logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Kaham

"Nduk? Bangun, Nduk! Kok tidur di lantai?"
Aku membuka mata perlahan, melihat Bude yang sudah berada di samping kanan. Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa aku sedang berbaring di lantai kamar Bude. Apa yang terjadi semalam?
Aku langsung memeluknya, mengatakan bahwa semalam ada yang mengganggu. Sosok menyeramkan yang seakan-akan ingin menghabisi mereka berdua. Bude mengusap rambutku lembut, kemudian bertanya ada apa. 
"Inez udah berusaha manggil Bude, ternyata Bude ditindih makhluk halus jadi gak bisa denger!" jawabku terisak.
"Astagfirulloh. Nduk, kamu bisa melihat hantu?" tanya Bude. Aku juga heran mengapa tiba-tiba bisa melihat hantu. Sejak dulu tak bisa melihat makhluk halus dan memang tak ingin mau.
Waktu SMP pernah mengenal seorang teman yang peka dan mata batinnya terbuka sejak kecil. Ia mengaku putus asa dan lelah karena hampir setiap saat ditampakkan berbagai macam jenis makhluk halus. Hingga depresi, berkali-kali terpikir untuk bunuh diri.
Namun, berkat bimbingan moral dan agama oleh kedua orang tuanya, ia berusaha kuat dan membiasakan diri. Ia pindah sekolah ketika naik kelas 2 SMP karena tak tahan di-bully.
"Gak tau, Bude! Intinya seram banget. Matanya bolong, senyumnya lebar. Mukanya ancur setengah," jawabku menjelaskan ciri-ciri sosok yang kulihat tadi malam. 
Bude menghela napas, menuntunku berdiri dan duduk di kasur. Kami sama-sama bergeming untuk beberapa saat; tenggelam dalam pikiran masing-masing. Entah apa yang Bude pikirkan tentangku, yang pasti raut wajahnya tampak khawatir. 
Mungkin Bude takut jika mata batinku terbuka juga dan sulit ditutup.Sebenarnya aku pun panik, tapi tak tega melihat Bude semakin khawatir.
"Pakde pulang dari kebun nanti, Bude minta usir jin yang mengikuti kamu, Nduk. Jangan terus dibiarkan, jin suka menghisap energi manusia. Rajin salat dan mengaji," ucap Bude yang kubalas anggukan. 
Bude keluar, katanya ingin menengok warung. Ketika melihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Aku berusaha mengingat-ingat kejadian semalam mengapa bisa sampai tertidur. Sungguh, ingatan seperti samar-samar, tak jelas terlihat. 
Bude berpesan lagi, jangan lupa mandi dengan air garam. Sebelum masuk ke ruangan selalu salam dan membaca doa agar roh-roh jahat tidak ikut masuk bersama kita. Aku ingat selalu nasihat itu. Rasanya liburan kali ini tidak menyenangkan.
***
Sambil menunggu warung, aku duduk di bawah pohon nangka sembari meminum teh botol. Hampir tengah hari, anak sekolah berbondong-bondong mengayuh sepedanya pulang. Aku khawatir mereka terlalu laju dan akhirnya jatuh. Apalagi di sekitar sini ada sebuah tikungan yang tak terlalu tajam, tapi lumayan sering memakan korban. Memang tak sampai meninggal, tapi jatuh dari sepeda itu menyakitkan. 
"Pelan-pelan, Dek!" teriakku sambil melambaikan tangan. Orang-orang yang mengantre membeli soto Bu Sri pun ikut menoleh karena panggilanku. Cih, kegeeran. 
"Iya, Kak!" balas sebagian dari mereka. Lama-kelamaan, rombongan pesepeda itu semakin sedikit yang melintas. Mungkin rombongan terakhir adalah geng santai yang tak terburu-buru pulang. Bahkan mereka berteduh sejenak di bawah pohon mangga dekat warung Bu Sri.
Ada seorang anak gadis yang memakai baju SD melewatiku. Ia melempar senyum dari kejauhan, sedang rombongan anak-anak yang sedang berteduh tadi menggodanya dengan siulan. Karena risih, gadis itu berlari kecil agar cepat menjauh.
Aku masuk ke warung karena ada pembeli. Ia memesan soto ayam dan segelas es jeruk. Dengan sigap aku melayani, pembeli itu duduk dan makan dengan tenang. Aku penasaran, di saat orang lain gila-gilaan makan di warung Bu Sri, mengapa orang ini malah makan di tempat Bude. 
"Makin sepi ya, Dek?" tanya lelaki itu, sepertinya belum menikah. 
"Iya, Mas. Mungkin soto warung seberang lebih enak," jawabku gugup. 
"Ah, enak apanya? Gak juga. Saya kemarin pesen tiga bungkus dibawa pulang, pas dimakan rasanya hambar. Tobat dah beli di sana lagi. Biasanya enak banget sampe nagih," jelasnya dengan raut wajah kesal. Ya ... namanya juga beli tiga bungkus tapi tak sesuai harapan. Siapa yang tak kesal? Terlebih soto itu enak karena campur tangan jin.
"Oh, gitu. Heran aja kalau gak enak kok banyak yang antre. Warung Bude saya ini makin hari makin sepi, Mas. Rencana besok kami tutup," ucapku lalu tersenyum tipis. 
"Hati-hati aja deh kalau lewat situ, Dek. Jangan sampai kamu memenuhi kaham-nya mereka."
Belum sempat bertanya apa itu kaham, lelaki itu beranjak pergi. Ia menyelipkan uang seratus di bawah mangkuk. Ini banyak, seharusnya diberi kembalian. 
"Gak usah! Ambil saja!" teriaknya di ujung sana. 
Baru saja ingin memberi kembalian, kulihat sosok pria itu menghilang. Lumayan heran, cepat sekali dia pergi. Masih kembali sembilan puluh ribu, disimpan saja menunggu ia datang lagi.
***
Menjelang magrib, Pakde datang dengan membawa sekarung singkong. Katanya belakangan sangat ingin memakan ubi kayu ini. Ia pun meminta Bude menggorengkan satu batang dan membuat sambal mentah. Aku sendiri malah fokus dengan ponsel sembari memakan kue kering. 
Pakde tampak sibuk mengerjakan sesuatu. Namun, entahlah tumben sekali aku tak tertarik mencari tahu apa yang ia perbuat. Cukup lama mengurung diri dalam kamar. Bahkan Bude saja keheranan.
Ketika ingin membuka pintu, Bude mencegatku. "Jangan diganggu, biarin aja. Pakdemu sejak dulu begitu sering diem-diem," katanya.
"Hah? Buat apa coba kayak gitu, Bude?"
"Kalau diganggu, dia bakal marah. Udah, biarin aja."
Aku menghela napas panjang dan pasrah, kembali ke tempat semula. Di sini aku mulai curiga karena Bude seperti menyembunyikan sesuatu.
Tiba-tiba, aku tersedak dan buru-buru mengambil minum. Bude yang melihat hanya geleng-geleng pelan.
Setelah mandi dan salat Magrib, Pakde duduk di hadapan dan meremas tangan kiriku dengan kuat. Aku mengernyit heran, mulutnya komat-kamit membaca sesuatu. Perlahan tubuhku terasa panas, seperti ada yang berusaha masuk menembus raga. 
Punggung terasa sakit luar biasa, tapi sialnya tak bisa menjerit. Bagai ditusuk ribuan belati, aku merunduk saking tak tahannya. Pakde masih terus menggenggam tangan kananku. 
"Sa–sakit, sakit!" Napasku sesak, Pakde tak memberi ampun. 
"Pergilah ke alammu!"
"Pakde, udah! Sakit!"
"Tahan, Nduk!"
Sakitnya sedikit reda, tapi tiba-tiba telingaku dingin seperti ada yang bernapas di samping. Lamat-lamat terdengar tangisan tersedu-sedu. Suara perempuan. Aku terdiam, berusaha mendengar lebih jelas ucapan sosok itu. 
"Tolong, carikan bola mataku. Perih!"
"Pakde, ada yang ngomong." 
Pakde melayangkan tangannya seakan-akan menyentuh seseorang di samping. Ia memejamkan mata, mulutnya membaca sesuatu lagi. Aku tak bisa bergerak lebih karena leher dan punggung terasa nyeri. 
"P–Pakdeee!" Aku berteriak sekuat tenaga setelah Pakde memencet nadi tangan kananku. Rasanya punggung dibelah seseorang yang ingin masuk. Sakitnya bukan main!
"Perih! Aaah!"
Sekarang, rasanya seperti dikuliti dan ditetesi jeruk nipis. 
***

Komento sa Aklat (466)

  • avatar
    sulistiowatiEndhah

    ceritanya bagus, alurnya jelas

    19/05/2022

      0
  • avatar
    azzahrazulaika

    bagus sekali ceritanya

    15/05/2022

      0
  • avatar
    Arisky Agung

    bagus banget novel ini sangat seru untuk di baca dengan siapapun

    13/05/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata