logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Enam

Cekrek!
Pintu rumah mendadak terbuka sebelum jari menyentuh knop pintu. Seorang wanita berparas cantik, bertubuh indah bak model keluar begitu saja. Ia menatap sekilas, lalu fokus pada sepatu hak tingginya. 
Tak ada senyuman, apalagi sapaan. Wanita itu melenggang pergi begitu saja. Rambut sepunggungnya terurai ditiup angin sore. Aku melongo seperti terhipnotis oleh kecantikannya. Untuk pertama kalinya aku melihat wanita secantik itu, dari jarak yang sangat dekat. 
Jika aku saja bisa terpesona, apalagi Mas Angga? Aku segera tersadar, seperti ada yang tak beres. Melangkah masuk tanpa sepatah kata. Meletakkan Bilqis yang terlelap pulas. 
Mana Mas Angga? 
Aku beranjak mencari keberadaannya. Gemercik air di kamar mandi membuat langkah mengayun ke arah belakang. Tidak ingin gegabah dalam berucap, aku berusaha menenangkan diri dulu. Mengontrol emosi sebaik mungkin.
Setelah melihat wanita yang keluar dari rumah itu. Membuat diriku semakin kerdil dan tak percaya diri. Bisakah aku bersaing dengan wanita bak bidadari itu? 
Aku hanya wanita biasa yang tak punya apa-apa.
Mas Angga keluar kamar. Mata elangnya sedikit sembab dan merah. Acara integrasinya aku aku undurkan. Sepertinya dia sedang tak baik-baik saja.
Ikut melangkah, membuntutinya menuju kamar. Kepala hampir terantuk, karena Mas Angga secepat mungkin menutup pintu kamar. 
Ada apa dengan dia, aku semakin kebingungan. Hanya bisa kembali ke ruang depan. Kepalaku mulai sakit secara tiba-tiba. Bagaimana aku bisa tahu dan mengerti, jika dia saja tidak ingin berkomunikasi.
Terduduk lemas sembari menanti pintu kamar terbuka. Kemudian, Mas Angga keluar memberikan semua penjelasan yang aku minta. 
Bunyi pesan masuk ke ponsel, menyita perhatian. Secepat mungkin membaca pesan masuk tersebut. 
Mata terbuka lebar, hati tersayat dan jiwa terhempas. Pesan dari Mas Angga membuatku mengurut dada. Apakah aku akan tetap kuat? 
"Dia adalah Viona. Wanita yang sudah memiliki hatiku. Sampai detik ini, aku belum bisa melupakannya, Rum."
Pesan itu seakan diketik tanpa memikirkan perasaanku.
"Tolong mengertilah. Mungkin kamu memang wanita yang bersanding di buku nikah. Namun, sampai detik ini. Perasaan itu belum ada untukmu, Rum. Mungkin juga gak akan pernah ada."
Nyes sekali! Bulir bening langsung menetes membasahi pipi. 
"Kamu wanita yang cukup baik, Rum. Tapi jangan pernah berpikir lebih jauh. Aku menikahimu karena ingin mengobati lukaku yang tak kunjung sembuh. Tapi ternyata semua itu tak ada gunanya."
Tancapan pisau bertubi-tubi menghajar hatiku.
"Satu lagi, Rum. Jangan pikir kehadiran Bilqis adalah karena benih cinta. Anggap saja itu sebagai simbol pernikahan saja. Maafkan aku. Malam ini kamu tidur di luar saja ya, Rum. Aku sedang tak ingin diganggu."
Dia menganggapku tak ada arti sedikitpun. Kulayani dia dengan penuh cinta dan segala ketulusan. Berharap rasa cinta itu tumbuh dalam dadanya. Namun ternyata semuanya salah.
"Oh iya, carilah laki-laki yang bisa membuatmu bahagia, Rum. Asalkan jangan sahabatku Faisal. Aku beri kebebasan padamu."
Mencari kebahagiaan dengan laki-laki lain? Apakah itu harus aku lakukan?
Kejadian belasan bulan sebelumnya kembali berputar di depan mata. 
***
"Sekarang kamu sudah resmi menjadi seorang istri. Hormati suamimu, Nak."
Bu Yanti mengusap kepalaku. Hari itu aku sangat bahagia usai Mas Angga menjadikan aku istrinya. 
Malam itu juga, aku melepas kesucian untuk laki-laki yang sepenuhnya belum aku kenal. Pesan dari Bu Yanti tidak aku sia-siakan. Sehingga membiarkan Mas Angga melucuti kebaya putih yang dikenakan.
Pada saat itu, aku hanya bisa memejamkan mata. Grogi menatap garis wajahnya, yang mampu memompa jantung lebih cepat.
Ritual malam pertama, begitulah orang-orang menyebutnya. Aku serahkan semuanya di malam itu juga. Sekaligus berikrar akan mencintai Mas Angga sepenuh hati.
Pagi setelah malam itu, aku dibuat terkejut oleh bungkusan di atas meja. Mata menyipit mencari-cari keterangan di antara deretan tulisan kecil.
"Obat perangsang," ucapku lirih. 
Kembali menatap Mas Angga yang masing tidur pulas. Namun, aku begitu bodoh masih berusaha berpikiran positif. Aku berpikir Mas Angga mengkonsumsi obat itu, agar malam pertama kami menjadi hangat. Ternyata aku salah besar! Mas Angga melakukan itu, agar bisa menjalankan kewajibannya.
***
Bunyi pintu menyadarkan lamunan. Cepat-cepat mengusap air mata yang jatuh ke pipi. Derap langkah Mas Angga sangat jelas terdengar. Namun enggan untuk menatap wajahnya. Hanya mematung di ruang tamu dengan semua kesedihan dan luka.
"Hari ini aku libur," ucap Mas Angga, seolah bicara dengan angin.
Aku hanya diam tidak ingin menanggapi. Tangan masih lincah menyuapi Bilqis makan. Setelah aku pikir-pikir, aku ingin membebaskan Mas Angga memilih.
Cinta tak harus saling memiliki. Begitu kalimat yang sering aku dengar. Jika kami berpisah, tentu Mas Angga akan bebas. Bisa menikahi wanita yang dia cintai. Lebih baik aku mengalah, daripada menjalani kehidupan rumah tangga tanpa sebuah rasa cinta.
"Jangan bersikap seolah kamu yang paling tersakiti. Sebab, akulah korbannya dalam hubungan ini," ucap Mas Angg lagi. 
Dia datang membawa segelas teh hangat. Duduk tak jauh dari aku yang sedang memberi makan Bilqis. Aku hanya diam, tidak ingin menanggapi apa pun itu. Setidaknya aku sudah paham bagaimana posisi di hidup Mas Angga.
"Harusnya kamu bersyukur, Rum."
Aku menoleh, memasang wajah kebingungan. Bersyukur? Apa maksud Mas Angga? Haruskah aku bersyukur setelah tahu segalanya.
"Kamu wanita yang tak jelas asal usulnya, tapi aku tetap mau menikahimu. Pun, sampai saat ini aku masih bertahan. Tidak menceraikanmu."
Mas Angga berdialog dengan begitu santainya. Seakan tidak peduli dengan sakitnya hatiku.
Tak kuat mendengar ocehannya, aku beranjak dari ruang tamu. Pura-pura ingin mengajak Bilqis jalan-jalan keluar. Dia hanya diam pada saat aku pergi membawa Bilqis.
Di taman tak jauh dari kontrakan, aku termenung sambil menatap Bilqis dalam stroller. Bagaimana nasibnya, jika orangtuanya saja hidup seperti orang asing. Aku menghela nafas, menyingkirkan rasa sesak di dada.
Bunyi pesan masuk membuatku bergerak malas mengambil ponsel. Satu pesan dari Mas Angga, dan satu pesan dari Mas Faisal. Kenapa mereka mengirim pesan hampir berbarengan? Apakah mereka sudah saling berencana. Entahlah.
Aku putuskan untuk membaca pesan dari Mas Angga dulu. 
"Kamu sudah paham kan, Rum? Jadi jangan berharap lebih padaku." 
Mataku perih membaca pesan itu. Tidak ingin membalas pesan dari Mas Angga. Akan tetapi, aku sudah memutuskan untuk membicarakan sesuatu.
"Sabar ya, Rum. Viona memang sudah membutakan mata Angga. Dia sampai tidak bisa melihat bidadari di sampingnya. Jika boleh berandai. Aku ingin menjadikanmu bidadari dalam hidupku, Rum. Sayangnya aku bertemu denganmu, ketika kamu sudah menjadi milik Angga." 
Jadi, Mas Faisal sunguh-sungguh menyukaiku? Apakah aku harus percaya?
"Kamu lagi di mana?" Pesan dari Mas Faisal masuk lagi. 
"Di luar, Mas. Ada apa?" Aku balas pesan itu.
Seketika langsung dibaca Mas Faisal. Coba kalau mengirim pesan pada Mas Angga, lama sekali baru dibalas. 
"Kamu ingin tahu sesuatu tidak, Rum?"
"Sesuatu apa, Mas?"
"Sesuatu tentang Viona dan Angga. Nanti siang Mas jemput, Rum. Jaga diri baik-baik. Jangan terlalu dipikirkan."
Melirik jam di layar ponsel. Masih lama menuju siang. Mungkin lebih baik aku kembali ke rumah dulu.
Siang harinya, aku kembali bertemu dengan Mas Faisal. Kali itu tidak membawa serta Bilqis, karena bayi lucu itu tengah terlelap tidur. Aku pun berniat untuk tidak lama-lama di luar. 
Keluar rumah tanpa sepengetahuan Mas Angga. Dia juga tidak keluar dari kamar tidur utama. Terpaksa Bilqis aku tidurkan di bilik yang lain. Entah apa yang sedang dialami dan kerjakan di dalam kamar. Aku tidak mau ambil pusing lagi. Bukankah semuanya sudah jelas?
"Angga pasti lagi galau," ucap Mas Faisal memulai percakapan.
Kami bertemu di warung kopi yang tak jauh dari kontrakan. Aku tidak terkejut lagi apabila Mas Faisal tahu segalanya. Mungkin persahabatan mereka itu, membuat keduanya saling berbagi segalanya. Entah masih hubungan yang sehat, aku rasa itu sudah melampaui batas wajar.
"Ya, Mas. Dia tidak keluar kamar. Bicara pun tidak. Kalaupun bicara hanya sepatah dua patah saja." Mengungkapkan kekecewaan di hati. 
"Angga sedang berada di titik terendah, Rum. Dua minggu lagi Viona akan tunangan. Itulah kenapa dia galau."
Sudah bisa aku tebak, wanita yang datang ke rumah waktu itu adalah Viona. Tiba-tiba aku menjadi semakin terpental keras. Wajar saja Mas Angga tidak bisa berpaling darinya. Kecantikan Viona tiga kali lebih unggul dariku. Sungguh miris!
"Lalu apa yang harus aku lakukan, Mas? Bahkan, kehadiranku tidak berarti apa-apa dalam hidup Mas Angga." Aku berucap, sembari menahan perih di hati.
"Tak ada, Rum. Angga tidak bisa move one. Viona cinta pertama Angga. Aku pikir, setelah putus dan memutuskan menikah denganmu Angga akan mudah melupakan Viona. Tapi ternyata tidak!"
Aku cemburu mendengar semuanya. Mas Angga begitu cemburu pada mantan pacarnya. Sementara padaku tidak ada sedikitpun rasa cemburu itu. Pertemuan dengan Mas Faisal membuatku mengetahui banyak hal. 
Kenyataan yang menyakitkan itu pun sudah aku ketahui. Masih pantaskah aku berharap keajaiban itu? Akankah Mas Angga berubah jadi pangeran berkuda untukku? 
"Rum, kenapa kamu tidak bercerai saja?" tanya Mas Faisal membuyarkan anganku.
"Bercerai?"
"Iya, Rum."
"Kenapa Mas menyuruhku meminta cerai?"
Aku langsung bertanya dengan suara yang agak parau. Namun, Mas Faisal tak langsung menyebutkan alasannya. Membuatku menjadi bertanya-tanya.
Hening! Mas Faisal justru menatapku, lalu tangannya menggapai tanganku yang ada di atas meja.
Kenapa dia menyentuh tanganku?

Komento sa Aklat (79)

  • avatar
    Xellyn

    baguz

    14h

      0
  • avatar
    _Desu`Dza

    kᥱrᥱᥒᥒᥒ

    3d

      0
  • avatar
    NASAIda

    sangat seru

    3d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata