalau ada mertua, di sapa ga cuman diem aja. Kita kan gak tahu diluaran sana, mereka pada bicara apa? Kalau gak tahu mereka mikirnya mertuanya yang gak tahu diri, padahal menantunya aja gak sopan. Apa gak pernah diajarin tata Krama! Diam aja kalau diajak bicara, emangnya situ bisu, nggak tho?" sungut mertuaku sambil memasukan kayu ke dalam tungku.
Tak ada jawaban dari bibir ini, hanya saja tanpa kusadari air mata jatuh di pelupuk mata. Tangan ini tetap menyikat baju, namun dada semakin sesak. Jikalau aku sedang tak mengandung. Mungkin akan berbeda cerita.
Srek … srek …
Tangan terus saja menyikat.
Meskipun air mata juga terus menetes.
Sabar ya Nak. Sebentar lagi kamu keluar. Tak akan aku biarkan satu orang pun menyakitimu ataupun menyakiti ibu.
Aku segera menjemur pakaian tanpa memperdulikan lagi ucapan mertuaku.
🌸🌸🌸
Aku berkeluh kesah pada Mas Wawan suamiku.
Dia mengerti akan posisi ku. Namun dia juga tidak menegur ibunya, sangat mengecewakan. Dia tahu betul sifat ibunya sendiri, dan dia juga tahu betul sifat ku. Namun dia tak ingin memperpanjang masalah ini.
Aku setiap hari menerima cacian maupun sindiran pedas oleh ibu mertuaku.
Aku akan menahannya. Tapi tidak setelah aku melahirkan. Aku akan bersikap lebih tegas terhadapnya.
Karena manusia model begitu, kalau tidak di lawan. Akan terus berbuat semaunya.
Aku mempersiapkan kelahiran ku yang sebentar lagi masuki tanggal perkiraan.
Tidak lupa selalu berdoa agar dimudahkan dalam hal apapun.
"Nan, nasinya abis. Kamu masak sana, nanti suamimu pulang kerja gak ada makanan!" Perintah ibu mertua padaku.
Dia tak menghiraukan aku yang sedang hamil tua, dia hanya ongkang-ongkang kaki. Sambil menonton acara televisi kesayangannya.
Aku biarkan dia menikmatinya terlebih dahulu.
Hingga saatnya tiba, kau akan menangis, memohon maaf padaku.
Aku tak menjawabnya, namun segera aku laksanakan perintahnya. Memasak dan juga bersih-bersih rumah.
Sesekali aku berhenti dan mengambil nafas panjang. Menikmati hal yang sudah menjadi keputusanku. Tidak mungkin aku merengek pada emak. Jikalau dulu aku sudah pernah dinasehati olehnya.
Insting Ibu tidak akan pernah salah. Mungkin aku harus mencoba menerimanya
🌸🌸🌸
Pagi ini perutku rasanya mulas, ingin pergi ke belakang namun tak bisa.
Jikalau terasa mulas, segera aku pergi ke kamar mandi. Namun rasa mulas itu hilang setelah aku berada di kamar mandi.
Segera aku bilang pada Mas Wawan. Mungkin ini saatnya aku akan segera melahirkan. Karena telah keluar darah segar dari jalan lahir.
Mas Wawan segera membawaku ke klinik terdekat.
Namun aku yang baru pertama kali menjalani persalinan, menyimpan rasa takut yang membuat tensi darah naik. Aku kemudian dirujuk ke rumah sakit terdekat.
Mungkin karena di persalinan ku yang pertama tidak didampingi orang tua sendiri.
Berkali-kali aku menjalani tes darah maupun USG. Memastikan bahwa anakku akan segera lahir dalam keadaan sehat.
Jam dua siang perutku kontraksi semakin sering dan juga lebih menyakitkan. Tak membutuhkan waktu lama, Tepat jam empat sore anakku lahir di dunia dengan sehat tanpa kekurangan apapun.
Namun dengan berat hati, dokter menyatakan aku HBsAg positif. Dimana aku baru diketahui setelah melahirkan. Jalan satu-satunya anakku harus disuntik dengan vaksin immunoglobulin HB (HBlg).
Anakku disarankan tidak diberi ASI eksklusif karena penyakit liver yang aku derita.
Aku mengiyakan, dan setuju memberi anak ku dengan susu formula.
Dia bayi perempuan yang sehat dan cantik.
Hawa El Shanum. Nama yang aku beri untuk si jabang bayi.
Semoga kelak engkau menjadi anak yang Sholeh dan juga pintar. Berbakti kepada orang tua dan penyayang.
Dengan penuh kasih sayang aku merawat putri kecilku.
Mas Wawan kini semakin rajin bekerja. Sebulan sekali aku membeli beras sekarung, setelah suamiku menerima gaji. Namun sayangnya ibu mertuaku tak menghiraukan itu. Tak menghargaiku, padahal jika sabun mandi maupun sabun cuci habis aku segera membelinya. Tak jarang gula maupun kopi aku juga yang membelinya. Namun semua kebaikan ku tak nampak olehnya.
Hingga aku tak lagi mampu menutupi kekecewaan ku lagi.
"Nanda, sabun cuci habis tadi dari warung kenapa gak beli sekalian?"
"Saya sudah beli kok, Bu. Sabun cuci, sabun mandi dan juga pasta gigi!"
"Dimana sekarang? Aku mau mencuci! Ambilkan untukku!" Ibu mertua menyapu di seluruh sudut ruangan.
"Aku membeli untuk diriku sendiri, Mulai hari ini sabun aku pisah! Agar kalau aku boros aku tidak akan menghabiskan sabun yang ibu beli!" Aku kecewa setelah mendengar dari tetangga. Bahwa aku yang sudah menghabiskan semua yang ada di rumah ini.
"Sekarang kamu mulai hitung-hitungan ya!" Ibu berkacak pinggang sembari menatap ke arahku.
"Aku gak mau, Bu. Menghabiskan barang yang ibu beli. Aku juga akan memberitahu Ibu. Bahwasanya mulai hari ini. Aku akan memasak sendiri. Silahkan ibu juga memasak sendiri untuk anak dan juga suami ibu."
"Kamu kurang ajar ya, Nan! Kamu mau pelit sama mertuamu?"
"Saya gak pelit, Bu. Tapi saya perhitungan setelah ibu juga menghitung hidupku di sini. Dari makan, gula dan beras." Aku berjalan meninggalkan Ibu yang masih menahan marah di dapur. Tidak lagi aku dengarkan semua ucapan yang masih terlontar di bibirnya.
Ibu mulai kelabakan, karena memang selama ini aku lah yang membeli kebutuhan rumah. Kecuali sayur buat makan sehari-hari. Tapi yang aku kecewakan, beliau berbicara kepada semua orang kalau aku menghabiskan makanan dirumahnya. Sungguh menyedihkan bukan?
Seharusnya jika dia merasa lebih tua dia akan menempatkan dirinya sebagai contoh dan juga panutan yang baik untuk anak-anaknya.
Aku juga akan menempatkan sebagai menantu yang bisa menghormati mertuanya.
Hawa El Shanum … putri mungil berparas cantik, kini menghiasi hari-hariku. Aku tak lagi sendirian. Kini aku ada yang memberi kekuatan. Setiap hari melihat wajah tak menyenangkan. Mendengar kata-kata tak mengenakkan. Kadang diberi tahu oleh tetangga, bahwasanya aku tidak menginginkan tubuhku tak kan indah lagi. Jikalau aku memberi asi eksklusif.
Padahal sengaja aku tidak memberitahu ibu mertuaku. Karena dia pasti tidak akan terima, jika mempunyai menantu penyakitan sepertiku.
Mungkin malah akan jadi bahan gunjingan dengan para tetangga. Miris bukan?
Aku yang sedang menggendong Hawa, di bawah pohon yang sedikit rindang. Mencari udara segar, karena hari ini sangatlah panas. Hawa rewel dibuatnya.
Tiba-tiba Mbak Lastri memanggilku, dia memberiku oleh-oleh dari Bandung.
Dia kemudian berjalan menghampiriku yang masih sibuk menenangkan Hawa.
"Nan, sini deh. Tak kasih oleh-oleh!" Teriak Mbak Lastri dari kejauhan.
"Oleh-oleh apa, Mbak? Emang Mbak Lastri darimana?" tanyaku sembari mengipasi hawa dengan kipas tangan yang terbuat dari bambu.
"Kemarin Mbak ke Bandung! Sepupu ada yang punya hajatan," tutur Mbak Lastri sambil menyerahkan plastik berisi makanan.
"Ow …." Aku segera menerimanya. Tak lupa aku berterimakasih.
"Hawa nantik, kamu lewel ya? Kamu nanis y? Jangan nanis cayang! Cini gendong Bude!" Mbak Lastri menirukan suara anak kecil, merayu Hawa biar dia tersenyum.
Namun si kecil tak juga tersenyum malah menyembunyikan wajahnya di balik bajuku.
Dengan telaten Mbak Lastri merayu Hawa hingga dia tersenyum dan mau di ajak olehnya. Aku menyerahkan Hawa, dari gendongan ku. Segera aku lihat plastik yang tadi di berikan padaku.
"Nan, gimana Ibu mertuamu? Sudah berubah?" tanya Mbak Lastri sembari menggendong Hawa.
"Gak bakal dia berubah, Mbak! Yang buat dia berubah tu cuma satu, Uang …." Dengan lantang aku mengatakan itu pada Mbak Lastri.
"Iya, dia mah uang mulu yang di pikirin. Eh, Tau gak? Kemarin dia bilang sama Emak-Emak di tukang sayur, kalau kamu itu makannya banyak! Gak mau beberes rumah, sama gak suka bantuin beli belanjaan! Padahal aku lihat sendiri lho, kalau kamu itu sering belanja beras juga sabun." Mbak Lastri geleng-geleng kepala.
"Astagfirullahaladzim, dia bilang seperti itu, Mbak? Jahat banget!" Aku mengelus dada.
"Iya, Nan. Mending kamu bilang sama suami kamu!"
"Iya, Mbak. Nanti aku bicarakan dengan suamiku!" Aku sangking jengkelnya.
Mbak Lastri menceritakan semua tentang Ibu mertuaku diluaran sana. Entah itu benar atau tidak aku juga tidak tahu. Terkadang tetangga juga suka mengadu domba agar terjadi permusuhan di antara menantu dan juga mertua. Karena bisa dijadikan bahan gunjingan sesama tetangga. Sudah menjadi hal yang biasa jika itu terjadi. Dari kejauhan aku melihat motor yang tak asing bagiku.
Aku segera pulang, setelah melihat Mas Wawan pulang dari kerja. Kalau bukan karena Mas Wawan, mungkin aku sudah angkat kaki dari rumah ini.
Dia memang kaku orangnya. Tidak membelaku dan juga membantu memberi nasehat kepada ibu. Awalnya aku gak tahu jalan pikirannya. Aku kecewa, selalu saja marah jika dia gak pernah ngebelain aku di depan ibunya.
Tapi ternyata dia lebih dewasa. Dia hanya tidak ingin ada kesalahpahaman antara aku, dia dan juga Ibu.
Mungkin karena dia tipe pria yang tidak banyak bicara. Sehingga tak bisa memberi pengertian kepada ku dengan baik-baik. Maksud dia baik, tujuan dia juga benar tapi cara penyampaiannya yang kurang pintar.
Aku bisa memahami sedikit demi sedikit sekarang. Tapi tidak dengan tanggapan para tetangga. Mereka hanya berfikir kalau aku lah yang selama ini tidak benar. Dan selalu saja malas-malasan.
Aku berjalan tergopoh-gopoh setelah melihat Mas Wawan pulang bekerja.
"Wan, tu istrimu. Baru pulang main dari tetangga. Dia bakal pulang kalau kamu juga pulang kerja. Kalau kamu gak ada, dia gak pernah ada di rumah!" sungut Ibu mertuaku pada Mas Wawan, yang baru saja pulang kerja, yang belum sempat melepas sepatunya.
"Bu, aku itu gak main, aku ngajak Hawa ngadem. Dari tadi dia kepanasan, rewel." Aku memberanikan diri menjawab, karena sudah bosan disudutkan terus-menerus tanpa perlawanan.
Kalau tidak, dia akan bicara kemana-mana.
"Tu … dengar kan, sekarang dia mulai berani sama ibu. Itu akibat istrimu main terus ke tetangga. Ya seperti itu!" Ibu mertuaku semakin membuatku emosi.
Sambil berkacak pinggang dia menatapku dengan tajam dan penuh ketidaksukaan.
Mas Wawan meletakan sepatunya di rak bambu yang dibuat sendiri. Lalu berdiri kemudian menghampiriku.
Tangan Mas Wawan meraihku. Dia menggelengkan kepalanya. Mengisyaratkan bahwa aku tidak boleh, meladeni ibunya.
"Mas …." Aku berbisik hingga hampir tak terdengar.
Mas Wawan hanya tersenyum, dan mengajakku masuk ke dalam kamar.
"Kok kamu gak jawab sih, Mas? Gak ngomong apa gitu?" tanya ku sembari bibirku monyong dua Senti.
"Sudahlah, Dek. Gak usah diladeni. Ibu memang begitu, kamu yang sabar menghadapi ibu. Maklum, ibu sudah tua!" Mas Wawan mencoba menenangkanku.
Aku tak menjawab namun bibirku sedikit mencebik.
"Nanda, kalau suaminya pulang itu dibikinin kopi. Bukannya malah marah-marah gak jelas!" teriak Ibu dari ruang tamu.
"Tu denger, Mas. Ibumu itu memang bawel!" Aku melangkah pergi ke dapur setelah menyerahkan Hawa kepada Mas Wawan.
Salah ku apa? Jika dipikir-pikir selama ini aku tidak juga ongkang-ongkang kaki dirumah. Meskipun ada Hawa, aku tetep mencuci baju, piring maupun bersih-bersih yang lain. Masak? Aku juga sering bantu ibu masak. Apalagi urusan mencabut rumput liar, itu sudah agenda mingguan yang wajib dikerjakan. Sabun habis aku juga beli. Mungkin dasarnya mertuanya kali yang gak peka. Kalau aku pernah berbuat salah. Biarkan itu menjadi penyesalanku seumur hidup. Bukan malah ikut memusuhiku.
Benar bukan?
πŸ€πŸ€πŸ€
Hari ini Mas Wawan masih bekerja shift pagi. Berangkat jam tujuh pagi pulang jam tiga sore. Aku sengaja masak tumis kangkung dan menggoreng tempe menggunakan tepung.
Tak lupa membersihkan rumah setelah Hawa terlelap. Mas Wawan pun juga sudah berangkat kerja.
Bapak mertua, Adi dan juga ibu mertua sudah tidak ada dirumah. Mereka pergi dengan kesibukan masing-masing.
"Permisi," Teriak seseorang dari luar. Aku yang baru saja menyapu belakang rumah meninggalkan sapu begitu saja dan segera menghampiri sumber suara.
"Ya, cari siapa ya?" tanyaku penuh hati-hati.

"Ibumu ada?" tanya wanita yang tidak aku kenal.
"Tidak ada, Bu. Maaf, sudah pergi!"
"Kemana?"
"Kerja, Bu. Di Rumah depan jalan berwarna hijau, jam segini biasanya masih disana." Aku menunjuk arah dimana ibu mertua bekerja.
"Baiklah, terima kasih. Aku akan cari kesana!"
Wanita itu kemudian pergi meninggalkan aku yang masih penasaran kepadanya. Waktu pun terasa cepat tidak terasa jam menunjukan pukul dua tepat. Entah kemana ibu pergi. Biasanya jam satu dia sudah ada di rumah tapi tidak untuk saat ini. Belum terlihat ada tanda-tanda kedatangannya.
"Nan, kamu itu jangan suka ngasih tau sama orang dimana kerjaku." Tiba-tiba mertua datang dan langsung berbicara dengan menaikan nada bicara satu oktaf.
"Maksud ibu apa? Aku gak ngerti?" Aku mencoba mencerna ucapan ibu mertua.
"Tadi ada yang nyari kan? Kalau gak tau urusannya gak usah ikut campur!"
"Aku niatnya baik kok!"
"Gak usah sok baik!"
Kemudian Mas Wawan terlihat pulang. Tak biasanya dia pulang jam segini.
"Istrimu itu diajari sopan santun, Wan. Biar gak suka ngurusin urusan orang! Memangnya gak pernah dia ajari apa sama orang tuanya?!" Ibu berbicara lantang menghadap Mas Wawan yang baru saja masuk ke dalam rumah kemudian pergi begitu saja meninggalkan kami yang saling melempar pandangan.
"Mas …."

Komento sa Aklat (353)

  • avatar
    NfzFauzan

    Cerita yg sangat bagus

    3d

    Β Β 0
  • avatar
    letcoinnorma

    lumayan menghibur

    6d

    Β Β 0
  • avatar
    JatimulyoPaijo

    bagus

    8d

    Β Β 0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata