logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Lima

Sudah seminggu berlalu dari kejadian di pesta malam itu. Aku mulai menata hati dan tidak berangan-angan lagi. Walaupun cinta di hati tentu masih ada untuknya. Namun, mungkin aku akan belajar menyembunyikan semuanya. Paling tidak sampai keajaiban itu datang.
Apa yang terjadi malam itu, mampu membuat relung hati terluka. Pertama kali Mas Angga menampar wajahku. Pertama kali juga dia meminta istrinya menggoda laki-laki lain. Sangat tidak sehat! 
Apakah itu akan aku lakukan? Entahlah!
***
"Sepertinya kamu salah paham, Rum."
"Bisa Mas jelaskan semuanya."
Begitulah pesan dari Mas Faisal, ketika aku menanyakan perihal fitnahan dan aduannya pada Mas Angga. Siapa yang patut aku percayai, keraguan itu pun besar adanya.
Walaupun Mas Faisal mungkin terkesan kurang sopan. Namun, aku rasa dia tak sepenuhnya buruk. Buktinya dia tidak macam-macam. Jika memang dia ingin berbuat jahat, tentu tak akan mampu aku halangi. Apalagi jika mengingat kejadian malam itu. Aku jadi bingung.
"Mas tunggu kamu di Kafe Bunga, Rum."
Aku masih mondar-mandir di ruang tamu, seraya mengawasi Bilqis yang mulai aktif merangkak. Temui dia atau tidak? Pertanyaan itu terus berputar dalam benak. 
Mas Angga memang lagi libur kerja. Dia sedang asyik dengan dunia mimpinya di kamar. Bahkan, dia seakan-akan tidak merasa bersalah atas tindakannya terhadapku. Menunggu kata maaf dari dia itu, ibarat menunggu hujan di musim kemarau. Itulah yang akan terjadi pada saat dia benar-benar melakukan kesalahan.
"Mas, bangun."
Menghampiri Mas Angga. Berharap dia bangun dan mau mengantarku ke kafe yang Mas Faisal maksud.
"Ya, Rum. Ada apa?" Mas Angga mengusap wajahnya, lalu segera duduk menyandarkan punggungnya ke sandaran tempat tidur.
"Aku mau keluar, Mas. Bisa minta tolong anter?" Memohon dengan nada yang rendah, meskipun hanya dengan sedikit senyuman.
Mas Angga turun dari ranjang, berjalan menuju kamar mandi. Mungkin dia ingin membasuh wajahnya. Aku pun memilih untuk menunggu di kamar saja. Berharap dia mau mengantar dan ikut serta bertemu Mas Faisal. Jika begitu tentu kesalahpahaman bisa teratasi dengan baik.
"Keluar ngapain, Rum?"
Mas Angga kembali duduk di ranjang, tentunya dengan wajah yang terlihat fresh. Mas Angga memiliki wajah dengan garis wajah tegas. Sepasang alis mata rapi yang hitam pekat. Matanya sedang dengan tatapan mata bak elang mengintai mangsanya. 
Mas Angga cukup telaten merawat wajahnya. Usianya yang sudah mendekati angka 30 tahun, karisma justru semakin terpancar keluar. Entahlah! Aku tidak bisa melupakannya, walaupun selama ini dia bersikap dingin. 
Usia Mas Angga berjarak cukup jauh dari usiaku. Namun, itu tidaklah menjadi masalah. Jika boleh jujur, dia adalah cinta pertamaku. Dia yang mendatangkan satu rasa di dalam dada. 
Mas Angga selalu berdandan rapi. Potongan rambutnya yang mirip dengan potongan rambut tentara, membuat karismanya semakin memancar. Postur tubuhnya yang tegap dan tinggi, membuatku ingin selalu memeluknya. Sering bermimpi berada dalam dekapannya, di peluk dari arah belakang misalnya. Namun semua itu tak kunjung terjadi. 
"Mau ke kafe, Mas." 
Aku berusaha berkata jujur. Karena, Bu Yanti selalu mengajarkan untuk berkata jujur sedari kecil. 
"Kafe?" tanya Mas Angga, alisnya yang hitam dan rapi itu sedikit terangkat.
Aku menjawab dengan anggukan, dan masih betah berdiri di hadapannya. 
"Jadi, kamu mau belajar?"
Giliran aku yang memainkan alis. Apa yang Mas Angga maksud?
"Kamu mau belajar menjadi wanita penggoda? Agar laki-laki di luar sana kepincut dan … sudahlah! Terserah! Oh ya, jangan lupa bawa Bilqis." Mas Angga nyerocos tanpa jeda. Kemudian, dia kembali merebahkan tubuh kekarnya di kasur.
"Mas, dengarkan aku dulu."
"Kamu naik apa aja kek. Gojek, angkot atau apa gitu. Aku mau tidur!"
Mas Angga memunggungi aku. Hanya bisa menarik nafas dalam-dalam. Baiklah, aku akan menemui Mas Faisal sendiri. Maksudku hanya datang bersama Bilqis.
***
Aku tidak bisa mengendarai motor. Oleh karena itu, mau tak mau untuk sampai ke kafe menggunakan ojek online. Benda pipih yang dulu sering ditinggalkan, dibawa serta menemani. 
"Aku sudah sampai di depan kafe, Mas."
Begitu pesan aku kirim pada Mas Faisal. Nomor baru yang dulu diganti ternyata tetap bisa didapatkan oleh Mas Faisal. Tidak perlu heran, apalagi bertanya-tanya. Sudah pasti Mas Angga yang memberikan nomor itu. Kalau bukan Mas Angga siapa lagi?
Masih betah berdiri di depan Cafe Bunga yang dimaksud Mas Faisal. Cafe yang dikunjungi banyak orang, tentunya saat itu. Aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri. Banyak muda mudi keluar masuk dari luar maupun dalam Cafe.
Beberapa menit berlalu, seorang laki-laki berpostur tinggi melambaikan tangan, seraya datang menghampiri. Aku dapat melihat dengan jelas senyuman di wajah Mas Faisal.
Laki-laki berjambang tipis itu langsung mengusap lembut pipi Bilqis. 
"Sendirian saja, Rum?" tanya Mas Faisal.
"Berdua dengan Bilqis, Mas." Aku menjawab apa adanya. 
"Ya, maksud Mas gak ngajak Angga?" Mas Angga masih betah tersenyum manis.
"Dia lagi istirahat, Mas." Aku ikuti langkah Mas Faisal. Kami masuk, melangkah menuju meja di pojok Cafe.
"Jadi, bagaimana yang sebenarnya, Mas?" Aku langsung bertanya ke inti masalah.
Alasan datang ke cafe memang untuk menanyakan masalah itu. Bukan untuk berleha-leha menghabiskan waktu. Mas Faisal tersenyum, lalu mengisyaratkan aku untuk sabar dulu. Seakan mengatakan jangan bahas itu dulu.
"Mau pesan apa, Rum?" tanya Mas Angga. 
"Apa aja, Mas." Aku memilih untuk mengikuti apa yang dia mau.
Usai menyantap pesanan, Mas Faisal memulai pembicaraan lebih dulu. Dia menatap lurus ke arahku, lalu menggeleng. Entah apa yang sedang dia pikirkan.
"Maaf ya, Rum. Gara-gara acara Mas malam itu kamu jadi kena tampar." Mas Faisal mengucapkan kalimat itu, seakan penuh penyesalan.
Aku terkejut mendengar semuanya. Dia tahu aku kena tampar? Sedekat apa sih pertemanannya dengan Mas Angga? Tidak ada lagi privasi. Aku menjadi kecewa pada Mas Angga. 
"Gak usah kaget, Rum. Apa yang aku alami Angga pasti tahu, begitu juga sebaliknya."
Aku menelan saliva, tenggorokan tiba-tiba menjadi kering. Meneguk air di meja, agar tenggorokan tidak kering.
"Apa Mas tahu semuanya?" Aku menatap Mas Faisal, dengan tatapan penuh selidik.
"Begitulah! Tak ada privasi di antara kami."
Menarik nafas dalam-dalam, agar jiwaku sedikit lebih tenang.
"Kenapa bisa demikian, Mas?" Aku sangat penasaran. 
"Soal itu, mungkin belum saatnya Mas cerita, Rum."
Mas Faisal tidak melanjutkan penjelasannya. Aku pun memutuskan untuk tidak ungkit itu lagi.
"Benar Mas sudah mengatakan aku menggoda Mas malam itu?" 
Mas Faisal memalingkan wajahnya sebentar. Setelah itu, dia kembali menatap sembari membasahi bibirnya yang merah muda itu.
"Mana mungkin Mas mengatakan demikian. Walaupun sebenarnya Mas memang tergoda. Tapi itu bukan karena kamu. Malam itu, kamu benar-benar cantik, Rum. Walaupun sudah melahirkan anak, tubuhmu tak berubah banyak."
Tenggorokan terasa semakin kering kerontang. Mas Faisal memperhatikan sedetail itu? Aku menjadi malu.
"Rum, kamu marah? Apa salah memperhatikan sejauh itu? Mas suka kamu, jadi kan wajar." Mas Faisal bertutur, seakan tanpa merasa bersalah.
"Cukup, Mas! Aku mau pulang," jawabku segera menghindar.
"Kenapa buru-buru, Rum? Tunggulah sebentar saja."
"Aku takut Mas Angga marah lagi, Mas."
"Ya sudah, biar Mas yang antar."
"Nggak usah, Mas Faisal. Tidak enak dilihat Mas Angga."
"Tidak usah khawatir, Rum. Mas antar sampai jalan utama saja. Tidak sampai ke pintu kok!"
Perdebatan panjang tak ada habisnya. Aku mengalah, membiarkan Mas Faisal mengantar pulang. Dia terlalu memaksa. 
Keluar dari cafe, Mas Faisal tidak langsung mengantar pulang. Dia membawa kami berkeliling menikmati hiruk pikuk kota Jakarta. Angin bercampur asap kendaraan menerpa wajah. Namun, aku merasakan sedikit kebahagiaan. Karena Mas Angga tidak pernah melakukan semuanya.
Pemandangan gedung-gedung tingkat yang mewah menarik perhatian. Timbul keinginan, apabila Bilqis sudah lepas asi, aku bisa bekerja di luar. Itu juga jika Mas Angga mengizinkan. Bukannya tidak bersyukur, aku juga ingin seperti wanita luar sana. Misalnya seperti Mbak Ayu–istri Mas Faisal.
"Rum, mau beli sesuatu tidak?" tanya Mas Faisal, memecah lamunanku.
"Langsung pulang aja, Mas." 
"Bener kamu nggak mau beli sesuatu dulu? Mas yang belikan," ucap Mas Faisal. 
Laki-laki berjambang tipis itu tersenyum, menatap lewat kaca spion. Aku hanya bisa tersenyum sekilas, untuk menghargainya saja.
"Iya, Mas. Gak usah repot-repot."
Aku berusaha menolak kembali. Tidak ingin berhutang budi pada laki-laki lain. Apalagi sudah bukan gadis yang bisa bebas memilih.
Untunglah Mas Faisal mengalah, dia pun mengangguk dan memutuskan untuk segera mengantar pulang.
"Ya sudah, Rum. Kita pulang saja."
Mas Faisal hanya mengantar sampai jalan utama saja. Begitu jauh lebih baik menurutku. Tidak mau Mas Angga salah paham lagi seperti malam itu. 
Keliling sambil menggendong Bilqis membuat pundak sedikit pegal. Tanpa mengulur waktu, aku segera melangkah cepat memasuki pekarangan kontrakan. 
Belum lenyap rasa lelah menggerogoti raga, mentalku kembali diuji. Di depan pintu masuk yang tertutup rapat, aku melihat sepasang sepatu hak tinggi. Sepatu merah menyala itu terlihat sangat modis dan elegan. 
Siapa yang punya sepatu itu? Apakah Mas Angga …?

Komento sa Aklat (79)

  • avatar
    Xellyn

    baguz

    12h

      0
  • avatar
    _Desu`Dza

    kᥱrᥱᥒᥒᥒ

    3d

      0
  • avatar
    NASAIda

    sangat seru

    3d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata