logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Jangan Ganggu Aku!

Sambil menahan rasa mual, aku menutup pancinya dan berlari ke luar. Dugaan Bude benar, warung ini memakai penglaris. Entah apa gunanya gulungan rambut itu. Dulu Bude pernah bercerita, orang-orang memasukkan celana dalam atau ada jin yang menjilati piring kotor sebelum dicuci. Ternyata, cara mereka beragam. Ada pula yang seperti ini.
Bu Sri menyodorkan plastik putih berisi kuah soto dan isiannya tersebut. Dengan bergetar tanganku menerimanya. Setelah diberi kembalian, aku buru-buru pulang. Jijik sekali ketika tahu ada gulungan rambut di kuah sotonya. 
Aku penasaran jika pelanggan warung itu tahu bahwa Bu Sri memakai penglaris. Dijamin saat itu juga sepi pembeli.
“Ini, Bude,” ucapku sambil menyodorkan soto itu.
“Apa yang kamu liat, Nduk?” tanya Bude.
“Di kuah sotonya ada gulungan rambut, Bude. Inez gak tau itu rambut siapa,” jawabku masih menahan mual. “Inez minum dulu, jijik rasanya.”
“Mungkin ini sebabnya pembeli lebih suka makan di tempat. Biasanya, kalau pakai penglaris makananannya kurang sedap. Beda kalau makan di warungnya langsung,” jelas Bude seakan-akan tahu banyak hal.
“Emang kenapa kok bisa enak makan di tempat, Bude?”
“Ada jin peliharaan yang meludahi kuah sotonya.”
Sumpah, aku langsung berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perut. Rasa mual yang ditahan sejak tadi sirna juga. Astaga, mengapa warung itu sangat menjijikkan? Hanya demi menarik pelanggan sampai rela bekerja sama dengan setan. 
Ya Tuhan, entah apa yang ada di pikiran Bu Sri. Jika pelanggannya tahu kebusukan ia selama ini, usahanya akan hancur saat itu juga.
“Bude kasihan sebenarnya, Nduk. Perjanjian seperti ini pasti harus ada pengorbanan. Dugaan Bude benar selama ini, warung itu memakai penglaris dan selalu mencari tumbal,” kata Bude setelah aku datang.
“Tumbalnya orang sekitar sini apa gimana?”
“Bukan itu aja. Nduk, besok coba kamu ke sana lagi. Basa-basi sedikit tanya apakah Bu Sri itu punya anak atau enggak. Dari situ kita sudah bisa memastikan.”
“Oke, Bude.”
Aku tak bisa menebak pikiran Bude. Bertanya soal anak? Mungkinkah Bu Sri sampai rela mengorbankan anaknya sendiri demi kekayaan duniawi? Astagfirullah … benar-benar.
***
Bude berkata, mulai sekarang aku harus lebih waspada. Usahakan setiap detik mengingat asma Allah agar tidak mudah diganggu. Pagi dan sore disuruh mandi air hangat dicampur garam kristal. Aku menepuk jidat karena tadi sore langsung mengguyur badan dengan air dingin.
Terlebih saat datang bulan. Pakde juga berpesan agar kalau bisa jangan keluar rumah kecuali ada hal mendesak. Aroma perempuan yang sedang haid itu disukai makhluk halus. Kemungkinan besar diikuti jin dan diganggu sepanjang hari.
Hm, aku tak begitu khawatir tentang itu. Jadwal haidku dua minggu lagi. Rencana tidak lama menginap di sini. Entahlah, semua tergantung Ayah.
Setelah memakai masker, aku bersiap-siap untuk tidur. Namun, kebiasaanku di kota adalah tidak suka mematikan lampu. Sejak kecil mengalami trauma karena kegelapan. Dari situlah aku panik dan berteriak histeris jika keadaan gelap gulita.
Meskipun katanya tidur dengan keadaan lampu menyala justru berbahaya, tapi aku tak bisa. Tiap saat takut dan khawatir ada sosok lain yang menemani.
“Bude?! Kenapa dimatikan lampunya?!” Ah, Bude ini bagaimana? Bisa-bisanya tak memahami ketakutanku.
“Bude, nyalain tolong! Inez takut gelap!” 
Bude tak menyahut, akhirnya aku menyalakan senter ponsel dan turun dari ranjang. Sakelar lampu lumayan jauh, dekat pintu. 
Sambil terus memanggil namanya, aku berjalan pelan menuju sakelar. Sebenarnya tak terlalu gelap karena ada pancaran cahaya lampu dari kamar Bude dan ruang tamu, tapi pikiran melayang ke mana-mana. Apakah ada hantu di sana, atau seseorang sedang mengintip di balik tirai. Ketakutan itulah yang membuat tengkukku terasa dingin sekarang.
Aku terdiam ketika merasa ada yang memegang kedua kaki, dingin dan sangat kuat. Keringat bercucuran, ponsel di genggaman langsung kujatuhkan karena tangan bergetar pelan. Tubuh bak dikunci, mulut pun tak bisa mengeluarkan kata-kata. Sekarang bagaimana? Tubuhku terasa kaku!
“Bu … Bude!” Aku tersandung sesuatu dan jatuh tersungkur. Dada terasa sakit karena menghantam lantai cukup keras. Sambil meng-aduh pelan, aku berusaha menelentangkan badan. Ya Tuhan, apa itu tadi?
Jantung berdetak kencang saat kudengar sayup-sayup suara sinden melantunkan tembang Jawa. Suaranya merdu dan menggema. Perlahan mengatur napas, aku berdiri dan langsung berlari ke ruang tamu. Sudah tengah malam, siapa yang bernyanyi di jam seperti ini? Lagipula setahuku di tempat Bude tidak ada penyinden Jawa.
Tiba-tiba kakiku terasa panas bak terbakar. Setelah menaikkan celana, rupanya betis hingga mata kaki ada luka cakaran. Sebentar, dari mana luka ini kudapat? Jangan-jangan karena sosok tadi?
Sedikit kuraba, perih dan basah. Lukanya cukup dalam. Seperti disayat pisau atau silet. Aku meringis sendiri. Langsung mencari kain tipis untuk membalut sementara.
“Bude! Buka pintunya. Bude! Kaki Inez luka gak tau kenapa!” Dengan panik aku terus mengetuk pintu kamar Bude yang tertutup rapat. Dalam hati aku meminta maaf telah mengganggu mereka di jam tidur seperti ini. Namun, ketakutanku mengalahkan semua itu. Aku tak tahan, maaf.
“Ya Allah, Bude!” Aku terduduk di depan pintu, menangis pasrah karena Bude tak kunjung bangun menolong. Perasaan semakin tak enak, seakan-akan ada yang mengawasi di belakang. Aku tak berani menoleh meski sesaat.
Kucoba memutar kenop pintu, rupanya tak dikunci. Hanya saja sedikit keras sehingga butuh sedikit dorongan untuk membukanya. Ketika masuk, sesuatu yang tak terduga membuat pertahananku rubuh. Apa aku tak salah lihat? 
“Bude! Bude! Dengar Inez, Bude!”
“Pakde!” teriakku makin keras.
Ya, pantas saja Bude dan Pakde tidak mendengar jeritanku, sosok itu menindih tubuh mereka. Ia menoleh, menerbitkan senyum lebar di bawah mata bolong itu.
Ia terus menatap, tidak bergerak sedikit pun dari posisinya. Kulihat Bude dan Pakde yang seperti tak bernapas. Aku panik, tapi bagaimana mengusir makhluk ini? Ingin mendekati saja tak berani.
Dalam hati berdoa, meminta pertolongan agar makhluk itu segera pergi. Entah mengapa tiba-tiba muncul keberanian besar dan aku berlari mendekati makhluk itu. Sambil berteriak, aku berusaha menyentuhnya.
"Pergi dari sin!" teriakku dengan napas tersengal-sengal.
"Akh!" Sosok itu hanya menggeram, tapi masih menduduki Bude dan Pakde.
"Pergi atau aku bakar kamu!" ancamku. Ia tampaknya tak terpengaruh. Aku terus melafazkan surah-surah pendek dan ayat kursi. Ia menggeliat, tapi lagi-lagi tak mau pergi.
Aku rasanya pasrah, energi seperti ia serap sehingga semakin lemah. Hanya bisa menangis saat ini. Suasana makin mencekam, angin deras yang entah datang dari mana membuat tirai jendela tersibak kencang. Dingin yang aneh. Dingin yang membuat seluruh bulu kuduk berdiri karena takut.
***

Komento sa Aklat (466)

  • avatar
    sulistiowatiEndhah

    ceritanya bagus, alurnya jelas

    19/05/2022

      0
  • avatar
    azzahrazulaika

    bagus sekali ceritanya

    15/05/2022

      0
  • avatar
    Arisky Agung

    bagus banget novel ini sangat seru untuk di baca dengan siapapun

    13/05/2022

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata