logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

KUBALAS HINAANMU DENGAN UANGKU

KUBALAS HINAANMU DENGAN UANGKU

Pena_Kinan


Bab 1

"Mas, sepertinya aku hamil. Bulan ini aku belum haid, padahal ini sudah hampir ganti bulan!"
"Terus kenapa?"
"Aku takut, Mas. Kita kan belum menikah, lagian aku belum kamu kenalkan dengan kedua orang tuamu. Aku takut kamu gak mau bertanggung jawab!" desak ku pada Mas Wawan.
"Apa beneran positif? Sudah di cek belum? Nanti cuma telat?" tanya Mas Wawan yang masih menatap layar ponselnya. Tidak ada rasa takut maupun khawatir terhadapku.
"Belum, Mas. Aku takut!" Aku memainkan cincin yang melingkar di jari manis sebelah kanan.
"Takut kenapa?"
"Takut kalau aku beneran hamil!" Pandanganku beralih pada pria yang ada di sebelahku.
"lha terus gimana?" Mas Wawan masih terlihat memainkan ponselnya.
Aku diam sejenak, meraih dompet yang aku taruh dalam tas. Dan terlihat disana hanya ada beberapa lembar uang lima ribuan.
"Mas, aku lagi gak ada duit! Tolong belikan tespeck ya?" pintaku pada Mas Wawan sembari bergelayut di lengannya.
"Aku lagi gak ada duit, belum gajian," Dengan gampangnya dia menjawab, seperti tidak punya rasa bersalah ataupun rasa kasihan mendengar keluhanku.
"Mas, kamu benar-benar ya. Gak mau keluar uang. Aku minta di beliin testpack aja gak ada!" sungutku penuh amarah sambil melepas tanganku dari lengannya.
"Aku juga lagi gak ada duit, kalau aku punya udah aku kasih!" Mas Wawan menghentikan aktivitasnya lalu menatapku sejenak.
Aku pergi begitu saja meninggalkan Mas Wawan yang masih duduk di kursi. Ya, kami bertengkar selayaknya kekasih di salah satu cafe yang cukup terkenal di kota ku. Aku belum menikah dengan Mas Wawan, namun sepertinya aku hamil. Pikiranku tak karuan ketika bobot tubuhku semakin kurus, awalnya aku seneng. Tubuhku yang terlihat langsing, namun lama kelamaan pinggang ini sering sakit. Kepala ku sering pusing, dan kalau pagi sering muntah-muntah. Aku yang masih bekerja di pabrik tekstil ternama di kota. Takut ketahuan kalau nanti beneran hamil. Teman-temanku semua sudah mencurigai ku.
"Kamu kok kurusan sih, Nan? Sering sakit pula, mikirin apa?" tanya Tari temanku di pabrik. Dia memperhatikanku dari ujung kaki sampai ke ujung kepala.
"Gak papa, capek aku!" jawabku singkat.
Aku pergi begitu saja, setelah jam istirahat tiba. Aku ke kantin yang ada di pabrik.
Aku dan Tari makan bakso di sana.
"Makanmu banyak banget, Nan. Tapi tubuhmu kurus, kalau pagi aku sering lihat kamu muntah-muntah! Bulan ini aja kamu belum datang bulan lho!" Telisik Tari.
"Gak tau nih, lagi banyak pikiran. Makanya gak tertib datang bulannya!"
"Jangan-jangan kamu hamil lagi?" Tari menatapku dengan penuh curiga.
"Husstt, jangan keras-keras. Nanti pada denger lagi." Jari telunjuk tepat berada pada bibir.
"Kamu beneran hamil?!" Tari kembali bertanya karena ucapanku yang mulai mencurigakan.
"Belum aku cek," Aku menjawab dengan santai. Sembari memasukan bakso ke dalam mulut.
"Kenapa gak di cek? Buruan, nanti keburu besar lagi!
"Aku lagi gak ada duit buat periksa!"
"Mas Wawan dong, suruh bayarin. Suruh tanggung jawab!"
"Dia lagi gak ada duit, malas aku minta sama dia!"
"Kamu itu jadi cewek yang berani dong, dia minta jatah aja kamu kasih. Masak minta uang buat periksa gak di kasih. Cowok apa?"
"Gak tau, gak usah dibahas. Pusing aku!"
Lantas aku mengajak Tari segera meninggalkan kantin.
❤️❤️❤️❤️❤️
Aku tinggal di kos-kosan, karena rumahku cukup jauh. Lagi pula kadang ada lembur, jadi kalau pulang malam aku takut sendirian. Aku yang sedang tiduran di kasur mendengar ponsel ku berbunyi. Benar saja itu dari Mas Wawan.
"Halo, ada apa telpon?" tanya ku dengan menaikan nada bicara satu oktaf.
"Cuma kangen, gak boleh telpon apa? Sudah periksa?" Terdengar orang yang ada disebrang telepon sedang khawatir.
"Udah!"
"Terus hasile?" tanya Wawan penasaran.
"Positif! Kamu itu dari kemarin sudah aku suruh tho, beliin testpack. Lha ternyata cuma tujuh ribu aja, kamu gak kuat beliin. Gimana mau ngurus aku sama anakku!" sungutku masih memendam amarah.
"Lha sudah tho, mau gimana lagi? Wong lagi gak ada duit!" Wawan dengan berat mengatakannya.
"Terus ini gimana? Kenalin aku sama bapak ibu mu, awas kalau gak tanggung jawab!"
"Iya pasti aku tanggung jawab, nanti tak kenalin sama mereka!"
"Jangan nanti, aku maunya sekarang. Kalau nanti keburu besar perutku!"
"Iya …."
Ku tutup telpon tanpa menunggu penjelasannya lagi. Setelah dua Minggu, aku diajak ke rumahnya dikenalkan dengan kedua orang tua Mas Wawan.
"Kenalkan, Pak, Bu. Ini Nanda, pacar Wawan."
Aku tersenyum dan menunduk kepada mereka.
"Ini gubuk Wawan, Nduk Nan. Sederhana, Wawan bukan anak orang kaya. Kamu mau menerima dia apa adanya tho?"
( Gubuk= rumah)
"Iya, Pak." jawaban ku singkat.
Rumah Mas Wawan tidaklah mewah ataupun berpagar besi. Rumah bercat warna merah muda itu terlihat sangat sederhana.
Tapi apapun keadaannya aku berjanji akan menerimanya dengan ikhlas. Kalau soal harta bisa dicari sama-sama.
Yang terpenting saat ini ada sosok ayah yang akan menemani calon bayiku.
****
Seiring berjalannya waktu, perutku semakin membesar. Tepatnya bulan Mei aku menikah dengan Mas Wawan. Bulan itu juga usia kandunganku sudah memasuki bulan ke empat. Yang aku pikir menikah dengan Mas Wawan masalahku selesai. Namun aku salah, disinilah awal aku menemui masalah. Mertua yang awalnya baik menjadi ular yang berbisa setelah tinggal bersama. Aku yang tengah hamil tidak terlalu bersemangat untuk mengerjakan rumah, hanya ingin bermalas-malasan. Namun mertuaku tidak bisa memaklumi itu.
"Hamil bukan buat tiduran, buat kerja. Agar nanti kalau lahiran. Lancar," ucap Ibu mertuaku.
Aku hanya diam, teringat pesan mamakku di kampung. Apapun yang terjadi kalau lagi hamil, gak usah di ladeni. Diem aja. Aku nurut aja, meskipun hati ini ingin mencakarnya. Aku berlalu begitu saja, tanpa ada jawaban dariku.
❤️❤️❤️❤️❤️
Baru satu bulan tinggal bersama mertua, seakan sudah hidup di neraka. Dia selalu menyindirku karena aku hamil duluan. Toh yang bikin aku kayak gini juga anak lelakimu. Ketika aku sedang menyapu halaman depan. Ibu mertuaku membeli sayuran di tukang sayur yang selalu berhenti di depan rumah.
"Nambah keluarga, juga nambah kebutuhan. Udah makannya banyak, gak mau beli beras. Angel, Jang Ujang." Suara itu terdengar mengarah kepadaku.
(Angel : susah)
Gaji suamiku berapa? Buat cicilan motor, buat periksa kehamilan. Aku saja yang jadi istrinya jarang dikasih uang buat keperluanku pribadi. Dongkol rasanya, denger omongan kayak gitu. Dada ini seakan bergemuruh, seandainya aku bisa mengulang waktu. Aku tidak akan melakukan hal yang membuatku sampai disini. Terkadang di tengah kehamilanku, aku ingin bekerja. Mencari uang yang banyak untuk menampar mereka, yang selalu berpikir uang itu segalanya. Hati ini begitu sakit, tersayat pedang yang dilayangkan ibu sendiri. Aku selalu berharap semua akan indah pada waktunya. Tapi keberuntungan belum berpihak dengan ku. Marah ini kecewa ini membuat dada ini semakin sesak. Di tengah hamilku yang sudah mulai membesar, setiap malam aku sering menangis. Rindu mamak yang ada di kampung, rindu dengan segala kesederhanaannya yang menerima aku apa adanya.
Sakit ini semakin berat, tatkala suamiku, ternyata orang yang begitu kaku dan juga egois. Sering aku meminta pergi menjenguk ibu. Tapi jarang di izinkan. Kenapa aku ingin pergi menemui orang tuaku, kau larang? Tapi kau di sini sering melukai hatiku.
Hingga ku lewati setiap malam dengan tangisan.
Tuhan, izinkan aku pergi dari rumah ini. Aku begitu lugu hingga tak berani membela diriku sendiri.
Tuhan, akankah kelak aku akan merasakan bahagia? Hingga sekarang kau beri cobaan yang terasa amat berat bagiku.
Tuhan, jika nanti aku akan merasakan bahagia, berikan kebahagiaan yang tiada duanya.
Tuhan, jika roda kehidupan berputar, izinkan aku menikmati bahagia.
Sebelum aku menikah dengan Mas Wawan, aku sudah lebih dulu membeli motor. Meskipun baru setahun aku mencicil. Paling tidak aku sudah mengeluarkan uang muka serta angsuran setahun. Ternyata Mas Wawan juga mengambil kredit motor, alhasil setelah dia menikahiku. Beban yang harus dibayarkan terlalu banyak, sehingga dia berencana mengembalikan motor ke Dealer.
"Pak, aku gak sanggup. Bayar angsuran, motor mau aku balikin ke Dealer," ucap Mas Wawan pada Bapaknya.
Karena memang Mas Wawan sudah membayar cicilan motor milikku. Jadi jika harus membayar juga cicilan motor miliknya. Mungkin uang gaji tidak akan cukup jika nanti ingin digunakan untuk periksa kandungan. Sebab ongkos untuk memeriksakan kandungan saat ini kisaran dua ratus ribu.
"Biar diterusin adikmu, nanti bapak yang bantu. Udah setahun, kan sayang kalau mau di balikin!" Jelas bapak pada suamiku.
"Iya, Pak!" Mas Wawan menyetujui. Toh, dia yang mengatakan jika akan membantu melunasi motor bersama adik Mas Wawan.
Mas Wawan memang gak terlalu dekat dengan orang tuanya. Entah apa alasannya, sampai detik ini aku pun juga tidak tahu. Apa lagi dengan ibunya, bertegur sapa pun jarang aku lihat. Walaupun kita satu atap. Ibu mertuaku tiba-tiba marah-marah. Karena anak lelaki yang disayanginya harus kerja keras untuk melunasi motor Mas Wawan. Ya anak kesayangan ibu mertuaku ya adik Suamiku. Mereka hanya dua bersaudara, sebenarnya ada tiga namun meninggal di dalam kandungan. Padahal kalau motornya lunas pun tetap milik adik suamiku.
"Lha yang punya setoran aja malah duduk-duduk seenaknya sendiri. Anak kecil suruh kerja banting tulang! Gak mikir!" Aku mendengarnya, hanya diam tak menjawab.
Mengelus dada sambil beristighfar, apa dia tak melihat aku yang sedang berbadan dua? Dada ini sesak, seraya tak bisa bernafas lagi. Aku minta izin lagi untuk pergi ke rumah emak di klaten. Memang Mas Wawan mengantar, di juga menginap di sana. Namun tak kusangka dia memarahiku di jalan ketika pulang. Ternyata apa yang terlihat tidak sama dengan apa yang dihati. Seharusnya aku sebagai istrinya peka dengan itu.
"Kamu pikir, aku gak capek apa? Mondar-mandir Wonogiri-Klaten, itu jauh, belum lagi kalau aku kerja, juga cari ikan buat dapat penghasilan tambahan. Kamu itu mbok mikir. Udah nikah malah masih gitu aja!"
Aku tak menyangka mendengar perkataan suamiku, terasa sakit. Luka yang tak berdarah namun membekas. Dipacunya motor dengan kencang, tanpa memikirkan kandunganku. Apakah kamu sama seperti mereka, Mas. Menginginkan bayi ini pergi? Apakah kamu tidak percaya kalau ini darah dagingmu? Bodohnya aku yang dulu percaya, memberimu cinta penuh nafsu. Seharusnya aku percaya dengan emak, percaya peringatannya. Namun sesal tiada guna, aku terlanjur hamil. Mungkin emak menutupi aibku, namun semua pasti akan terlihat. Tak hanya orang tuamu, Mas. Dirimu pun tak mempercayaiku. Rasanya aku ingin mati, mati bersama anak ini. Aku tidak ingin merasakan betapa sakitnya ini.
"Masak sih itu anak aku?" Pertanyaan Mas Wawan begitu menyakitkan didengar.
"Kamu gak percaya, Mas. Sama aku?" Aku menatapnya dengan seksama.
"Bukankah dengan pacar kamu yang dulu, kamu juga melakukan dosa yang sama?"
"Aku gak pernah ngelakuin itu. Selain sama kamu, Mas! Apa kamu juga menuduh aku melakukanya dengan pria lain? Kamu jahat, Mas?"
Aku menangis sesenggukan tanpa ada sandaran, tanpa ada tangan yang mengusap air mataku. Cinta, ya aku di buta kan olehnya. Dan kini cintaku sendiri tak mempercayaiku.
❤️❤️❤️❤️❤️
Tujuh bulanan kehamilan hampir mendekati. Ibu mertuaku menanyakan itu padaku.
"Sudah berapa bulan?" tanya ibu mertua.
"Sudah lima bulan, Bu," jawabku.
"Katanya kemarin empat bulan, kok sekarang lima bulan. Gak usah ditutup-tutupi. Toh, juga akan ketahuan!"
"Bu, kan ibu tanya bulan kemarin. Sekarang sudah ganti bulan. Apa gak nambah?" imbuhku.
Ibu mertuaku tak menggubris. Dia pergi tanpa sepatah kata. Aku tertunduk diam, tanpa kusadari bulir-bulir air bening jatuh di pelupuk mataku. Betapa kasarnya kau ucapkan pada anak orang. Kau tak membesarkan ku kau juga tak mendidikku. Rasanya diri ini ditampar sembilu, sungguh hinanya aku. Tak sepatah katapun aku ceritakan lukaku di sini dengan mamak. Karena aku tahu, aku sudah dulu melukaimu, biarkan kini aku merasakan luka yang lebih dalam.
"Mas, aku pengen pulang. Ibu mu terlalu menyakitiku. Dia mengira aku menutupi kehamilanku," Sesak dada ini menceritakannya pada suamiku.
"Sudah, biarkan saja. Kamu diam aja gak usah di pikirkan!"
Ucapan itu begitu ringan kau ucapkan, namun begitu berat kujalani. Sudah beberapa hari kejadian itu. Bapak mertua memanggilku, dengan kata yang sama. Aku terluka untuk kedua kali.
"Nan, umur berapa bulan kamu?" tanya bapak mertuaku.

"Lima bulan, Pak!" jawabku.
"Gak usah ditutup-tutupi. Toh semua akan tahu, seperti itu lama kelamaan juga akan terlihat!" Ibu mertua terlihat bibirnya mencebik.
Mata ini kembali basah, tak kusangka ibu bercerita kepada bapak. Entah bagaimana dia mengatakannya. Sepertinya aku hina di mata mereka, sepertinya aku yang murahan.
Aku bingung hendak kepada siapa beban ini aku bagi.
Bapak aku rindu, terlalu cepat engkau pergi.
Memang aku sudah tak mempunyai bapak semenjak SMA, namun mendengar ucapan bapak mertua tadi. Aku sadar dia tetap hanya mertua. Bapak dari suamiku, Wawan. Rasa hormat itu sirna sudah, rasa empati itu tak ada lagi. Dulu aku berharap lindunganmu untukku. Namun sepertinya kau sama membenciku.
[Mas, bapakmu tadi memanggilku dia bicara seperti ibu kemarin. Dia mengira aku menutupi kehamilanku, aku pengen pulang]
Aku mengetik pesan untuk suamiku. Air mata kembali berlinang. Sungguh takdir ini tak berpihak padaku.
Tak ada balasan dari nya. Mungkin dia terlalu lelah, mendengar keluh kesahku. Selalu melihat air mataku. Kami menikah di umur yang masih cukup muda, emosi yang tidak stabil dan juga ego yang masih tinggi. Aku mengerti ini juga berat untuknya, di satu sisi dia orangtuanya. Disisi lain aku istrinya, tanggung jawabnya.
Terkadang hanya masalah sepele kau memaki aku. Aku lelah Mas, aku tak sanggup lagi menjalani ini. Entah apa aku bisa bersamamu sampai akhir.
Luka ini semakin lama mengering.
Sakit ini semakin jauh ke dasar.
Bapak,
Maafkan anakmu yang telah mengkhianatimu.
Anakmu yang dulu pernah marah, karena larangan-laranganmu.
Bapak,
Rindu ini begitu menggebu.
Sesal ini menghantui.
Beribu maaf selalu terlintas di benakku.
Mampukah aku memutar waktu.
Akan aku putar agar aku bisa memelukmu untuk terakhir kali.
Tuhan,
Berikan tempat di surgamu. Berikan kebahagiaan yang dulu belum sempat aku berikan.
Cintamu akan selalu dihati dan akan aku kenang selama sisa hidupku

Komento sa Aklat (353)

  • avatar
    NfzFauzan

    Cerita yg sangat bagus

    3d

      0
  • avatar
    letcoinnorma

    lumayan menghibur

    6d

      0
  • avatar
    JatimulyoPaijo

    bagus

    9d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata