logo text
Idagdag sa Library
logo
logo-text

I-download ang aklat na ito sa loob ng app

Bagian 6

Setelah memastikan Mamak tidur, aku beranjak keluar. Menatap ke luar jendela yang kelam, meremas kepalaku yang pening.
'Kek mana caranya agar empat anak Mamak ini bisa kumpul sementara?!' umpatku penuh sesal dalam hati. Sesal melihat abangku yang tiga, seakan begitu terburu-buru balik ke rantau.
***
Satu bulan sudah aku temani Mamak. Hal lain yang wajib kusyukuri adalah ketabahan Halimah menghadapi Mamak. Bila ditimbang, lebih sering Mamak lupa akan menantunya dibanding dengan ingat.
Mengenai Samudera, selama di sini tak pernah lagi dia kejang. Sayangnya, rencana untuk pemeriksaan lengkap ke Kota Medan belum terlaksana. Suami Marta harus ke Papua untuk tiga bulan ke depan. Mobil Marta juga dijual, katanya mau ganti baru setelah suaminya pulang nanti.
Setelah satu bulan di kampung, fakta-fakta lain perlahan tersingkap. Selama ini begitu gembar-gembor, di grup WhatsApp keluarga yang isinya kami berempat beradik. Ditambah dengan kontak Kak Sarifah istri Bang Anton, Kak Yanti istri Bang Hendar, dan Kak Siska istri Bang Danang. Halimah tak masuk, tak punya HP android, tak pula punya WhatsApp.
Tiap awal bulan, tiga orang itu seolah berlomba mengirimi Mamak uang. Kadang aku malu sendiri, sebab akulah yang selalu paling terakhir. Itu pun tak banyak, paling seratus atau dua ratus ribu. Malu dengan kakak ipar, malu dengan diri sendiri.
Kenyataannya ....
"Lih, kau ambillah kiriman dari Abang kau ke agen, itu dekat rumah Marta." Wak Wati menyodorkan buku tabungan padaku.
"Dari siapa, Wak?"
"Ketiganya. Ini rekening sengaja Wak kosongkan. Isinya cuma lima puluh ribu. Kau tarik semua ya, untuk belanja kebutuhan Mamak kau nanti sebulan ke depan."
Pengeluaran Mamak sekarang yang wajib cuma bayar listrik. Beras dan kebutuhan dapur, aku yang jamin. Paling penting Mamak ada pegangan uang, jika sewaktu-waktu teringat sesuatu, tinggal beli. Paling penting lagi, kalau tiba-tiba Mamak sakit, itu gunanya ada uang simpanan.
Ekspektasi aku yang terlalu jauh. Membawa dada berdebar kutuju agen. Dalam pikiranku, setidak-tidaknya Bang Anton dan Bang Danang bisa jadi kirim uang lima ratus ribu masing-masing. Kalau Bang Hendar, ya hampir-hampir sama denganku mungkin.
"Mau ditarik semua, Tulang?" tanya anak pemilik agen, kebetulan dia yang jaga. Kutaksir umurnya mungkin 15 tahun, masih gadis belia.
[Tulang : paman]
"Tarik aja semua, sisakan untuk penghuni rekening, ya."
Gadis itu menyerahkan uang dua ratus lima puluh. Dua lembar pecahan seratus, satu lembar pecahan lima puluh. Ah, yang benar saja?
"Segini, Dek?"
"Iya, Tulang. Tengoklah." Dia memutar laptop ke arahku, menampilkan jumlah mutasi dan sisa saldo.
Tertera di sana, Anton Simatupang, Danang Simatupang, uang masuknya seratus ribu. Hendar Simatupang lima puluh ribu. Apa mataku mulai minus?
Ciut kebahagiaan tadi, aku langsung ke rumah Wak Wati. Barangkali mereka salah ketik nominal ketika transfer. Bisa jadi 'kan.
"Wak, cuma sebanyak ini." Aku memberikan pada Wak Wati.
Dengan wajah sendu, Wak Wati menerima. Tak dapat kuartikan bahasa yang diisyaratkan lewat air muka beliau.
"Memang hanya segitu tiap bulan, Wak?" Kutodong lagi Wak Wati.
Hanya anggukan lemah. Sudut mata Wak Wati mulai digenangi air.
"Serius, Wak. Baaah, yang benar saja. Masa hanya segitu, Ya Allah."
"Iya, Galih. Cuma segini tiap bulan. Makanya kadang-kadang Wak harus jual buah kelapa untuk bawa Mamak kau berobat. Beruntunglah kalau pertengahan atau akhir bulan, masuk uang dari kau.
Sering Mamak kau cuma makan dengan lauk seadanya." Wak Wati berkisah.
"Tapi Mamak kan ada sawah, memangnya tiap panen kemana padinya.?"
"Sawah sepetak kecil peninggalan bapak kau, kan sudah tergadai ketika Danang kuliah. Hampir-hampir dia tamat, butuh uang cukup banyak. Akhirnya dibeli sama pemegang gadai."
"Ya Allah, terus kebun Bapak di seberang sana?"
"Sudah diambil kemenakannya."
"Haih, kok begitu?"
"Kan kita pendatang, Lih. Wak Ida, aku, Mamak kau kan bukan asli Sidikalang, bukan orang Medan. Bapak kau, suami Wak, suami Wak Ida yang orang sini.
Ketika mereka sudah tak ada, ya kita tak punya hak atas tanah mereka," papar Wak Wati.
"Jadi tiap bulan selama ini cuma segini kiriman mereka. Lagak mereka kok seperti ngasih sejuta sebulan. Haaisss puki*ak kali mereka!" Naik emosiku.
"Kadang aku disindir-sindir karena lambat kirim uang. Wak tahulah, namanya bengkel nggak selalu ramai. Bab* mereka, sudahlah pelit waktu, pelit materi pula." Aku mengumpat habis-habisan.
Betul-betul tak menyangka sama sekali. Semakin bertambah kekecewaanku pada mereka. Bukan maksud untuk melawan pada abang-abangku itu, tapi kalau begini siapa yang nggak emosi.
Malam itu di bawah pohon kersen, kutelepon Bang Anton, biar hatiku tak semakin panas karena menduga-duga. Sejenak aku melihat ke dahan-dahan besar pohon ini, dulu kami di sini bergelayutan mencari buahnya yang matang.
Awalnya tertawa-tawa, saling ejek, kemudian berakhir gulat di halaman. Datang Mamak bawa air seember, disemburnya kami baru berhenti. Ketika itu, meski dalam sehari bisa berantam sampai tujuh kali, tetap saja kami begitu saling menyayangi.
Aku pernah terjatuh, kepalaku mengenai batu, bocor. Bang Danang menangis histeris melihat kepalaku berdarah. Aku kecil cukup bongsor, disandang macam orang memanggul karung padi oleh Bang Anton ke rumah ibu Bidan. Dapat jahitan dua di belakang pangkal telinga.
Malam harinya, ketika Bapak bertanya kenapa bisa jatuh, Bang Hendar maju mengakui dia yang mendorong dari atas pokok kersen. Di saat bersamaan Bang Anton maju juga, katanya dia juga yang dorong. Bang Danang nggak mau kalah, meski sudah menangis tersedu, dia ikut mengaku kalau dia yang dorong.
Pada kenyataannya, aku jatuh sendiri. Ah, kenangan masa kecil itu membekas sekali dalam benak ini.
Aih, kemana si Anton ini. Sampai lima kali mengulang, baru dia angkat.
"Maaf, Lih. HP Abang ketinggalan di toko, ini baru sampai lagi, tadi Abang ada urusan ke luar. Apa rupanya? Mamak sehat 'kan?"
"Jadi betul tiap bulan cuma segitu kiriman Abang?"
"Aih, kenapa? Itu kan sudah cukup, nanti ada lagi dari Hendar, dari Danang, dari kau. Cukuplah! Mamak kan cuma bayar listrik ajanya." Jawaban Bang Anton asal.
"Bab* kau, Bang. Seratus ribu kau bilang cukup. Bulan besok nggak usah kau kirim!"
"Kurang ajar muncong kau, Lih."
[Muncong : mulut]
Panggilan kututup, setidaknya sudah kumaki dia sekali. Agak berkurang panas hatiku. Lanjut kupanggil Danang.
"Betul cuma kau kirim seratus ribu untuk Mamak, sebulan? Otak kau kopong, sekian juta sekali deal, remahnya aja kau kasih Mamak." Aku bombardir Danang tanpa memberi dia kesempatan. "Susah-susah Mamak sekolahkan kau tinggi-tinggi, eh Bang ... nggak akan miskin kau hanya karena kirimi Mamak uang tiap bulan. Kau bisa jadi pengacara hebat sekarang juga karena cucuran peluh Mamak kita."
"Oii, apa-apaan kau, Lih? Kurang ajar kali kau nampaknya." Lelaki tambun 39 tahun di seberang sana mulai meradang, jelas dari suaranya yang menggelegar.
"Sekurang-kurang ajarnya aku, aku tak lari dari tanggung jawab dan kewajiban. Kelen apa? Sudahlah nggak mau merawat Mamak, bedangkik pula urusan uang. Kalau jelas kelen nggak mau rugi, aku sendiri sanggup ngurus Mamak.
[Bedangkik : pelit]
Jangan sampai nanti setelah Mamak nggak ada kelen nangis menyesal di pusara Mamak, percuma."
"Lagian segitu cukuplah," bantahnya.
"Otak kau cukup, eh Bang ... gara-gara kuliah kau itulah sawah Mamak tergadai, sampai pada akhirnya terjual. Nggak sadarkah diri kau? Badan ajanya kau besar, otak kau kerdil."
Kututup lagi panggilan ke Bang Danang, puas hatiku maki-maki dia. Bang Hendar tak enak untuk kumarahi, seperti dia bilang, dia hanya pegawai golongan rendah. Ntahlah iya ntah tidak. Sudah sekian tahun pun jadi PNS, masa nggak naik-naik golongan. Suudzon pun aku jadinya.
Baru saja aku berdiri mau masuk rumah, HP di tangan berdering nyaring. Bang Hendar yang memanggil.
"Walaikumsalam, Bang ...." Kubalas salam dari seberang.
"Dek, janganlah terlalu emosi. Abang mungkin paling sedikit kirimi Mamak uang tiap bulan, memang segitu adanya." Suara Bang Hendar terdengar lemah.
"Ya terus kok tiap bulan kelen pojokkan aku kalau lambat kirim uang ke Mamak?"
"Bukan begitu, Galih. Kau itu terlalu kasar bicara dengan Abang kau. Kan nggak mungkin pula aku jabarkan keuanganku pada kau. Gajiku nggak genap tiga juta, begitu pula Kak Yanti.
Dari uang itu harus Abang keluarkan cicilan rumah, cicilan kereta, biaya sekolah anak-anak, uang dapur, listrik, dan semuanya dari sana semata, Lih."
"Rasa syukur kau yang kurang itu, Bang. Aku yang dapat pagi habis petang masih bisa menyisihkan untuk Mamak. Tapi ya sudahlah, Mamak itu nggak butuh uang kelen, yang Mamak perlukan adalah perhatian kita sebagai anak-anaknya.
Mamak sudah tua, sendirian, sakit pula. Entah bagaimana kok bisa nggak ada yang peduli dengan beliau.
Tiap hari Mamak bermenung, menunggu kelen pulang. Kalau uang, berapa pun akan kucari di sini. Sayangnya, mata uang nggak berlaku untuk menawar rindu pada buah hati. Camkan itu, Bang.
Dahlah, aku malas berbual panjang lebar. Nggak akan merubah keadaan pun. Kelen tetap akan menjalani hari-hari dengan tenang di rantau, aku dan Mamak tetap begini di kampung."
Tanpa salam, kutekan tombol mengakhiri panggilan. Baru saja aku berbalik ....
"Astaghfirullah, Mamak ... Terkejut aku, Mak."
"Kau berantam dengan Abang kau, Nak?" lirih Mamak. Lampu dari beranda rumah tak cukup menerangi hingga ke tempat aku berdiri. Tapi dari suara Mamak, aku tahu Mamak sedang menahan tangis.
"Nggak ada aku berantam, Mak."
"Janganlah kelahi terus kerjaan kelen, penat Mamak, Nak." Mamak membimbingku hingga ke dalam rumah.
Dulu, kalau kami sudah kelahi, karena aku yang selalu dikeroyok, mamak akan membimbing aku ke kamar mandi. Memandikan dan memberi nasihat agar bersabar.
"Abang kau itu sayang sama kau. Mereka bercanda aja keroyok-keroyokan. Tandanya mereka peduli, kek gitu supaya membangun mental kau biar nggak takut sama orang. Paham kan?"
Kalimat-kalimat seperti itu selalu diucapkan Mamak ketika memakaikan aku baju. Baru kini kupahami, seperti apapun perlakuan mereka, aku tak boleh benci. Mamak mengajari agar selalu melirik sisi positif dari sikap orang pada kita.
"Duduk, Nak." Mamak memberi tempat di sisi kanan, lalu menggenggam tanganku begitu hangat.
"Hubungan kakak beradik itu ibarat air, tak putus meski dibelah. Kau jangan terlalu keras pada mereka. Setiap orang punya pilihan dalam hidupnya, Lih.
Abang-abang Kau memilih hidup di rantau, bersama keluarganya. Kau tak berhak memaksa mereka pulang untuk mengurus Mamak. Jangan. Nggak boleh seperti itu."
Mamak menoleh ke foto Bapak yang di pajang di dinding. Foto itu diambil beberapa belas tahun lalu. Kalau tidak salah ketika wisuda Bang Danang.
"Mamak masih kuat, Lih. Masih bisa mengurus diri sendiri. Tak enak hati Mamak harus menjadi beban bagi kalian.
Kau pun, jangan terlalu dipaksakan untuk tetap di sini. Kasihan kau, Nak." Mamak mengusap lenganku. Air mata menggelinding di pipi Mamak yang mulai keriput.
"Nggak, Mak. Aku ikhlas lillahita'ala menjaga Mamak di sini."
"Kadang-kadang Mamak begitu rindu dengan mereka, tapi apakah rasa rindu itu juga terasa bagi mereka ya, Nak?" Mamak mengusap air matanya.
"Kalau malam tiba, Mamak teringat kelen tidur susun paku di tengah-tengah rumah. Pagi hari berebut mandi karena kamar mandi kita cuma satu. Begitu juga ketika Mamak mau makan, teringat kalau masak ikan mesti potong kecil-kecil biar kebagian sama banyak.
Itu dulu, ketika hidup kita masih paceklik. Kadang Mamak harus berhutang beras ke kedai untuk makan siang, kalau Bapak kelen tak kunjung pulang dari menjual kopi.
Si Danang itu nggak bisa menahan lapar. Kalau dia hendak makan, harus segera makan, kalau nggak dia berguling-guling seperti cacing kepanasan. Kek manapun Mamak membujuk, nggak masuk sama dia.
Kau, Galih ... dari dulu kau paling sabar, paling lunak hati kau. Maafkan Mamak ya, Nakku. Acapkali kau pulang sekolah tak bertemu nasi, tersebab sudah dihabiskan Danang. Lalu, kau pergi ke rumah Wak Wati, tak jarang kau ganjal perut kau dengan kue-kue sisa jualan Wak kau itu."
Mamak semakin terisak. Aku pun, semuanya masih teringat jelas bagiku.
"Pernah lagi Mamak masak sambal ayam, Mamak sisakan satu potong untuk kau, sengaja disembunyikan biar nggak dimakan sama mereka. Sepulang kau mengaji, kau hendak makan ... malah kau berikan pada Anton, ketika itu dia sakit diare. Lantas kau makan dengan kerupuk yang mulai lunak kena angin."
Pedih kalau kuingat itu semua. Aku selalu mengalah pada mereka. Itu benar.
Mamak semakin terisak-isak, aku tak tega melihat beliau mengenang masa lalu. Hidup ketika itu benar-benar paceklik. Bisa ketemu sambal ikan asin, itu sudah syukur sekali rasanya.
Perlahan mulai tenang Mamakku. Air mata sudah disusut habis. Tak lagi ada derai yang mengalir keluar.
"Astaghfirullah, kok masih di sini kau? Nggak pergi mengaji ke surau. Orang sudah baca Al-Qur'an, kau masih kaji Juz Amma. Orang sudah khatam, kau baru masuk Al-Baqarah. Ntahlah, sampai robek mulut ini, yang kelen tetap ajanya main-main." Mamak mengomeliku ketika itu juga.
Seperti kata Marta, dalam kondisi Mamak pulih ingatannya, bisa saja blank tiba-tiba. Seperti ini contohnya.
Mamak berdiri di jendela, lagi-lagi menatap hampa ke hamparan perumahan di seberang jalan. Dulu di sana sawah, ketika selesai panen di situlah kami main alang-alang. Kini sudah disulap jadi perumahan milik pemerintah. Perumahan subsidi katanya.
"Rasanya Mamak kurang sehat, Lih. Tolong kau aja yang cari Abang kau ya, suruh pulang kek mana pun caranya. Mamak takut, mereka kejauhan bermain malah nggak ingat pulang."
Dalam hatiku, 'Mereka memang terlalu jauh bermain, Mak. Hampir saja lupa jalan pulang. Tapi Mamak tenanglah, akan kubuat mereka pulang semuanya.'
Mamak menoleh ke arahku, "Lih, kalau kau ke surau nanti, bilang ke guru kau, tolong doakan Mamak dan Bapak agar panjang umur, sehat-sehat sampai tua."
Lagi, Mamak memandang jauh ke hamparan di depan sana. Seperti bicara kepada angin yang lalu lalang. "Nakku, di mana kelen?" bisik Mamak meraba kaca jendela.

Komento sa Aklat (182)

  • avatar
    Amarilis

    cerita yang sangat menggugah hati dan juga bagus. Semangat thor

    22/04/2022

      0
  • avatar
    LaiaDewimanis

    sangat terharu dgn ceritanya mama... maafkan aku dgn sikap aku selama ini 😌🙏

    23d

      0
  • avatar
    salamzulfa

    bagus sekali

    28d

      0
  • Tingnan Lahat

Mga Kaugnay na Kabanata

Mga Pinakabagong Kabanata