logo text
เพิ่มลงในห้องสมุด
logo
logo-text

ดาวน์โหลดหนังสือเล่มนี้ภายในแอพ

บทที่ 3 Kapan Nikah?

Kecepatan di atas seratus lima puluh kilometer perjam adalah hal biasa bagi Alfard. Layaknya pembalap jalanan saja dia melajukan Lamborghininya. Melesat diantara kendaraan lain. Berkelok tajam tanpa takut menyenggol kendaraan di sekitarnya.
Gedung bekas PT. Sugar Free itu terletak di luar kota. Jauh dari pemukiman penduduk dan berada di tengah-tengah lahan kosong yang luas. Dulunya lahan itu adalah perkebunan tebu, tapi kini dibiarkan menganggur karena bangkrut. Tak jauh dari pabrik itu ada sungai besar yang mengalir.
Jalanan perlahan menggelap dan sepi. Lampu-lampu dari jalanan dan gedung mulai berkurang. Hingga hilang sama sekali. Area bekas PT itu mulai terlihat. Alfard menambah laju kecepatan mobilnya.
Sraat! Sraat!"
Memarkirkan mobilnya di depan gerbang. Mengambil ponsel di sakunya. Menekan panggil nomor itu.
"Halo, aku sudah sampai."
"Keluarlah." Suara yang dibuat-buat tak jelas.
Sial!
Alfard melepas sabuk pengamannya. Bergegas keluar. Sepi dan gelap. Hanya sinar rembulan yang kebetulan sebentar lagi purnama membantu penglihatannya. Horor. Andai Alfard penakut, mungkin dia sudah lari kabur. Area pabrik itu terlihat gelap dan mengerikan.
"Masuklah, aku menunggu di dekat gedung laboratorium."
Alfard mendecis. Benar-benar pengecut. Dengan langkah percaya dirinya membuka gerbang yang sudah karatan. Aroma campur aduk menyapa hidungnya. Netra Alfard bergerak ke kanan kiri siaga.  Bagaimanapun dia harus berjaga-jaga.
Sebuah bayangan hitam muncul disana.
Alfard menurunkan ponselnya dari telinga. Berjalan menghampiri pria itu.
"Mana bukti yang kamu janjikan," tukasnya langsung tanpa basa basi. Sosok yang ternyata pria dengan memakai topeng kain menyisakan mulut dan mata itu menyodorkan sebuah benda berbentuk kotak kecil, flashdisk.
"Disitu ada semua buktinya." Baru kali pertama Alfard mendengar suara orang itu secara langsung.
"Oke. Aku pegang ucapanmu. Berani kau berbohong, aku akan membunuhmu," ancamnya.
"Maafkan saya."
Alfard mendecak. Baru kali ini dia memberi keringanan pada musuhnya. Itupun karena dia anggap sepadan dengan bukti yang di dapat. Lagipula, akan mudah meringkusnya jika sang otak utama sudah tertangkap.
Alfard keluar dari area pabrik, kembali ke mobilnya. Aman. Sampai detik ini. Namun, saat dia hendak membuka pintu mobilnya yang lupa dia kunci, sebuah pukulan mendarat di wajahnya. Belum sempat Alfard menyadarinya, sebuah benda tajam mengenai bagian kepalanya dengan keras. Dan itu meluluh lantakkan kesombongan yang dia miliki. Terhuyung jatuh dengan darah mengalir dari bagian kepala belakangnya.
Prok! Prok! Prok!
"Bagus sekali. Sekarang, buang dia di sungai sana. Biarkan saja dia mati secara mengenaskan. Haha."
"Baik, boss."
Kedua pesuruh itu bergegas membawa tubuh Alfard ke sungai besar disana.
"Kerja bagus, Diman. Tak sia-sia aku mempercayaimu."
Ya, pria yang ditemui tadi bernama Diman. Ada orang lain yang lebih menjadi otak dari rencana ini.
****
Subuh sudah menyapa sejak tadi. Tapi gadis itu masih saja bergumul dengan selimut usangnya. Pak Peno sampai menggelengkan kepala melihat anak gadis ajaibnya. Kalah dengan ayam jago. Bahkan ayam jago saja sudah bersorak sejak tadi.
"Wik! Bangun."
Gadis itu hanya menggeliat. Menarik bantal dan memindah ke atas telinganya. Pak Peno hilang kesabaran. Menarik selimut usang tersebut. Membuat sang empu merasakan kedinginan. Apalagi udara desa yang masih terasa dinginnya.
"Bangun! Anak gadis kok boloran."
Dewi membuka matanya malas.
"Bangun, atau ayah tarik ke kamar mandi, kamu!"
Diancam begitu Dewi sontak terduduk. Tapi tetap dengan posisinya tertunduk-tunduk dengan rambut panjang menutupi wajah kucelnya.
"Emang jam berapa sih, pak. Baru aja Dewi merem. Udah dibangunin aja," protesnya dengan suara serak. Mengucek mata kirinya.
"Setengah enam, Wik. Astaga... gini nih yang bikin kamu gak nikah-nikah. Anak gadis kok kalah sama jago."
Bibir gadis itu maju sepuluh senti, cemburut.
"Ya kali disamain sama jago, Yah."
"Siapa yang nyamain? Jago lebih rajin. Kamu kalau lama-lama begini, tak nikahin sama juragan Selamet baru tahu rasa."
Mendengar nama Juragan Selamet disebut, sontak Dewi ngacir keluar. Ogah banget dia dinikahi pria tua banyak istri itu. Mending gak nikah dari pada sama pria perut buncit dan ganjen itu.
"Giliran diancam baru bangun. Huh! Anak siapa sih susah banget diatur," gerutu pak Peno. Melempar selimut Dewi ke atas kasur. Lalu bergegas keluar. Meninggalkan kamar kapal pecah itu.
*****
Pukul tujuh pagi. Sarapan sudah siap. Halaman sudah kinclong. Pekerjaan rumah sudah Dewi selesaikan. Sebenarnya dia itu rajin, kalau gak keburu disuruh ayahnya. Beda lagi kalau dia sudah ada niat, eh malah disuruh, yang ada mager.
"Wik, minta pepaya muda ya?"
Dewi yang tengah mengorak arik tanah gembur kebun menoleh, lek Wati. Tetangganya.
"Iya, Lek. Ambil aja. Yang penting gak sama pohonnya."
"Oalah ya gak kuat toh,Wik."
Dewi tergelak.
"Belum matengan apa, Lek?"
Matengan adalah istilah lain dari masakan yang sudah siap disajikan. Ah, entahlah bagaimana menjelaskan dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
"Belum. Wong dari tadi malah bingung tok mau masak apa."
Dewi manggut-manggut. Botol aqua gelasnya sudah terisi banyak cacing.
"Mau mancing, Wik?"
"Iya, Lek. Mau pesan?"
"Boleh, deh. Nanti antar ya."
Dewi mengangguk. Beranjak dari posisi jongkoknya karena mencari cacing tadi.
"Ya wis, Lek. Mau berangkat."
"Iya."
Dewi bergegas ke rumah.
"Uwes, Wik?"
Dewi mengacungkan aqua gelas di tangannya. Bapak anak itu bergegas berangkat ke lokasi sungai.
"Mau kemana, Mang?"
Di tengah jalan papasan dengan Lek Imah, tetangga yang rumahnya dekat gardu. Wanita paruh baya dengan bibir yang suka mencor kana kiri itu melirik Dewi julid.
"Biasalah, Mah. Mancing," jawab ayah.
"Mancing? Ealah lek...lek. Gadis kok kerjaannya diajak mancing. Mbok y suruh dandan biar ada yang ngelamar. Kasihan tuh tambah umur makin gak laku."
"Ya gak papa. Saya malah aman Dewi yang begini kok, Mah. Gak kecentilan."
Jawaban yang singkat tapi menohok. Lek Imah langsung diam.
"Duluan, Mah. Keburu siang."
Lek Imah tak menjawab. Melengos begitu saja.
Bapak anak itu melanjutkan langkahnya. Sepanjang jalan ada saja yang menyapa, tapi berakhir melirik Dewi julid. Mungkin dalam hati mereka, Wong cah gadis kok kerjaannya mancing. Gak ingat umur. Percuma ayu tapi gak laku. Dan julidan lain. Untung saja telinga Dewi setebal tembok pabrik. Tahan banting pula. Pak Peno yang kadang ngenes meski diluar kelihatan santai. Bagaimanapun seorang ayah berharap anaknya mendapatkan jodoh. Apalagi anak perempuan. Rentan mendapat cemooh. Nikah muda jadi omongan. Apalagi gak nikah-nikah sampai tua.
"Juragan Selamet kemarin--"

หนังสือแสดงความคิดเห็น (109)

  • avatar
    Yaya Yayaa

    5 STARS

    13d

      0
  • avatar
    AviantinoAudy

    bagus

    26/05/2023

      0
  • avatar
    Tasya Caroline

    good

    03/01/2023

      0
  • ดูทั้งหมด

บทที่เกี่ยวข้อง

บทล่าสุด